Kamis, 28 April 2016

Ketika Sekretaris MA Nurhadi Memerintahkan Bawahannya untuk Tidak Korupsi

Jakarta - KPK tengah membidik Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi karena di rumahnya ditemukan ribuah dolar AS dan mata uang asing lainnya. Jauh sebelumnya, Nurhadi memerintahkan anak buahnya untuk tidak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Perintah ini dituangkan dalam Surat Keputusan Sekretaris MA Nomor 008-A/SEK/SK/I/2012 yang ditandatanganinya pada 6 Januari 2012. Dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan larangan PNS MA yaitu dilarang di antaranya:

1. Menyalahgunakan wewenangnya.
2. Melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme.
3. Melakukan tindakan yang merugikan stakeholder MA.
4. Terlibat dalam kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan.
5. Melakukan penyimpangan prosedur.
6. Terlibat kasus narkoba.

Dengan tindakan yang dilakukan KPK kepada Nurhadi beberapa hari terakhir, maka pimpinan MA diharapkan cepat bertindak. Apalagi sebagai PNS, Nurhadi harus mematuhi norma yang dibuatnya sendiri dalam SK Nomor 008-A/SEK/SK/I/2012 itu.

"Belum segera bertindaknya Pimpinan Mahkamah Agung (MA) tentu patut disayangkan dan akan menimbulkan kesan di publik bahwa pimpinan MA permisif atau toleran terhadap segala dugaan perlanggaran perilaku yang dilakukan oleh pegawai MA," kata ahli hukum Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Kamis (28/4/2016).

Meskipun status hukum Sekretaris MA belum ditentukan oleh KPK, namun peristiwa belakangan terakhir sudah bisa menjadi pintu masuk Pimpinan MA untuk bertindak. Pegawai di lingkungan badan peradilan dituntut memiliki kualifikasi integritas yang sangat tinggi, bukan hakim semata.

Lantas bagaimana jika Sekretaris MA diduga kuat melanggar SK 008-A/SEK/SK/I/2012 yang dibuatnya sendiri itu?

"Seharusnya tidak perlu menunggu sampai KPK menetapkan status hukum kepada Sekretaris MA. Pimpinan MA dalam rangka menjaga kewibawaan dan kepercayaan publik kepada badan peradilan maka dapat segera membentuk Majelis Aturan Perilaku (MAP) untuk memeriksa Sekretaris MA," ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.

Majelis Aturan Perilaku (MAP) bagi pegawai MA dan badan peradilan di bawahnya ini telah diatur dalam SK yang dibuat Nurhadi sendiri itu. Dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa untuk menegakkan nilai dasar aturan perilaku pegawai MA yaitu transparansi, akuntabilitas, kemandirian, integritas, profesionalisme, dan religiusitas dan dalam rangka untuk memeriksa setiap dugaan terjadinya aturan pelanggaran perilaku oleh pegawai MA dibentuk Majelis Aturan Perilaku (MAP).

"Namun mengingat jabatan Sekretaris MA adalah pegawai dengan pangkat dan jabatan tertinggi di MA, sementara dalam aturan tersebut disebutkan jabatan dan pangkat anggota Majelis Aturan Perilaku (MAP) tidak lebih rendah dari jabatan dan pangkat Pejabat/Pegawai yang diperiksa, maka anggota Majelis Aturan Perilaku (MAP) ini bisa saja terdiri dari Ketua Mahkamah Agung dan beberapa hakim agung,"

Hal itu mengingat sesuai dengan Pasal 25 UU tentang Mahkamah Agung disebutkan Sekretis MA diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Dengan demikian tidak hanya mengusulkan pengangkatan, melainkan terdapat tanggung jawab ketua MA untuk juga mengawasi perilaku Sekretaris MA.

"Selain itu jika nantinya Majelis Aturan Perilaku (MAP) ini jadi dibentuk maka pemeriksaannya harus dilakukan secara terbuka, objektif dan profesional. Namun akhirnya jika ternyata pimpinan MA memilih tidak membentuk  Majelis Aturan Perilaku (MAP) yang artinya membiarkan peristiwa dugaan pelanggaran perilaku yang dilakukan oleh Sekretaris MA ini maka dapat disebut Pimpinan MA sedang membiarkan jatuhnya citra dan kredibilitas MA di mata masyarakat yang tentu akan membahayakan negara hukum Indonesia secara keseluruhan," papar Bayu.

Sementara itu, Wakil Ketua MA yang juga Ketua Muda Pengawasan MA hakim agung Syarifuddin mengaku telah membentuk tim. Tetapi ia tidak tahu sampai sejauh mana progres kinerja tim itu.

"Itu kan tim ya, saya enggak tahu, tim yang bekerja," kata Syarifuddin di gedung Ombusdman Republik Indonesia (ORI), Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (27/4) kemarin.

"Tapi apakah sudah ada pemanggilan Nurhadi?" tanya wartawan menegaskan.

"Saya enggak tahu," jawab Syarifuddin.

Di sisi lain, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyebut kondisi aparat peradilan Indonesia dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Dari 102 negara dunia yang disurvei, Indonesia menduduki ranking ke-74. Di negara-negara Asia Pasifik, Indonesia peringkat ke-14 dari 15 negara.

Peringkat itu tampak pada Rule of Law Index 2015 yang dirilis World Justice Project, Washington DC. Indeks yang memotret praktik peradilan di tiga kota besar pada 102 negara ini menyatakan penegakan hukum Indonesia sangat rendah.

"Salah satu penyumbang poin buruk pada pemeringkatan ini adalah rendahnya integritas dan etika di lingkungan peradilan. Indonesia berada di peringkat ke-74 dari 102 negara dunia atau ke-14 dari 15 negara Asia Pasifik," kata pimpinan ORI Adrianus Meliala.

Rendahnya posisi Indonesia juga karena sulitnya warga mendapat akses civil justice melalui peradilan. Pada dimensi ini, Indonesia berada di peringkat ke-83 dari 102 negara dunia atau ke-13 dari 15 negara Asia-Pasifik.

