Jumat, 30 Desember 2011

Majelis Kehormatan Hakim Baru Sidangkan 13 Hakim
Sepanjang Tahun 2009 Hingga 2011
Jum'at, 30 Desember 2011 , 09:20:00 WIB

MAJELIS KEHORMATAN HAKIM (MKH)

  

RMOL. Sepanjang 2009 hingga 2011, Majelis Kehormatan Hakim (MKH) baru 13 kali menyidangkan dan memberikan sanksi kepada hakim yang melakukan pelanggaran berat Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Hal itu disampaikan Komi­sio­ner Komisi Yudisial (KY) Jaja Ah­mad Jayus yang didampingi Juru Bicara KY Asep Rahmat Fa­jar saat memaparkan Hasil Pe­ne­litian Komisi Yudisial Mengenai Pengadilan Khusus di Gedung KY, Jakarta, Rabu (28/12).
Sekadar mengingatkan, MKH adalah perangkat yang dibentuk Makamah Agung (MA) dan KY. MKH bertugas memeriksa dan memutus kasus dugaan pelang­ga­ran Kode Etik dan atau Pedoman  Perilaku Hakim.
“Dalam arti bahwa Majelis Ke­hormatan Hakim menjadi forum pembelaan diri bagi hakim yang diusulkan untuk diberhentikan se­cara bertahap,” ujar Jaja.
Jubir KY Asep Rahmat Fajar menyampaikan, MKH berjalan sesuai mekanisme yang di­ter­bitkan dalam Keputusan Bersama Ketua Makamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 129/KMA/IX/2009–Nomor 04/SKB/P.KY/IX/2009 tanggal 8 September 2009 tentang Tata Cara Pembentukan, tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Ke­putusan Majelis Kehormatan Hakim.
“Sejak diterbitkannya kepu­tusan bersama itu sampai se­ka­rang, MKH telah dibentuk se­ba­nyak 13 kali. Dari jumlah terse­but, sebanyak 6 hakim yang di­aju­kan ke MKH merupakan re­komendasi KY. Sisanya atas re­komendasi MA,” ujar Asep.
Dari 13 kali pembentukan MKH itu, lanjutnya, yang ter­lak­sana persidangannya hingga di­keluarkannya keputusan adalah 12 kali MKH. “Satu MKH tidak da­pat dilaksanakan persid­a­ngan­nya, karena hakim yang diberikan kesempatan melakukan pem­be­la­an diri itu mengundurkan diri se­ba­gai hakim sebelum sidang MKH dilaksanakan. Sehingga, dia se­cara otomatis diberhentikan se­ba­gai hakim oleh MA atas per­min­taan sendiri,” ujar Asep.
Dari data yang dipaparkan KY, jumlah hakim yang dipanggil untuk diperiksa KY dari tahun 2005 sampai 15 Desember 2011, sebanyak 471 hakim. Dari jumlah itu, 452 hakim memenuhi pang­gi­lan. Sedangkan yang tidak me­me­nuhi panggilan 19 hakim.
“Yang tidak memenuhi pang­gi­lan itu, 9 hakim agung, 5 hakim ting­gi dan 5 hakim tingkat I atau pe­ngadilan negeri. Sedangkan un­tuk jumlah pelapor dan saksi yang diperiksa 625 orang,” urai Asep.
Nah, untuk tahun 2011 saja, kata Asep, ada 71 hakim yang me­menuhi panggilan KY dan 4 orang tidak memenuhi panggilan.
Dari 452 hakim yang diperiksa, se­­banyak 133 orang telah direko­men­dasikan ke MA untuk dija­tuh­kan sanksi. Asep me­nam­bah­kan, ada tiga macam rekomendasi sank­si, yaitu teguran tertulis, pem­ber­hen­tian sementara dan pem­berhentian.
