Senin, 26 September 2011

MA Siap Berdialog dengan KY

Jumat, 23 September 2011
Hukum on line
MA mengaku belum siap dengan konsep mekanisme rekrutmen calon hakim karena masih menunggu Menpan.


Ketua MA Harifin A Tumpa, MA siap berdialog dengan KY bahas perbedaan penafsiran. Foto: SGP

Mahkamah Agung menyatakan siap berdialog dengan Komisi Yudisial (KY) untuk membahas sejumlah persoalan perbedaan penafsiran yang dialami kedua lembaga. Diantaranya, soal penerapan Surat Keputusan Bersama (SKB) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dan rencana penyusunan SKB Rekrutmen Calon Hakim.  

“Kami selalu dianggap defensif, padahal kita selalu terbuka. Kita sebenarnya menginginkan adanya komunikasi yang baik dengan KY, sehingga perbedaan penafsiran menyangkut berbagai kebijakan kedua lembaga itu tidak terjadi,” kata Ketua MA Harifin A Tumpa di Gedung MA Jakarta, Jumat (23/9).

Menurutnya, soal penerapan kode etik harus ada persamaan persepsi antara KY dan MA. “Yang mana masuk pelanggaran kode etik dan perilaku hakim atau yang mana masuk teknis yudisial, kita sudah beberapa kali sampaikan (lewat surat balasan atas rekomendasi KY, red) hal-hal yang masuk wilayah teknis yudisial,” kata Harifin.

Karena itu, pihaknya menyambut baik jika KY mengajak untuk bertemu secara berkala untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut tugas dan fungsi kedua lembaga. “Jangan menganggap kita senang dengan keadaan seperti ini, kan tujuan MA dan KY kan sama untuk mewujudkan peradilan yang fair, tidak berpihak, dan memperoleh kepercayaan publik,” katanya.       

Terkait soal ini, sebelumnya Juru Bicara KY Asep Rahmat Fajar mengaku telah beberapa kali mengajak MA untuk membicarakan berbagai perbedaan pandangan yang terjadi selama ini. Namun, Ketua MA masih belum menyambut baik tawaran KY. “Meski beberapa pertemuan informal dengan beberapa Ketua Muda MA atau hakim agung telah berhasil diinisiasi KY,” akunya.

Soal penyusunan SKB Rekrutmen Calon Hakim, misalnya, KY pernah mengirim surat resmi ke MA bernomor 16/P.KY/I/2011 tertanggal 19 Januari 2011 tentang Seleksi Calon Hakim Agung dan Hakim. Namun, hingga kini MA belum merespon surat itu. “Ini juga pernah dibicarakan secara informal dengan Pak Ahmad Kamil yang janjinya akan dibicarakan awal Ramadhan kemarin, tetapi dia berhalangan untuk membicarakan soal ini,” ungkap Asep.    
     
Seperti diketahui, MA dan KY memang kerap beda pandangan terkait penerapan Kode Etik Hakim sebagai dasar KY atau MA dalam menjatuhkan sanksi bagi hakim bermasalah. Akibatnya, tak jarang rekomendasi KY atas penjatuhan sanksi bagi hakim nakal yang dinyatakan melanggar kode etik dan perilaku hakim ditolak MA. Salah satunya, penolakan rekomendasi KY atas kasus pengaduan Antasari Azhar. Lantaran kerap memunculkan beda penafsiran, SKB itupun diuji seorang mantan hakim agung ke MA. 

Hal lainnya, belum adanya pembicaraan antara kedua lembaga menyangkut penyusunan SKB Mekanisme Rekrutmen Calon Hakim yang diamanatkan sejumlah paket UU Bidang Peradilan Tahun 2009 yang harus melibatkan KY. Hal ini tak jarang menyulut konflik antar kedua lembaga. Seperti, tudingan KY bahwa penerimaan calon hakim 2010 ilegal karena tidak melibatkan KY.

Harifin mengakui hingga kini MA memang belum memiliki konsep terkait mekanisme rekrutmen calon hakim lantaran masih menunggu kebijakan dari Menpan dan Reformasi Birokrasi atas kebutuhan pegawai.

“Hingga saat ini kita belum pasti apakah dapat formasi atau tidak karena kabarnya ada moratorium dari Menpan, semua penerimaan pegawai akan ditunda. Kita belum tahu konsep kita bagaimana, tetapi KY tawarkan konsep bahwa MA dan KY sifatnya steering committee (tim pengarah) dan organizing committee (tim pelaksana) dipegang Sekretariat MA, tetapi nanti akan kita bicarakan bersama,” janjinya.