"Indeks ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-52 dari 102 negara dunia. Indonesia juga termasuk berada di antara peringkat terbawah di antara 15 negara Asia-Pasifik, yaitu di peringkat ke-10. Peringkat Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia dan Filipina," ujar pakar kriminologi itu.

Nama Nurhadi mulai dikenal publik saat menggelar pernikahan anaknya dengan megah di Hotel Mulia, Senayan. Sebagai PNS yang juga beristrikan PNS di MA, kekayaannya terbilang cukup banyak yaitu mencapai Rp 30 miliar lebih. Rumahnya di bilangan Hang Lekir V, Jakarta Selatan menempati 5 nomor yaitu dari nomor 2 hingga 6.

Wartawan telah berusaha menemui Nuhadi di kantornya tetapi Nurhadi tidak menemui atau memberikan keterangan atas kepemilikian ribuan dolar tersebut. Pihak yang memberikan keterangan di kasus ini adalah jubir MA hakim agung Suhadi. Wartawan juga telah mencoba meminta konfirmasi kepada Nurhadi di rumah megahnya berjam-jam lamanya, tetapi Nurhadi atau kerabatnya tidak ada yang menemui wartawan. 

KPK Buka Penyelidikan Uang Rp1,7 Miliar Sekretaris MA

Oleh : Finalia Kodrati, Taufik Rahadian
VIVA.co.id – Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mendalami mengenai uang Rp1,7 miliar yang disita dari rumah Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi.
Salah satu yang tengah didalami adalah mengenai keterkaitan uang tersebut dengan kasus dugaan suap pengamanan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah menjerat Panitera/Sekretaris PN Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata tidak menampik bahwa pihaknya telah membuka Penyelidikan untuk menelisik keterkaitan uang Nurhadi dengan kasus dugaan suap tersebut.
"Iya, iya bisa jadi (ada keterkaitan). Makanya ini kan masih dalam tahap penyelidikan. Kalau untuk Pak Nurhadi, masih tahap penyelidikan. Itu kan pasti ada informasi dari pihak Penyelidik, ada informasi yang dikembangkan dari keterangan saksi-saksi untuk tersangka Edy Nasution. Ya nanti kan kalau alat buktinya enggak cukup, enggak akan kita teruskan. Barang-barang dan uangnya juga kita kembalikan," kata Alex saat dikonfirmasi, Kamis 28 April 2016.
Alex menyatakan bahwa pihaknya mempunyai alasan untuk menyita uang miliaran tersebut dari rumah Nurhadi. Namun dia masih belum bisa mengungkapkan apakah uang-uang tersebut terindikasi suap juga.
Dia hanya menyebut bahwa hingga saat ini Nurhadi belum ditetapkan sebagai tersangka. "Berarti kan memang alat buktinya belum cukup. Paling baru terindikasi memang ada barang bukti yang di rumah pak Nurhadi yang berkaitan ke sana. Makanya dilakukan penggeledahan untuk mencari alat bukti itu berdasarkan keterangan saksi atau tersangka Edy Nasution," papar Alex.
Diketahui, KPK telah menyita uang dalam bentuk mata uang asing dan Rupiah dari rumah Nurhadi. Uang tersebut berjumlah sekitar Rp1,7 miliar.
Uang-uang yang disita terdiri dari beberapa mata uang. Diantaranya USS37.603, SG$85.800, YEN170.000, Saudi Riyal7.501, Euro1.335 serta Rp354.300.000.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif menyebut bahwa uang yang ditemukan di rumah Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi masih ada keterkaitan dengan suatu perkara.
Kendati demikian, Syarif menyebut pihaknya masih mendalami perkara yang ada kaitannya dengan uang tersebut. Namun diduga, uang tersebut terkait beberapa kasus.
"Kumpulan dari bermacam-macam kasus, itu yang sedang diteliti. jumlah uangnya itu kasus a berapa b berapa itu sedang diteliti," ujar dia.
Terkait kasus ini, KPK telah menetapkan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution sebagai tersangka. Dia diduga telah menerima uang ratusan juta dari seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno.
Suap tersebut diduga diberikan terkait pengajuan Peninjauan Kembali di PN Jakarta Pusat. Edy diduga dijanjikan uang hingga sebesar Rp500 juta.
Namun kasus tersebut terungkap setelah Edy dan Doddy tertangkap tangan oleh Tim Satgas KPK usai penyerahan uang di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Rabu 20 April 2016. Keduanya kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Usai penangkapan itu, pihak KPK langsung bergerak cepat dalam melakukan pengembangan. Salah satunya adalah dengan melakukan penggeledahan di sejumlah tempat, termasuk kantor dan rumah Nurhadi. Bahkan, pihak KPK menemukan dan menyita uang dalam bentuk Dolar Amerika. Namun hingga saat ini, penyidik masih belum menjelaskan keterkaitan Nurhadi dalam perkara ini.

Rabu, 27 April 2016

Wakil Ketua MA Soal Penyelidikan Nurhadi: Saya Nggak Tahu, Saya Nggak Tahu

Rini Friastuti - detikNews
Jakarta - KPK menggeledah rumah pribadi Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menemukan ribuan dolar AS. Atas hal ini, MA membentuk tim untuk menelusuri temuan itu. Tapi apa hasilnya?

"Itu kan tim ya, saya enggak tahu, tim yang bekerja," kata Wakil Ketua MA hakim agung Syarifuddin di gedung Ombusdman Republik Indonesia (ORI), Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (27/4/2016).

"Tapi apakah sudah ada pemanggilan Nurhadi?" tanya wartawan menegaskan.

"Saya enggak tahu," jawab Syarifuddin menegaskan yang juga Ketua Muda MA bidang Pengawasan itu.

Rumah Nurhadi digeledah KPK karena penyidik mencium jejak Nurhadi dalam kasus suap yang dilakukan panitera PN Jakpus Edy Nasution yang kini berstatus tersangka. Dari penggeledahan itu, KPK menyita ribuan dolar AS yang hingga kini masih diselidiki asal-usulnya. Ruang kerja Nurhadi juga digeledah KPK pada Jumat (22/4) lalu.