Selanjutnya, dari 133 hakim ter­sebut, sebanyak 72 orang di­re­­komendasikan agar dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis, 42 orang direkomendasikan untuk diberikan sanksi pemberhentian sementara dari jabatan hakim mulai dari 6 bulan sampai 2 ta­hun, 1 orang dijatuhkan sanksi be­­rupa hakim non palu selama 3 bulan, 18 orang dire­komen­dasi­kan ­untuk dijatuhkan sanksi be­rupa pemberhentian tetap dari jabatan hakim.
Namun, dari 133 hakim yang di­rekomendasikan untuk diberi­kan sanksi itu, lanjut Asep, se­ba­nyak 110 hakim yang di­re­ko­men­dasikan tidak atau belum me­n­da­pat tanggapan atau ditolak MA dengan beberapa alasan. “Hanya 23 yang diterima MA,” ujarnya.
Dilihat dari tingkat pengadilan ter­hadap 133 hakim yang dir­e­ko­me­dasikan untuk diberikan sank­si, sebanyak 119 hakim ber­asal dari pe­ngadilan tingkat per­tama (pe­nga­dilan negeri, penga­dilan hubungan industrial, pe­nga­dilan agama, pe­ngadilan Ti­pi­kor dan PTUN) dan 14 hakim berasal dari tingkat ban­ding atau pengadilan tinggi.
Sedangkan bila dilihat dari jenis peradilannya, ada 102 ha­kim yang berasal dari peradilan umum tingkat pertama (PN), 16 hakim dari peradilan umum ting­kat banding, 5 hakim dari pe­nga­dilan hubungan industrial (PHI), 6 hakim peradilan agama, 2 hakim PTUN dan 2 hakim pe­nga­dilan Tipikor.
REKA ULANG
Dari Minta Uang Sampai Berbuat Asusila
1. Hakim Sudiarto (Ketua Pe­nga­dilan Negeri Banjarmasin) di­re­komendasikan MA untuk disi­dang MKH. Sudiarto di­laporkan meminta sejumlah uang dan fasilitas kepada pihak berper­ka­ra. Sudiarto diputus MKH pada 29 September 2009, dengan sanksi diber­hen­tikan secara ti­dak hormat dari jabatan hakim.
2. Hakim AS (Pengadilan Negeri Rantau Prapat) dire­komen­da­si­kan KY untuk disidang MKH karena dilaporkan meminta se­jumlah uang kepada pihak ber­perkara. Hakim ini diputus MKH pada 14 Desember 2009, de­ngan putusan tidak bersi­dang selama 2 tahun dan di­tem­pat­kan sebagai hakim yustisial di Pe­ngadilan Tinggi Banda Aceh.
3. Hakim AKS (Pengadilan Ne­ge­ri Muara Bulian). Dire­ko­men­dasikan KY karena diduga meminta sejumlah uang kepa­da pihak berperkara. Dia di­pu­tus MKH pada 14 Desember 2009 de­ngan hukuman tidak bersi­dang selama 20 bulan dan ditem­patkan sebagai hakim yustisial di Pengadilan Tinggi Kupang.
4. Hakim ER (PN Serui), di­re­ko­mendasikan MA karena diduga melakukan perbuatan tercela dan meminta sejumlah uang kepada seorang bernama Dewi Varasinta. Hakim ER diputus MKH pada 23 Februari 2010 dengan hukuman dimutasikan ke Pengadilan Tinggi Palang­ka­raya sebagai hakim yustisial selama 2 tahun dan ditunda ke­naikan pangkat selama 1 tahun.
5. Hakim Agus Kuswandi di­re­ko­mendasikan MA karena me­langgar disiplin kepegawaian atau tidak pernah masuk kerja. Yang bersangkutan tidak jadi di­sidangkan karena telah me­ngun­durkan diri sebagai hakim.
6. Hakim Rizet Benyamin Rafael (PN Kupang), direko­me­n­dasi­kan KY karena diduga me­nyi­dangkan perkara pihak yang ma­sih keluarganya sendiri. Ha­kim ini diputus MKH pada 16 Februari 2010 dengan hu­ku­man diberhentikan dengan ti­dak hormat dari jabatan hakim.