DPR ‘Keroyok’ Hakim Pengadilan Tipikor

Jumat, 23 September 2011
Hukum on Line
Hakim adhoc tipikor yang mengikuti seleksi calon hakim agung di Komisi III DPR dicecar seputar kasus cek pelawat yang melibatkan sejumlah anggota dewan.


DPR " keroyok " hakim ad hoc Pengadilan Tipikor . Foto: SGP

Ibarat masuk ke kandang macan. Mungkin itu ungkapan yang pas ditujukan kepada Hakim adhoc Pengadilan Tipikor Dudu Duswara. Pria yang tengah mencalonkan diri sebagai hakim agung ini harus mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR. Pertanyaan-pertanyaan mengenai kasus cek pelawat yang melibatkan para anggota dewan di Pengadilan Tipikor mendominasi proses seleksi ini.

Ketua Komisi III DPR Benny K Harman mempertanyakan sikap Dudu dalam kasus cek pelawat dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 tersebut. Sejumlah anggota dewan yang disebut menerima suap sudah divonis bersalah, tetapi sampai sekarang penyuapnya belum diproses. “Dalam suap itu, adanya penyuap yang disuap adalah syarat mutlak. Bagaimana mungkin bisa dibilang ada suap bila penyuapnya tak ada?” ujarnya, Kamis malam (22/9).

Dudu mengaku sepakat dengan Benny. Dalam kasus suap, adanya penyuap dan yang disuap merupakan suatu yang absolut. Namun, ia menegaskan hakim pengadilan tipikor tak bisa menghukum penyuapnya karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum bisa menghadirkan penyuapnya. Meski begitu, ia sebagai hakim yakin sesuai fakta persidangan bahwa delik penyuapan itu telah terjadi.

“Tentu bukan kewenangan kami untuk memanggil penyuapnya. Itu kewenangan penyidik,” ujarnya.

Benny kembali berkomentar, bila penyuapnya belum dihadirkan seharusnya hakim tak perlu menangani perkara orang yang disuap terlebih dahulu. “Anda seharusnya bisa mengembalikan berkas itu ke penyidik. Hadirkan dulu penyuapnya,” jelas Benny.

Lebih lanjut, Benny bahkan ingin memastikan bila Dudu terpilih sebagai hakim agung dan harus menangani perkara cek pelawat ini lagi di tingkat Mahkamah Agung (MA), apakah Dudu akan mengubah sikapnya atau tidak. “Apabila nanti terpilih, lalu anda diminta untuk mengadilinya di tingkat PK, bagaimana keadilan yanng akan anda berikan?” ujarnya.

Kasus Endin
Pertanyaan serupa juga datang dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kebetulan Dudu adalah salah satu majelis yang memutus bersalah Anggota DPR dari PPP Endin Soefihara dalam kasus cek pelawat itu. Anggota Komisi III dari PPP Kurdi Mukri mempertanyakan bagaimana mungkin Endin bisa dinyatakan bersalah, padahal FPPP tidak memilih Miranda Goeltom dalam pemilihan DGS BI itu.

“Endin memang dapat duit tapi kan Fraksi PPP tak memilih Miranda. Apa itu masuk kategori suap? Seharusnya kan tidak,” tegasnya lagi.

Anggota Komisi III dari PPP yang lain Ahmad Yani pun terlihat sangat bersemangat menyambung pertanyaan koleganya itu. Namun, pimpinan Rapat Tjatur Sapto Edy buru-buru memotong karena memang belum giliran Yani. “Giliran Pak Yani nanti. Sekarang PDIP dan PAN, lalu baru kembali ke Pak Yani. Saya tahu memang bapak adalah temannya pak Endin, saya juga temannya pak Endin,” selorohnya.

Begitu giliran didapat, Yani mencoba menggiring Dudu mengenai kasus Endin itu. Ia mempertanyakan bagaimana bila dalam suatu kasus dakwaan terdakwa tidak cermat. “Bagaimana bila ada kasus seperti itu?” tanyanya. Dudu lantas berkomentar dakwaan seharusnya dibatalkan.  

“Dalam kasus Endin yang terjadi begitu. Dia sahabat saya benar. Ada rekonstruksi jaksa yang hanya copy paste dari orang lain. Anda kan sudah bilang dibatalkan. Apakah anda akan konsisten (dengan pendapat anda) bila memeriksa kembali perkara ini di tingkat MA bila kelak terpilih sebagai hakim agung?” cecarnya.

Dudu hanya menjawab singkat. “Insya Allah saya akan konsisten,” ujarnya. Lagipula, lanjut Dudu, di antara majelis hakim pengadilan tipikor yang menghukum Endin, dirinyalah yang berpendapat seharusnya hukuman Endin lebih rendah.