Atas hal itu, Syarifuddin menyerahkan semuanya ke tim internal yang menelusuri kasus itu. Sebagai Wakil Ketua MA, Syarifuddin belum mengetahui perkembangan penelusuran tim. Tapi Syarifuddin memastikan Nurhadi masih beraktifitas seperti biasa.

"Saya rasa belum bisa ya, karena pemeriksaan masih berjalan," ujar Syarifuddin yang juga atasan langsung Nurhadi itu.

Nama Nurhadi mulai dikenal publik saat menggelar pernikahan anaknya dengan megah di Hotel Mulia, Senayan. Sebagai PNS yang juga beristrikan PNS di MA, kekayaannya terbilang cukup banyak yaitu mencapai Rp 30 miliar lebih. Rumahnya di bilangan Hang Lekir V, Jakarta Selatan menempati 5 nomor yaitu dari nomor 2 hingga 6.

Wartawan telah berusaha menemui Nuhadi di kantornya tetapi Nurhadi tidak menemui atau memberikan keterangan atas kepemilikian ribuan dolar tersebut. Pihak yang memberikan keterangan di kasus ini adalah jubir MA hakim agung Suhadi. Wartawan juga telah mencoba meminta konfirmasi kepada Nurhadi di rumah megahnya berjam-jam lamanya, tetapi Nurhadi atau kerabatnya tidak ada yang menemui wartawan.
(asp/try)

KPK Mulai Periksa Saksi Terkait Kasus Suap Panitera PN Jakpus

Dhani Irawan - detikNews
Jakarta - Penyidik KPK memulai pemeriksaan saksi terkait kasus suap yang melibatkan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution. Saksi yang diperiksa berasal dari swasta bernama Charles Paris Hasudungan.

"Yang bersangkutan diperiksa untuk tersangka DAS," ucap Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati ketika dikonfirmasi, Rabu (27/4/2016).

Namun sayangnya tidak dibeberkan secara jelas siapa Charles tersebut lantaran hanya tertulis sebagai karyawan swasta. Charles bakal diperiksa untuk tersangka Doddy Aryanto Supeno yang menjadi perantara dalam kasus suap itu.

Dalam kasus suap ini, KPK sudah menggeledah sejumlah tempat termasuk di rumah sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Dia juga dicegah KPK dan masih berstatus sebagai saksi. Tak hanya itu, duit pecahan dolar Amerika Serikat juga disita KPK dari Nurhadi, meski peruntukannya masih didalami penyidik KPK.

"Itu masih diselidiki, di penyidikan saya tidak bisa mengungkapkan apa perannya Nurhadi.  Siapa itu Pak Edy Nasution dan kaitannya dengan Pak Nurhadi masih terus didalami," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Selasa (26/4).

Dalam pengembangan kasus, KPK melakukan penelusuran asal muasal duit atau follow the money sehingga bisa diketahui peran-peran pihak yang bersangkutan.

"Semuanya akan kita kembangkan ke sana kan tapi uangnya apakah ada hubungannya antara uang yang diterima Edy itu dengan uang yang diterima di rumahnya Pak Nurhadi terus kita kembangkan," ujar Alex.

Nama Nurhadi mulai dikenal publik saat menggelar pernikahan anaknya dengan megah di Hotel Mulia, Senayan. Sebagai PNS yang juga beristrikan PNS di MA, kekayaannya terbilang cukup banyak yaitu mencapai Rp 30 miliar lebih. Rumahnya di bilangan Hang Lekir V, Jakarta Selatan menempati 5 nomor yaitu dari nomor 2 hingga 6.

Wartawan sudah berusaha menemui Nurhadi di kantornya tetapi Nurhadi tidak bisa ditemui  atau memberikan keterangan atas kepemilikan ribuan dolar tersebut. Pihak yang memberikan keterangan di kasus ini adalah jubir MA hakim agung Suhadi. Wartawan juga telah mencoba meminta konfirmasi kepada Nurhadi di rumah megahnya menunggu berjam-jam lamanya, tetapi Nurhadi atau kerabatnya tidak ada yang menemui wartawan.

Dalam kasus ini, dua orang tersangka sudah ditetapkan oleh KPK yaitu panitera sekretaris PN Jakpus Edy Nasution serta seorang pengusaha sekaligus perantara bernama Doddy Aryanto Supeno. Keduanya ditangkap seusai melakukan transaksi sebesar Rp 50 juta yang merupakan sebagian kecil dari duit yang dijanjikan.

Edy pun disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001, juncto Pasal 64 KUHP, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1.

Sementara itu, Doddy disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001, juncto Pasal 64 KUHP, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1. 

Langkah Cepat MA Memecat Hakim Agung Yamani dan Sikap Pasif Atas Nurhadi

Andi Saputra - detikNews
Jakarta - KPK menemukan ratusan ribu uang dolar AS di rumah Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Namun MA pasif dan tidak proaktif menelusuri kejanggalan itu. Berbeda dengan temuan kejanggalan putusan gembong narkoba Hengky Gunawan. MA aktif dan akhirnya memecat hakim agung Achmad Yamani.

Dalam catatan detikcom, Rabu (27/4/2016), kasus Yamanie mulai terendus saat ada perbedaan putusan yang diterima kejaksaan dengan yang ada dalam dokumen MA pada 2012. Dalam putusan yang diterima eksekutor tertulis hukuman mati Hengky diubah menjadi hukuman 12 tapi dalam dokumen MA tertulis 15 tahun penjara.

Mendapati hal ini, pimpinan MA langsung bergerak cepat. Pada November 2012, Yamanie tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatannya dengan alasan sakit. Tetapi pengunduran diri ini ditolak keras oleh hakim agung Gayus Lumbuun sehingga pimpinan MA langsung membentuk tim khusus untuk menyelidiki perbedaan putusan di atas.