7. Hakim M Nasir (Pengadilan Agama Pare-pare). Di­reko­men­­da­sikan MA karena diduga meng­gelapkan uang kuliah, menggunakan stempel palsu milik UMI Makassar dan mela­kukan nikah siri. Nasir diputus MKH pada 26 April 2010 de­ngan hukuman diberhentikan dengan tidak hormat dari ja­batan hakim.
8. Hakim Ardiansyah Ferniahgus Djafar (PN Bitung), dire­ko­men­dasikan MA karena diduga melakukan penipuan dengan meminta sejumlah uang ke­pa­da pelapor agar anak pelapor lu­lus tes calon hakim. Hakim ini diputus MKH pada 15 No­vember 2010 dengan hukuman diberhentikan dengan hormat dari jabatan hakim.
9. Hakim Roy M Maruli Na­pi­tupulu (PN Balige), dire­ko­men­dasikan KY karena diduga menerima sejumlah uang dari pihak berperkara yang dita­nga­ninya. Hakim ini diputus MKH pada 2 Desember 2010 dengan hukuman diberhentikan de­ngan tidak hormat dari jabatan hakim.
10. Hakim ED (PN Mataram, da­hulu hakim PN Dumai), di­re­ko­mendasikan KY karena di­duga menerima sejumlah uang dari pihak berperkara. Dia di­putus MKH pada 24 Mei 2011 dengan sanksi dimutasikan ke PN Jambi sebagai hakim yus­ti­sial selama 2 tahun.
11. Hakim Dainuri (Makamah Sya­ri’ah Tapaktuan), dire­ko­men­da­sikan MA karena diduga me­lakukan perbuatan tercela. Dia diputus MKH pada 22 No­vem­ber 2011 dengan hukuman di­berhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai hakim.
12. Hakim Dwi Djanuanto (PN Jog­jakarta, dahulu hakim PN Kupang), direkomendasikan KY karena diduga menerima se­jumlah uang dari pihak ber­per­kara yang ditanganinya. Ha­kim ini diputus MKH pada 22 November 2011 dengan huku­man diberhentikan tidak de­ngan hormat dari jabatan hakim.
13. Hakim Jonlar Purba (PN Bale Bandung, dahulu hakim PN Wamena), direkomendasikan MA karena diduga menerima sejumlah uang dari pihak ber­per­­kara yang ditanganinya. Hakim ini diputus MKH pada 6 Desember 2011 dengan sank­si disiplin ringan berupa te­gu­ran tertulis dengan akibat di­ku­rangi tunjangan kinerja sebesar 75 persen selama 3 bulan.
Yang Diproses Masih Minim
Yasonna Laoly, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Yasonna Laoly menilai, kinerja pengawasan hakim sepanjang 2009-2011 melalui Majelis Ke­hormatan Hakim (MKH) ma­sih minim.
“Saya kira sangat banyak la­po­ran pelanggaran yang di­la­ku­kan hakim di berbagai daerah. Jika MKH hanya bisa mem­ro­ses 13, rasanya itu minim, ma­sih sangat rendahlah,” ujar ang­gota DPR dari PDIP ini.
Dia menyampaikan, peran sentral memberikan sanksi ter­hadap hakim nakal masih tetap di tangan Makamah Agung. Ka­rena itu, Yasonna berharap MA tidak lagi menutup-nutupi ber­bagai kelalaian dan pe­lang­ga­ran yang dilakukan hakim. “Se­mangat korps itu jangan sampai merusak tatanan dan proses pe­nagakan hukum kita,” ujarnya.
Dia menyampaikan, apabila pe­ran pengawasan internal MA efektif, maka kehadiran KY se­bagai lembaga pengawasan eksternal bagi hakim akan tidak signifikan. Namun, realitas di In­donesia, lanjut Yasonna, ma­sih belum bisa mempercayai se­penuhnya pengawasan hakim ke bagian internal MA. “Kalau su­dah bagus, peran KY akan ren­dah, tetapi kenyataannya be­lum bisa,” katanya.