Bawas MA Siap Lindungi Pengadu Internal

Sabtu, 24 September 2011
Hukum on Line
Perlu dipikirkan mekanisme tindak lanjut layanan pengaduan lewat SMS.


Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri. Foto: SGP

Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) akan membuka layanan pengaduan via SMS yang disediakan untuk aparat peradilan sendiri. Untuk sementara, pengaduan via SMS ini akan diuji coba di wilayah Jabodetabek. Jika layanan ini mendapat respon positif, Bawas berencana memberlakukannya di seluruh Indonesia.

Menurut Kepala Bawas MA Syarifuddin, layanan ini merupakan inisiatif untuk menampung pengaduan secara internal mengenai dugaan penyimpangan di lembaga peradilan. Saat ini Bawas telah membuka layanan pengaduan via website yang bisa dipakai oleh masyarakat, namun layanan untuk pengaduan internal belum ada.

“Dari pengalaman yang sudah-sudah, banyak surat kaleng yang masuk memberikan data detil. Umumnya dari orang dalam. Biasanya terbuktinya gampang. Dia tahu betul. Cuma agak merepotkan kita, karena yang bikin surat kaleng itu tidak bisa kita dengar,” kata Syarifuddin.

Syarifuddin memperkirakan banyaknya surat kaleng lantaran para pengadu takut identitasnya diketahui. Sehingga, melalui layanan SMS ini pihak Bawas MA menjamin kerahasiaan identitas pelapor.

Selain itu, untuk mengukur keberhasilan reformasi birokrasi di MA dan empat lingkungan peradilan, MA juga akan melaksanakan audit kinerja dan integritas 100 pengadilan yang berada di ibukota propinsi atau pengadilan kelas I. Mekanisme yang digunakan adalah dengan pengisian kuesioner.

“Kami akan menyebarkan kuesioner yang harus diisi. Dari kuesioner itu lantas dibuat skor penilaian. Selain itu, jawaban-jawaban yang tertuang dalam kuesioner itu lantas akan ditelusuri lebih jauh,” jelas Syarifuddin.

Soal SMS pengaduan, seorang hakim di Sulawesi yang tidak mau disebutkan identitasnya mengatakan ide ini baik dan memang sejak dulu ditunggu untuk diterapkan. Namun, menurut dia, jaminan perlindungan hukum bagi pelapor dalam sistem tersebut tidak jelas. Makanya, hakim mungkin masih agak takut untuk bersuara.

“Yang kita harapkan ya lembaga Bawas diisi oleh orang-orang yang jujur dan tidak ada kepentingan. Sebab kita para hakim saling curiga sehingga tidak jelas siapa teman siapa lawan. Kalau kita melaporkan musuh ternyata temannya yang menerima laporan, ya habis kita. Siap-siap mutasi jauh-jauh,” keluhnya.

Dia menilai MA tidak mempunyai lembaga yang nyaman untuk menerima laporan. Menurutnya, sempat ada harapan kepada KY untuk menjadi lembaga yang menampung pengaduan internal semacam itu. Namun, ternyata harapan itu pun tak terwujud.

“Para hakim menurut saya tidak respek lagi dengan KY. Jadi kalau mau SMS ke Bawas mungkin cara terbaik adalah beli nomor baru pura-pura jadi keluarga terdakwa, lalu setelah itu buang nomornya,” ujarnya sedikit berkelakar.

Dihubungi terpisah, Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri menyambut baik program audit kinerja dan layanan pengaduan lewat SMS yang akan dijalankan Bawas MA itu. “Itu program bagus dan positif karena bersifat partisipatif yang membuka ruang lebih bagi masyarakat,” kata Taufiq saat dihubungi hukumonline, Sabtu (24/9).

Menurutnya, pengawasan internal MA memang sudah diatur dalam Penjelasan UU No 3 Tahun 2009 tentang MA terkait pengawasan teknis yudisial, administratif, dan keuangan di lingkungan peradilan merupakan kewenangan MA. “Pengawasan teknis yudisial, administratif, dan keuangan memang kewenangan MA, sementara kalau pengawasan perilaku hakim merupakan kewenangan KY, jadi tidak bentrok,” kata Syahuri.

Hal senada juga dikatakan Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) Hasril Hertanto. “Audit kinerja dan integritas pengadilan bagus dan sangat dibutuhkan pengadilan yang merupakan bagian dari program reformasi birokrasi, tetapi ini penting untuk mengukur seberapa besar kebutuhan SDM dan struktur pengadilan dibutuhkan agar birokrasi pengadilan lebih efektif,” kata Hasril.