Akhirnya pimpinan MA membentuk Majelis Kehormatan Hakim (MKH) bersama Komisi Yudisial (KY) dengan hasil Yamanie dipecat pada 11 Desember 2012. Yamanie dinilai terbukti melakukan kesalahan etik fatal yaitu mengubah putusan majelis terhadap Hengky dari 15 tahun menjadi 12 tahun penjara.

Beda Yamani, beda pula Nurhadi. Meski rumah Nurhadi sudah digedah KPK, namun pimpinan MA masih pasif menyikapi hal ini. MA tidak buru-buru membuat tim layaknya dilakukan terhadap Yamani.

"Belum, belum dicopot. Dicopot atau tidak itu ada ketentuan yang mengatur itu," kata juru bicara MA hakim agung Suhadi dalam jumpa pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara pada 22 April 2016 lalu.

Atas langkap KPK itu, MA juga tidak aktif memeriksa Nurhadi. MA menyerahkan sepenuhnya kepada Nurhadi apakah akan melaporkan atau tidak. Padahal, Nurhadi adalah bawahan pimpinan MA.

"MA belum mendapat adanya laporan pencekalan dari intistusi yg memohon atau dari imigrasi. Belum ada juga laporan dari Nurhadi. Kemungkinan sebentar lagi Bapak Nurhadi akan lapor ke pimpinan MA. Sampai tadi saya mencari informasi belum ada laporan ke pimpinan MA," ujar Suhadi.

Belum diketahui hingga kini, apakah MA telah mengambil sikap terhadap Nurhadi atau belum.

Nama Nurhadi mulai dikenal publik saat menggelar pernikahan anaknya dengan megah di Hotel Mulia, Senayan. Sebagai PNS yang juga beristrikan PNS di MA, kekayaannya terbilang cukup banyak yaitu mencapai Rp 30 miliar lebih. Rumahnya di bilangan Hang Lekir V, Jakarta Selatan menempati 5 nomor yaitu dari nomor 2 hingga 6.

Wartawan telah berusaha menemui Nuhadi di kantornya tetapi Nurhadi tidak menemui atau memberikan keterangan atas kepemilikian ribuan dolar tersebut. Pihak yang memberikan keterangan di kasus ini adalah jubir MA hakim agung Suhadi. Wartawan juga telah mencoba meminta konfirmasi kepada Nurhadi di rumah megahnya berjam-jam lamanya, tetapi Nurhadi atau kerabatnya tidak ada yang menemui wartawan.
(asp/imk)

Selasa, 26 April 2016

KPK: Kesaksian Nurhadi Vital Ungkap Suap di PN Jakarta Pusat


Oleh : Aryo Wicaksono, Taufik Rahadian
VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, sosok Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, merupakan salah satu pihak yang kesaksiannya dinilai memiliki peran vital, dalam mengungkap kasus dugaan suap pengamanan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Terkait penyidikan kasus itu, KPK sudah meminta kantor Imigrasi untuk melarang Nurhadi bepergian keluar negeri.
"Keterangan Nurhadi sangat diperlukan," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, saat dikonfirmasi, Selasa, 26 April 2016.
Priharsa menyebut, penyidik menilai keterangan Nurhadi dapat membantu untuk mempermudah penyidikan kasus ini. "Karena penyidik menduga Nurhadi mungkin mengetahui sejumlah hal yang berkaitan penyidikan," ujarnya menambahkan.
Namun saat disinggung mengenai waktu pemeriksaan terhadap Nurhadi akan dilakukan, Priharsa mengaku belum mengetahuinya. "Belum tahu kapan akan dipanggil," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, terkait perkara ini KPK telah menetapkan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution sebagai tersangka. Dia diduga telah menerima uang ratusan juta dari pihak swasta bernama Doddy Aryanto Supeno.
Suap tersebut diduga diberikan terkait pengajuan Peninjauan Kembali perkara yang ditangani di PN Jakarta Pusat. Edy diduga dijanjikan uang hingga Rp500 juta.
Namun, kasus tersebut terungkap setelah Edy dan Doddy tertangkap tangan Tim Satgas KPK, usai penyerahan uang di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Rabu 20 April 2016. Keduanya kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Usai penangkapan itu, pihak KPK langsung bergerak cepat dalam melakukan pengembangan. Salah satunya dengan menggeledah di sejumlah tempat. Termasuk di antaranya, kantor dan rumah Nurhadi. Bahkan, tim KPK menemukan dan menyita uang Dolar Amerika. Namun hingga saat ini, penyidik masih belum menjelaskan keterkaitan Nurhadi di perkara ini.

Ungkap Ribuan Dolar AS di Rumah Sekretaris MA, KPK Segera Periksa Nurhadi

Dhani Irawan - detikNews
Jakarta - KPK masih belum mengungkap secara gamblang peran Nurhadi terkait kasus suap yang menjerat panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution. Keterangan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) itu dianggap penting sehingga pemeriksaan terhadapnya segera dilakukan.

"Karena yang bersangkutan dianggap mengetahui dan akan mempermudah proses penyidikan," kata Kabag Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (26/4/2016).

Nurhadi sendiri telah dicegah oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkum HAM atas permintaan penyidik KPK. Status cegah terhadap Nurhadi itu berlangsung selama 6 bulan ke depan sejak diajukan pada bulan ini.

Penyidik KPK pun telah melakukan penggeledahan di ruang kerja Nurhadi di MA serta di rumah mewah miliknya di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan. Sejumlah uang dalam pecahan dolar Amerika Serikat pun turut disita penyidik KPK.

Namun sayangnya KPK masih enggan membeberkan peruntukan uang tersebut, apakah terkait dengan tindak pidana atau memang milik pribadi Nurhadi yang didapat secara sah di mata hukum. KPK saat ini masih menelusuri asal muasal uang tersebut serta peruntukannya.