Yasonna juga melihat ada kemajuan dalam pengawasan di internal MA, namun itu pun ma­sih jauh dari harapan ma­sya­ra­kat. “Ada sedikit progres dari se­belum-sebelumnya, wa­lau­pun dengan segala keter­ba­ta­san,” ujarnya.
Dia pun mendesak KY dan MA saling berkoordinasi untuk membenahi dan mengawasi para hakim. “Tentu dengan te­tap menjaga domain masing-masing,” ujarnya.
Sanksi yang diberikan kepada hakim-hakim bermasalah pun, kata Yasonna, tampak tidak be­gitu efektif menimbulkan efek jera. Karena itu, Yasonna ber­ha­rap ada gerakan moral secara nasional untuk memperbaiki kondisi hukum Indonesia.
“Yang sudah ditangkap KPK saja begitu, apalagi yang tidak. Persoalan ini sudah sangat pe­lik, dan itu harus dibenahi men­jadi sebuah gerakan nasional. Gerakan yang bisa dimotori para pemuka agama, pemimpin negara dan semua lapisan ma­sya­rakat harus dijadikan seba­gai gerakan moral yang holistik untuk membenahi sistim hukum yang ada,” ujarnya.
Belum Bisa Disebut Prestasi
Erna Ratnaningsih, Ketua YLBHI
Minimnya pemberian sanksi terhadap hakim melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH), menurut Ketua Yayasan Lem­ba­ga Bantuan Hukum In­do­ne­sia (YLBHI) Erna Rat­na­ning­sih, tidak terlepas dari me­ka­nis­me yang masih lemah.
“Mekanisme yang ada ter­nyata tidak efektif menjerat ha­kim-hakim nakal. M­ekanisme internal MA pun jelas tidak efek­tif. Kemudian, banyak re­ko­­mendasi KY yang tidak dija­lan­kan MA,” ujar Erna, kemarin.
Erna pun merasa jengkel de­ngan sikap KY dan MA yang ter­kesan mengumbar rivalitas di hadapan publik. Hal itu tentu tidak akan berdampak baik bagi masyarakat, khususnya dalam pembenahan sistem hukum di Indonesia.
Karena itu, dia menyarankan agar dibuat nota kesephaman yang obyektif dalam melakukan pengawasan hakim. “Perlu MoU antara KY dan MA, kese­pa­katan bagaimana menjerat ha­kim-hakim nakal dan mem­benahi peradilan kita,” ujarnya.
Salah satu aspek penting yang perlu menjadi titik perhatian da­lam membenahi perilaku ha­kim, lanjut Erna, yakni pem­be­na­han sistem peradilan. Me­ka­nisme peradilan sampai ke pe­ngambilan keputusan mestinya dilakukan secara transparan.
“Transparansi di tubuh pe­nga­dilan perlu disoroti, sebab me­kanisme yang ada itu mem­buka peluang bagi para hakim untuk berbuat nakal,” ujarnya.
MKH yang baru bisa me­nyi­dangkan 13 hakim, menurut dia, belum dapat disebut sebagai pres­tasi. Mekanisme penga­wa­san hakim harus diefektifkan.
“Dengan melibatkan civil so­ciety dalam pemantauan, juga dalam melihat track record ha­kim, mana yang pantas dipro­mo­sikan dan mana yang ber­ma­salah. Jadi, diperlukan penga­wa­san berlapis mulai dari MA, KY dan elemen masyarakat. De­ngan demikian, mafia pera­di­lan diharapkan dapat dihi­lang­kan,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Sekretaris Menpora Divonis 3 Tahun Penjara