Selain itu, program layanan pengaduan masyarakat lewat SMS juga dinilai bagus. “Ini bagus, program layanan pengaduan lewat SMS ini juga sudah berjalan di Lembaga Pemasyakatan (Lapas),” kata Hasril.

Namun, ia mengingatkan agar konsep tindak lanjut dari layanan pengaduan SMS ini harus dipikirkan secara matang. “Bagaimana tindak lanjutnya karena pengaduan lewat surat saja memakan waktu lama, pengaduan lewat SMS juga tidak langsung ada bukti-bukti yang bisa disampaikan dan proses klarifikasinya,” kritiknya.

Pimpinan Pengadilan Harus Teken Pakta Integritas

Minggu, 25 September 2011
Hukum on line
Pakta integritas ini harus dibarengi dengan penegakannya berupa penjatuhan sanksi yang tegas.


MA telah terbitkan surat edaran yang mengatur pakta integritas bagi pimpinan pengadilan. Foto: SGP

Mahkamah Agung (MA) belum lama ini menerbitkan surat edaran yang mengatur tentang pakta integritas bagi pimpinan pengadilan. Surat Edaran MA yang ditandatangani Ketua MA pada Agustus 2011 itu mewajibkan setiap pimpinan pengadilan untuk menandatangani pakta integritas saat dilantik.

“SEMA pakta integritas bagi pimpinan pengadilan sudah kita buat pada Agustus 2011 dan mulai harus dijalankan,” kata Ketua MA Harifin A Tumpa di Gedung MA Jakarta, Jum’at kemarin (23/9). 

Ia menegaskan SEMA itu mewajibkan setiap pelantikan pimpinan/ketua pengadilan untuk menandatangani pakta integritas. Artinya jika seorang ketua pengadilan telah terbukti melakukan perbuatan tercela, dia harus mengundurkan diri dan diproses hukum.     

“Setiap pelantikan pimpinan/ketua pengadilan harus menandatangani pakta integritas dan bersedia mundur dan diproses hukum (pidana) jika menyangkut ranah hukum,” kata Harifin.

Dihubungi terpisah, Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri menyambut baik kebijakan MA tentang pakta integritas. “Itu sangat positif, kebijakan yang kreatif yang sangat mendukung pengawasan MA,” kata Taufiq kepada hukumonline, Sabtu (24/9).

Ia berharap kebijakan itu berjalan dengan baik. “Mudah-mudahan kebijakan itu berjalan dengan baik,” harapnya.

Sementara Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) Hasril Hertanto menilai kebijakan penandatanganan bagi pimpinan pengadilan hanya menyangkut persoalan administrasi pengadilan.

“Ketua atau wakil ketua pengadilan lebih cenderung pada pertanggungjawaban administratif kepada pengadilan yang dipimpinnya yang tidak bisa mempertanggungjawabkan putusan hakim. Kan kinerja hakim tidak dinilai atas dasar unit kerja administrasi, tetapi dilihat putusannya, suap-menyuap kan terkait putusan hakim,” kritik Hasril.       

Ia menilai adanya kebijakan penandatangan pakta integritas bagi hakim yang akan memangku jabatan pimpinan pengadilan tak akan berpengaruh signifikan ketika ada putusan hakim yang dipersoalkan masyarakat pencari keadilan.

“Jika pakta integritas menyangkut lambannya kecepatan dan ketepatan pelayanan pengadilan masih berarti positif, misalnya maraknya pungutan liar (pungli) di pengadilan,” kata Hasril.

Menurutnya, pakta integritas tanpa ada penegakan hukum yang baik dan masif tak berpengaruh apa-apa. Sebab, aturan PP No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS belum sepenuhnya dilaksanakan.

“Ada pelaku pungli di pengadilan tidak ditindak atau ditertibkan, apalagi cuma pakta integritas, pakta integritas ini memang bagus, tetapi harus dibarengi dengan penegakannya dengan adanya ketegasan menjatuhkan sanksi baik administratif maupun pidana,” sarannya.    

Meski demikian, seharusnya pakta integritas itu tak hanya diperuntukkan bagi pimpinan pengadilan, tetapi juga diberlakukan bagi panitera atau sekretaris pengadilan. Sebab, merekalah yang menjalankan fungsi administrasi yang juga menjadi tanggung jawab pimpinan pengadilan.

“Jadi tidak cukup pakta integritas hanya diperuntukkan bagi ketua dan wakil ketua pengadilan, tetapi juga bagi panitera atau sekretaris pengadilan,” sarannya.