Meski begitu, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif memberi sinyal bahwa uang tersebut berkaitan dengan perkara di MA. Pun demikian, KPK masih perlu mendalami dugaan tersebut serta membuktikannya dengan keyakinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Ada hubungannya dengan perkara. Kalau uang ada di pengadilan tidak mungkin tidak berhubungan dengan negara," sebut Syarif, Senin kemarin.

Terlepas dari itu, KPK telah mengungkap praktik suap dalam pendaftaran Peninjauan Kembali (PK) di PN Jakpus. Kasus ini yang kemudian membuat Nurhadi dicegah bepergian ke luar negeri selama 6 bulan ke depan.

Dua orang tersangka pun telah ditetapkan oleh KPK yaitu panitera sekretaris PN Jakpus Edy Nasution serta seorang pengusaha sekaligus perantara bernama Doddy Aryanto Supeno. Keduanya ditangkap seusai melakukan transaksi sebesar Rp 50 juta yang merupakan sebagian kecil dari duit yang dijanjikan.

Edy pun disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor, juncto Pasal 64 KUHP, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1. Sementara itu, Doddy disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor, juncto Pasal 64 KUHP, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1.

Nama Nurhadi mulai dikenal publik saat menggelar pernikahan anaknya dengan megah di Hotel Mulia, Senayan. Sebagai PNS yang juga beristrikan PNS di MA, kekayaannya terbilang cukup banyak yaitu mencapai Rp 30 miliar lebih. Rumahnya di bilangan Hang Lekir V, Jakarta Selatan menempati 5 nomor yaitu dari nomor 2 hingga 6.

Wartawan telah berusaha menemui Nuhadi di kantornya tetapi Nurhadi tidak menemui atau memberikan keterangan atas kepemilikian ribuan dolar tersebut. Pihak yang memberikan keterangan di kasus ini adalah jubir MA hakim agung Suhadi. Wartawan juga telah mencoba meminta konfirmasi kepada Nurhadi di rumah megahnya menunggu berjam-jam lamanya, tetapi Nurhadi atau kerabatnya tidak ada yang menemui wartawan.
(dhn/asp)

MA Belum Pecat Hakim Tinggi Agama yang Dibui 2,5 Tahun di Kasus Korupsi

Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Pengadilan Tipikor Padang menjatuhkan hukuman 2,5 tahun penjara kepada penjara kepada Syamri Adnan. Hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Aceh itu dinyatakan terbukti korupsi proyek pembangunan gedung pengadilan. Bagaimana status Syamri kini?

"Memindahkan sementara sebagai hakim tinggi nonpalu di Pengadilan Tinggi Agama Padang," demikian sanksi yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) kepada Syamri sebagaimana dikutip dari website MA, Selasa (26/4/2016).

Kasus korupsi yang menyeret Syamri terjadi pada tahun 2007 saat dia menjabat Ketua Pengadilan Agama (PA) Maninjau. Saat itu PA Maninjau mendapat kucuran dana Rp 900 juga untuk pembelian lahan tanah pembangunan gedung. Belakangan, pembebasan lahan itu menuai masalah.

Sebagai pemegang kuasa anggaran, dana pembangunan tersebut ternyata di-mark up sehingga negara merugi sekitar Rp 200 jutaan. Atas kasus ini, kuasa pengguna anggaran yang juga PNS setempat, Suardi, diadili dan dihukum 1,5 tahun penjara.

Bagaimana dengan Syamri? Jaksa terus mengusut kasus tersebut dan mendudukkan Syamri di kursi panas. Jaksa mengajukan tuntutan 6,5 tahun penjara terhadap Syamri. Tapi apa kata Pengadilan Tipikor Padang?

"Menjatuhkan hukuman pidana penjara 2 tahun dan 6 bulan," putus majelis hakim Pengadilan Tipikor Padang yang diketuai Fahmiron pada 15 Maret 2016.

Atas putusan ini, jaksa mengaku tengah mengajukan banding agar Syamri dihukum lebih berat. Persidangan ini dipantau secara intensif oleh Komisi Yudisial (KY).

"Tindak pidana otomatis merupakan pelanggaran berat yang tanpa adanya Majelis Kehormatan Hakim (MKH) pun sudah harus diberhentikan," ucap jubir KY, Farid Wajdi.

Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu MKH memecat hakim Falcon karena menerima suap Rp 15 juta. Hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Muara Teweh itu jual beli perkara pada 2014 silam.
(asp/Hbb)

Senin, 25 April 2016

Ramalan Gayus Lumbuun dan Bidikan Beruntun KPK Menggeledah MA

Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Sepanjang sejarah peradilan Indonesia, mungkin baru kali ini gedung Mahkamah Agung (MA) digeledah penegak hukum secara beruntun. Penggeledahan pertama dilakukan pada Februari 2016 terhadap ruang kerja Kabusdit Perdata Andri Tristiandto dan penggeledahan kedua pada pekan lalu terhadap ruang kerja Sekjen MA Nurhadi.

Ruang Andri diobok-obok KPK usai dirinya ditangkap KPK karena kedapatan mendapatkan sekoper uang dari pihak berperkara. Adapun ruang Nurhadi digeledah sebagai kelanjutan tertangkapnya Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Edy Nasution. Tidak hanya itu, Nurhadi juga dicegah ke luar negeri untuk kepentingan penyidikan KPK.

Penggeledahan beruntun ini mengingatkan terhadap ramalan hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun yang pernah mengingatkan pentingnya reformasi di tubuh peradilan. Dalam catatan detikcom, Minggu (24/4/2016), Gayus telah menyerukan reformasi besar-besaran di puncak lembaga yudikatif itu

"MA mengurusi man (SDM), money (anggaran) dan capital (aset). Dalam kasus ini yang harus diperbaiki adalah 'man' atau sumber daya manusianya," kata Gayus beberapa saat setelah Andri dicokok KPK.

Kala itu, Gayus menyebut tertangkapnya Andri hanyalah riak-riak kecil dan masih ada ombak besar lainnya. Entah kebetulan atau tidak, usai mencokok Andri, KPK menangkap basah Edy dan diteruskan dengan menggeledah rumah pribadi Nurhadi.