Wafid Muharram terbukti menerima suap Rp3,2 miliar.

Senin, 19 Desember 2011, 11:03 WIB
Arry Anggadha, Dedy Priatmojo
VIVAnews - Sekretaris Menteri Pemuda dan Olah Raga (Sesmenpora), Wafid Muharam, divonis penjara selama 3 tahun. Anak buah Menteri Andi Mallarangeng itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

"Terdakwa terbukti menerima tiga buah cek yang berjumlah Rp3.289.850.000 dari Rosa dan Idris yang berhubungan dengan jabatan dan kewenangannya sebagai Sesmenpora," kata Ketua Majelis Hakim, Marsudin Nainggolan, saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin 19 Desember 2011.

Terdakwa terbukti melanggar Pasal 5 ayat 2 Jo Pasal 5 ayat 1 huruf b undang-undang tindak pidana korupsi. Selain itu, terdakwa juga dikenakan denda sebesar Rp150 juta, dengan catatan apabila terdakwa tidak bisa membayar maka akan diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan kurungan.

Adapun alasan terdakwa yang menyatakan 3 lembar cek tersebut merupakan dana pinjaman untuk operasional Kemenpora tidak dapat diterima. Menurut majelis hakim keterangan saksi-saksi di persidangan telah menjelaskan maksud lain dari pemberian cek tersebut yakni untuk success fee. "Sehingga alasan terdakwa tidak dapat diterima," ujarnya.

Hal-hal yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka memberantas korupsi. Sedangkan yang meringankan terdakwa bersikap sopan di persidangan dan sudah lama mengabdi pada negara.

Atas putusan majelis hakim, Wafid masih belum mengajukan banding. Dia akan menggunakan waktu selama 7 hari untuk menentukan apakah akan menerima atau mengajukan banding atas vonis tersebut. "Saya pikir-pikir terlebih dahulu," ujarnya.

Kamis, 29 Desember 2011

Protap Polri Tak Beda dengan Operasi Militer
Selasa, 27 Desember 2011 , 14:27:00 WIB
Laporan: Hendry Ginting


  

RMOL. Prosedur Standar (Protap) Polri selama ini bersifat ambigu dan pelaksanaannya tak beda dengan operasi militer.

Demikian pandangan anggota Komisi III DPR Eva Sundari di Jakarta (Selasa, 27/12). Tak itu saja, protap Polri dalam menghadapi aksi rakyat, seperti dalam kasus Mesuji dan Pelabuhan Sape, Bima, rawan diperalat pemodal dan oknum pejabat kepolisian untuk memperkaya diri sendiri.

"Lemahnya akuntabilitas atas kewenangan Polri yang begitu besar disebabkan minimnya kontrol sehingga berimplikasi kepada kewenangan-kewenangan Polri. Kewenangan itu seringkali dipergunakan dengan tidak sah dan tidak proporsional, termasuk menggunakan kekerasan," jelas politisi PDI Perjuangan ini.

Eva menilai, terbunuhnya beberapa petani dan aktivis mahasiswa di dua peristiwa itu mengindikasikan gagalnya reformasi dan paradigma baru di tubuh institusi korps baju coklat tersebut.

Berkaitan dengan kurangnya kontrol terhadap Polri, Eva mengatakan perlu dipikirkan untuk menempatkan Polri di bawah Kejaksaan Agung sebagai bagian dari penegak hukum. Selain itu, kata dia, perlu dilakukan restrukturisasi di internal Polri. Tujuannya agar institusi itu diarahkan bagi penguatan Polsek, bukan justru penguatan Mabes Polri seperti yang terjadi selama ini. [dem]

Baca juga:

Catat, Perlu Detasemen Khusus Anti Anarkisme!
Wakil Ketua MPR: Polri Harus Berada di Bawah Kemendagri Agar Beradab!
Ketua DPR Investigasi Isu Friksi Perwira Polri
Perpecahan Timur-Nanan Gosip Tidak Penting!
NU Kepingin Pemerintah Mereformasi Total Kepolisian
PENEMBAKAN BIMA
Desakan Mundur Jenderal Timur Pradopo Cuma Berdasar Asumsi Subyektif
Kamis, 29 Desember 2011 , 09:20:00 WIB
Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi

TIMUR PRADOPO/IST

  

RMOL. Karena ulah sejumlah oknum polisi yang tidak bisa mengendalikan diri dan memahami berbagai pola interaksi sosial, ekonomi dan politik maka di lapangan sering terjadi aksi kekerasan, seperti terjadi dalam kasus di Bima

Demikian disampaikan anggota Komisi III dari Fraksi partai Demokrat, Pieter C Zulkifli, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Kamis, 29/12).