Kekhawatiran Gayus itu bukanlah pertama kali. Pada 2012, Gayus pernah menyerukan upaya pembenahan institusi MA sesuai dengan amanat reformasi dan penciptaan institusi negara yang bersih, efisien, dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Gayus menyerukan pembenahan prioritas jangka pendek yaitu pengembangan transparansi dan akuntabilitas pada aspek pengorganisasian MA dan kinerja MA

Selain itu, perlu dilakukan transparansi dan akuntabilitas administrasi berkaitan dengan penyelenggaraan pengadiministrasian produk-produk MA seperti putusan pengadilan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh MA. Walaupun telah terdapat perbaikan, namun masih belum cukup dengan informasi mengenai putusan yang disampaikan melalui webside, tetapi juga diikuti dengan keterbukaan informasi mengenai proses pemeriksaan perkara yang telah diputus agar publik bisa mengerti tentang hal atau dasar yang menjadikan putusan tersebut ditambah, dikurangi atau tetap sama.

"Gambaran di atas, mendorong perlunya upaya luar biasa untuk melakukan pembenahan di lingkungan MA. Upaya ini tidak terkait dengan kepentingan pribadi, tetapi semata-mata untuk memperkuat institusi MA secara kelembagaan sesuai dengan konstitusi dan rakyat Indonesia," cetus hakim agung yang mulai mengabdi sejak 2011 itu.

Empat tahun berselang, kekhawatiran Gayus itu kini terbukti. Lembaga tertinggi yang seharusnya bersih, agung dan menjaga marwah ke-Ilahi-an, malah memberikan tontonan sebaliknya. KPK meyakini kasus Andri dan Edy adalah puncak gunung es semata.

"Sistem harus kita perbaiki. Untuk MA itu banyak. Tapi sebenarnya mereka tidak konsisten dengan sistem operating yang sudah mereka buat. Sudah ada kok, mana yang belum diatur di negeri ini? Enggak konsisten saja semuanya," cetus pimpinan Saut Situmorang.

Dengan situasi demikian, akankah KPK bisa melakukan hattrick untuk menggeledah gedung MA?
(asp/dhn)

KPK: Pencegahan Nurhadi bukan untuk Penetapan Tersangka

Achmad Zulfikar Fazli    •    23 April 2016 21:35 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Sekretaris Mahkamah Agung telah dicegah untuk berpergian ke luar negeri. Namun, KPK menyebut pencegahan itu bukan bertujuan untuk menetapkan Nurhadi sebagai tersangka.

Menurut Wakil Ketua KPK Basariah Panjaitan, pencegahan yang diminta KPK kepada Ditjen Imigrasi berbeda dengan aparat penegak hukum lain, seperti Kejaksaan Agung dan kepolisian. KPK, kata dia, mengajukan pencegahan terhadap seseorang hanya untuk memeriksanya sebagai saksi dalam kasus yang tengah diusut. 

"Kalau penyidikan yang dilakukan polisi atau Kejaksaan cekal di sini dia sudah tersangka. Harus bisa bedakan ya. Kalau cekal yang dilakukan KPK adalah pada tahap penyelidikan," kata Basariah di Hotel Sari Pan Pasifik, Jalan M. H. Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (23/4/2016).

Basariah menjelaskan tujuan pencegahan terhadap Nurhadi lantaran penyidik ingin menggali informasi sebanyak mungkin untuk mendukung penyelidikan. Karena itu, ia menegaskan, pencegahan ini tidak ada kaitannya dengan kemungkinan ditetapkanya Nurhadi sebagai tersangka.

"Pencekalan yang dilakukan oleh KPK itu tidak dalam rangka mengarah ke tersangka. Itu harus bisa membedakan pencekalan yang dilakukan KPK dengan penegak hukum lainnya. Ini satu hal yang berbeda. " jelas dia.

Sebelumnya, Sekertaris Mahkamah Agung, Nurhadi dicegah berpergian ke luar negeri oleh Dirjen Imigrasi. Pencegahan ini dikeluarkan atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dirjen Imigrasi Ronnie F Sompie mengatakan pencegahan ini berdasarkan Keputusan Pimpinan KPK NO: KEP-484/01-23/04/2016, pada Kamis 21 April 2016.

"Baru saja Ada surat Perintah untuk pencegahan dari Pimpinan KPK, atas nama Nurhadi," ujar Dirjen Imigrasi Ronnie F Sompie saat dikonfirmasi, Kamis malam.

Ronnie menjelaskan, pencegahan ini  berlaku selama enam bulan ke depan. Pencegahan ini diduga berkaitan dengan penyidikan kasus dugaan suap penanganan permohonan pendaftaran peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Yang bersangkutan dicegah selama 6 bulan, sebagai saksi," kata dia.

KPK menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan pendaftaran peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Mereka yakni Panitera atau Sekertaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan pihak swasta Doddy Aryanto Supeno.

Edy dan Doddy tertangkap tangan sedang bertransaksi suap di sebuah hotel di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu 20 April. Keduanya ditangkap di parkiran basement hotel.

Dalam operasi ini, penyidik menyita uang sebesar Rp50 juta. Uang itu diserahkan dari Doddy kepada Edy. Uang tersebut merupakan sebagian dari jumlah uang yang dijanjikan sebesar Rp500 juta. Sebelumnya, Doddy juga telah memberikan uang sebesar Rp100 juta kepada Edy, pada Desember 2015.

Edy disangkakan sebagai penerima suap, sedangkan Doddy disangkakan sebagai pemberi suap.

Atas tindakannya ini, Doddy diduga melanggar Pasal 5 ayat (2) huruf a dan Pasal 5 ayat (1) huruf b dan atau Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP, juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedangkan Eddy diduga melanggar Pasal 12 huruf a dan atau b dan atau pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP, juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Berkas Kasus Suap MA Dinyatakan Rampung

Nur Azizah    •    11 April 2016 19:07 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan berkas penyidikan Direktur PT Citra Gading Aristama, Ichsan Suadi, lengkap. Kasusnya akan dinaikkan ke penuntutan. Hal ini diungkapkan kuasa hukum Ichsan, Otto Bismarck.

"Iya sudah P21 (lengkap). Mungkin dua atau tiga minggu lagi sidang," kata Otto di Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (11/4/2016). 

Otto mengklaim, kliennya hanya korban dari Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Pranata Perdata Mahkamah Agung, Andri Tristianto. Otto mengaku tidak tahu keterlibatan pihak lain dalam kasus itu.

"Pak Ichsan ditipu oleh Andri. Karena kan Andri bukan orang yang berwenang melakukan itu (membantu menunda salinan berkas kasasi)," jelas Otto.

KPK sedang mendalami mekanisme penanganan perkara di MA setelah suap dalam penerbitan salinan kasasi yang menyeret Andri terbongkar. KPK menduga Andri menerima suap dari Ichsan Suadi lewat pengacaranya Awang Lazuardi Embat. Suap bertujuan menunda pengiriman salinan kasasi kasus yang menjerat Ichsan.

Ichsan merupakan terdakwa korupsi megaproyek Dermaga Labuhan Haji senilai Rp82 miliar di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di tingkat kasasi, dia divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim M. S. Lumme, Krisna Harahap, dan Artidjo Alkostar. Vonis dibacakan pada 9 September 2015.

Supaya tak buru-buru dieksekusi, Ichsan diduga menyuap Andri Rp400 juta untuk menunda pengiriman salinan putusan. Duit diberikan lewat Awang.

Namun, kejahatan ketiganya terendus lembaga antikorupsi. Selesai transaksi suap, Andri, Ichsan, dan Awang ditangkap KPK. Saat itu, penyidik KPK juga menyita koper yang berisi uang Rp500 juta di rumah Andri.

Ichsan dan Awang ditetapkan sebagai tersangka selaku pemberi suap. Dia dikenakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu , Andri jadi tersangka penerima suap. Dia disangka Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tersangka Suap di MA Merasa Berada di Tempat yang Salah

Nur Azizah    •    31 Maret 2016 04:43 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Tersangka kasus suap penundaan salinan putusan kasasi Makamah Agung Awang Lazuardi Embat (ALE) terus diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi ditemani kuasa hukumnya Syarif Hidayatullah. Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, Syarif Hidayatullah bersikeras, kliennya tidak bersalah.

Syarif menegaskan, kliennya bukan sebagai perantara suap. ALE, kata dia, hanya berada di tempat yang salah saat operasi tangkap tangan KPK. 

"Yang melakukan suap kan bukan dia. Dia hanya ada di tempat yang salah saja," kata Syarif di gedung KPK, jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (30/3/2016).

Terkait adanya keterlibatan pihak lain, Syarif masih enggan berkomentar. Suap dilakukan antara Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suadi dan Kasubdit Kasasi dan Perdata Khusus MA Andri Tristianto Sutrisna. "Itu angka dari Andri dan itu deal dengan IS. Bukan dari ALE" ujar Syarif.

Sebelumnya, Andri disangka menerima suap dari Ichsan Suadi lewat pengacaranya Awang Lazuardi Embat. Suap bertujuan untuk menunda pengiriman salinan kasasi kasus yang menjerat Ichsan.

Diketahui, Ichsan merupakan terdakwa korupsi megaproyek Dermaga Labuhan Haji senilai Rp82 miliar di Mataram. Di tingkat kasasi, dia divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim M. S. Lumme, Krisna Harahap, dan Artidjo Alkostar. Vonis dibacakan pada 9 September 2015.

Supaya tak buru-buru dieksekusi, Ichsan diduga menyuap Andri sebesar Rp400 juta agar pengiriman salinan putusan ditunda. Duit diberikan lewat pengacaranya, Awang Lazuardi.

Namun, kejahatan ketiganya terendus Lembaga Antikorupsi. Selesai transaksi suap, Andri, Ichsan, dan Awang ditangkap KPK. Saat itu, penyidik KPK turut menyita sebuah koper yang berisi uang Rp500 juta di rumah Andri, pada 12 Februari lalu.

Ichsan dan Awang pun ditetapkan sebagai tersangka selaku pemberi suap. Keduanya dikenakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara, Andri jadi tersangka penerima suap. Dia disangka Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pencekalan Tak Pengaruhi Status Nurhadi di MA

Achmad Zulfikar Fazli    •    22 April 2016 15:25 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Pencekalan yang dilakukan Direktorat Jenderal Imigrasi tidak mempengaruhi status Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. KPK juga belum menjelaskan bagaimana status Nurhadi terkait kasus dugaan suap yang membelitnya.

Juru bicara MA Suhadi mengatakan, Nurhadi masih aktif bekerja di MA. Belum ada keputusan pemberhentian ataupun pencopotan dari jabatannya sebagai Sekretaris MA.

"Masih aktif kerja. Kemarin juga melantik kok. Tapi enggak tahu hari ini, saya belum ketemu," kata Suhadi dalam konferensi pers di Media Center, Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (22/4/2016).

Suhadi mengatakan, pihaknya belum mendapat kejelasan soal pencegahan terhadap Nurhadi. Baik Imigrasi maupun KPK, kata dia, belum melaporkan bagaimana status Nurhadi terkait kasus ini.

"Pak Nurhadi kita belum tahu, belum ada pemberitahuan dari KPK apakah dia kapasitasnya sebagai saksi atau tersangka," ujarnya.

Bahkan, kata Suhadi, MA saat ini belum mendapatkan penjelasan resmi dari KPK perihal penggeledahan ruang kerja dan rumah Nurhadi. Apakah kasus itu perdata atau pidana, MA juga belum mengetahuinya.

Suhadi mengungkapkan, MA hanya mendapatkan laporan adanya operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan penggeledahan di ruang kerja dan kediaman Nurhadi.

"Masalah perkaranya belum jelas yang dilakukan KPK. Kami belum dapat info apakah perkara perdata atau pidana," katanya.