Karena ulah oknum ini juga, kata Pieter, akhirnya muncul asumsi dan bahkan interpretasi yang menyudutkan lembaga Polri. Asumsi dan interprestasi ini tentu saja merugikan aparat polisi yang selama ini memiliki dedikasi serta menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kemanusiaan

"Kuatnya desakan agar Kapolri mundur menjadi bukti asumsi subyektif ini," kata Piater.

Karena itu Pieter meminta semua pihak untuk tidak larut dalam asumsi sekelompok orang. Apalagi asumsi ini bisa berubah menjadi provokasi yang menjerumuskan ke dalam berbagai persoalan yang tidak ada ujungnya.

Pieter pun meminta pemerintah bersikap tegas terhadap siapapun yang terlibat dalam aksi yang merugikan kepentingan rakyat dan negara. Kapolri juga harus berani menyampaikan pada publik berbagai fakta dan menindak tegas siapapun yang terlibat.

"Agar rakyat melihat bahwa masih banyak petinggi Polri yang masih memiliki hati nurani dan nilai kemanusiaan dalam mengemban amanah," demikian Piater. [ysa]

Baca juga:

Kapolri-Wakapolri Dikabarkan Berseteru, SBY Harus Turun Tangan
Presiden yang Paling Berhak Mengevaluasi Kinerja Polri
Kiai Said: Jangan Gunakan Peluru untuk Menembak Rakyat
Ironis, Tindakan Represif Aparat Seolah Dapat Justifikasi UU
Protap Polri Tak Beda dengan Operasi Militer

Selasa, 27 Desember 2011

NUSANTARA - NTB
Selasa, 27 Desember 2011 , 00:31:00

BIMA - Kondisi terakhir pascainsiden bentrok massa dan aparat di Pelabuhan Sape, Bima, suasana di Kecamatan Lambu asal massa aksi masih mencekam. Sejumlah ruas jalan mulai dari Desa Soro hingga di Perbatasan Desa Mangge, sepanjang Senin (26/12) diblokir.

Jalan-jalan utama yang menghubungkan Kecamatan Lambu dengan kecamatan lain itu juga tak bisa dilalui karena ditumpukkan batu-kayu dan benda keras lainnya. Suasana di sejumlah perkampungan penduduk nampak sepi. Hanya terlihat sejumlah warga berjaga di jalur yang diblokir.

Bahkan informasi yang diperoleh Lombok Post, tidak ada satupun kendaraan atau orang luar yang bebas keluar masuk desa. Setiap warga yang melintas akan diperiksa dan ditanya asal dan keperluannya masuk desa.

H Junaidin, salah seorang tokoh masyarakat Desa Rato yang ditemui di rumah Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bima,  Nadjib HM Ali, mengatakan bahwa saat ini tidak satupun orang luar yang bisa masuk di wilayah Kecamatan Lambu. Jalan Desa Soro hingga perbatasan Desa Mangge telah diblokir warga menggunakan batu, bale-bale, kayu dan lainnya.

"Saat ini suasana di Lambu mencekam. Tidak satupun orang bisa lewat dengan leluasa, kecuali orang yang mereka kenal. Seperti saya dan Kades Nggelu yang bisa kemana-mana. Orang lain, pasti akan dicegat oleh warga," katanya seperti dikutip Lombok Pos.

Sejumlah wartawan yang coba masuk ke Desa Rato kemarin siang dicegat sejumlah warga yang telah siap dengan senjata tajam.(gun/jpnn)
NASIONAL - HUKUM
Selasa, 27 Desember 2011 , 06:06:00

JAKARTA - Tongkat komando Kapolda NTB Brigjen rif wahyunandi terancam dicopot. Desakan agar orang nomor satu di Polda NTB itu dimutasi menguat di Jakarta. Bahkan demonstran nekad memblokade jalan menuju Mabes Polri dan juga jalan Sudirman-Thamrin di jantung ibukota.
   
Warga dan aktivis mahasiswa yang menamakan diri Forum Komunikasi Masyarakat Sape Lambu Jakarta mulai turun jalan sejak pukul 9 pagi di depan Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. "Kami meminta Kapolda NTB diganti karena sewenang-wenang," ujar Ferdian, salah seorang koordinator lapangan.

Massa juga membawa aneka atribut demo seperti spanduk, poster dan bendera. Petugas Detasemen Markas Mabes Polri yang berjaga di hari libur awalnya diam saja dan tetap kalem.

Namun, beranjak siang, warga dan  mahasiswa yang berjumlah sekitar 80 orang itu nekad memblokade jalan masuk pintu selatan Mabes Polri. Akibatnya, mobil operasional yang hendak masuk ke gerbang utama tidak bisa lewat.

"Kapolri harus mau menemui kami," kata Ferdian menolak negosiasi pembubaran oleh petugas jaga. Rupanya, mereka tidak tahu bahwa kemarin Jenderal Timur Pradopo sudah berada di Bima untuk memantau langsung penyelidikan kasus paska bentrokan.
   
Karena ngeyel, akhirnya, sekitar 100 personel Detasemen Markas dan Provos menggiring demonstran dan membuka blokade. Untungnya tak sempat terjadi bentrok walau sempat ada aksi saling dorong.

Tak puas berdemo di Mabes Polri, massa lantas bergeser ke Bundaran Hotel Indonesia. Atraksi mereka tambah nekad karena berani menghentikan laju kendaraan yang melintas dari arah selatan Jalan Sudirman-Thamrin.

Kemacetan sempat terjadi selama sekitar satu jam. Namun, setelah ada negosiasi dengan petugas Polres Jakarta Pusat, massa bersedia bubar. "Kami akan aksi lagi," kata Ferdian yang mengaku masih menjadi mahasiswa di sebuah universitas swasta di Jakarta itu.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Saud Usman Nasution menghargai aspirasi para demonstran. Termasuk usulan agar Kapolda NTB dicopot. "Tapi, semua harus dilakukan berdasar prosedur. Sampai saat ini belum ada ke arah itu (pencopotan)," kata Saud kemarin.

Mantan Kadensus 88 itu menjelaskan Kapolri jenderal Timur Pradopo sudah berada di Bima menyusul tiga jenderal bintang tiga yang sebelumnya juga sudah di lokasi. "Bapak Kapolri akan mendengarkan laporan langsung dari lapangan," katanya.

Saat ini tim yang dipimpin Irwasum, Komnjen (Pol) Fajar Prihatoro itu telah mulai melakukan pemeriksaan pasukan dan senjata api yang digunakan saat penanganan unjuk rasa pada Sabtu (24/12/2011) itu. Bahkan, komandan pasukan Brimob yang memimpin pasukan tersebut diperiksa 

"Yang penting internal sudah bekerja. Yang jelas, komandan-komandan di lapangan sudah diperiksa. Jumlahnya berapa, nanti kami akan cek," katanya.

Pemeriksaan senjata api anggota dilakukan untuk mencocokkan dengan proyektil yang diduga menewaskan dua warga saat pembubaran massa.

"Dari Irwasum akan melaksanakan pendalaman terhadap semua anggota yang terlibat, seperti senjata yang akan kami periksa oleh ahli forensik yang nanti akan diketahu atau dicurigai siapa pelakunya, dan kami cari barang bukti lain, proyektil misalnya," katanya.

Kepolisian siap bertanggung jawab secara hukum atas penanganan unjuk rasa yang berdampak dua warga tewas. Bahkan, jika ada pelanggaran pidana dilakukan aparat di lapangan, maka dia akan diproses secara pidana.(rdl)