Sebelumnya, Sekjen MA Nurhadi dicegah berpergian ke luar negeri oleh Dirjen Imigrasi. Pencegahan ini dikeluarkan atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dirjen Imigrasi Ronnie F Sompie mengatakan pencegahan ini berdasarkan Keputusan Pimpinan KPK NO: KEP-484/01-23/04/2016, pada Kamis 21 April 2016.

"Ada surat perintah pencegahan dari pimpinan KPK atas nama Nurhadi," kata Dirjen Imigrasi Ronnie F Sompie saat dikonfirmasi, 21 April malam.

Ronnie menjelaskan, pencegahan ini  berlaku enam bulan. Pencegahan diduga berkaitan dengan penyidikan kasus dugaan suap penanganan permohonan pendaftaran peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

KPK menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan pendaftaran PK di PN Jakpus. Mereka adalah Panitera atau Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan pihak swasta Doddy Aryanto Supeno.

Edy dan Doddy tertangkap tangan sedang bertransaksi suap di sebuah hotel di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu 20 April. Keduanya ditangkap di parkiran basement hotel.

Dalam operasi ini, penyidik menyita uang sebesar Rp50 juta. Uang itu diserahkan dari Doddy kepada Edy. Uang tersebut merupakan sebagian dari jumlah uang yang dijanjikan sebesar Rp500 juta. Sebelumnya, Doddy juga telah memberikan uang sebesar Rp100 juta kepada Edy, pada Desember 2015.

Edy disangkakan sebagai penerima suap, sedangkan Doddy disangkakan sebagai pemberi suap.

Atas tindakannya ini, Doddy diduga melanggar Pasal 5 ayat (2) huruf a dan Pasal 5 ayat (1) huruf b dan atau Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP, juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedangkan Eddy diduga melanggar Pasal 12 huruf a dan atau b dan atau pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP, juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Gaji Nurhadi Rp 18 Juta pada 2012, Rumahnya di Hang Lekir

TEMPO.CO, Jakarta - Rumah modern di Jalan Hang Lekir V, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu langsung menarik perhatian orang yang melintas di depannya. Selain terkesan mewah, itu adalah rumah paling besar karena menyatukan dua blok.

Akibatnya, rumah ini memiliki dua alamat di jalan berbeda, yaitu Jalan Hang Lekir V Nomor 6 dan Jalan Hang Lekir VIII Nomor 2. Rumah di kompleks itu nilainya kini mencapai Rp 22 miliar per unit.

Rumah dengan pagar berhias potongan batu marmer ini adalah milik Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Saat didatangi pada Kamis siang, 21 April 2016, rumah ini sangat tenang.

Upaya Tempo menyapa keluarga atau penghuni rumah dengan ucapan salam dan membunyikan bel tak mendapat balasan. Padahal sejumlah lampu di ruang utama menyala dan empat kendaraan mewah terlihat terparkir.

“Warga di daerah ini memang tak pernah kelihatan. Mereka pergi pagi dan pulang malam. Bertamu saja hampir tak mungkin,” kata petugas perlindungan masyarakat, Asep.

Asep tak tahu profil dan pekerjaan mayoritas warga di Rukun Warga 06, Kebayoran Baru, tersebut. Ia juga tak mendengar kabar sejumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah kediaman Nurhadi. “Tak ada laporan sama sekali ke sekretariat RW,” ujarnya.

Berdasarkan situs komisi antirasuah, Nurhadi melaporkan kekayaan dengan jumlah Rp 33,42 miliar per 7 November 2012. Dia memiliki aset tanah dan bangunan di sejumlah kota dengan nilai total Rp 7,36 miliar. Padahal rumah di sekitar Jalan Hang Lekir V harganya sudah mencapai puluhan miliar.

Seluruh kekayaannya, menurut Nurhadi, berasal dari usaha sarang walet yang dirintis sejak 1981. "Sebagai eselon I, gaji pokok dan remunerasi saya hanya Rp 18 juta per bulan," tutur Nurhadi kepada majalah Tempo pada 2012. รข€¨

FRANSISCO ROSARIANS l MAYA AYU PUSPITASARI

Suap PN Jakpus, KPK: Ada Indikasi Nurhadi Terlibat

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini tengah mendalami keterlibatan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dalam kasus suap pengajuan peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Ada indikasi, tapi belum bisa dipastikan," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, setelah menghadiri Seminar Kekuatan Perempuan, Inspirasi Perubahan, di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Sabtu, 23 April 2016. Untuk detailnya, Basaria menjanjikan satu-dua hari ke depan. "Kita tunggu satu-dua hari lagi pasti sudah ada jawaban.”

Terkait dengan pencekalan, Basaria menjelaskan bahwa belum tentu orang-orang yang dicekal lembaga antirasuah akan berujung menjadi tersangka. Pencekalan yang dilakukan komisi antirasuah, kata dia, hanya agar bisa mendapatkan informasi sebanyak mungkin untuk membantu penyelidikan.

"Ini yang membedakan KPK dengan penegak hukum lainnya," katanya melanjutkan. Kepolisian dan kejaksaan mencekal orang karena sudah jadi tersangka. Sementara lembaga antikorupsi boleh mencekal orang yang belum berstatus tersangka.

Pada 21 April 2016, Nurhadi dicekal KPK. Selama enam bulan ke depan, ia tak diperbolehkan ke luar negeri untuk kepentingan penyidikan. Sebelum dicegah, rumah dan kantor Nurhadi sempat digeledah.

Pencegahan ini dilakukan karena Nurhadi terindikasi terlibat dalam perkara yang menyeret salah satu panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Edy diduga menerima suap dari Doddy Arianto Supeno dalam pengajuan peninjauan kembali dua perusahaan yang terlibat kasus perdata.

Edy ditangkap bersama Doddy di salah satu hotel di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Saat penangkapan itu, penyidik menemukan duit Rp 50 juta. Kepada penyidik, Edy mengaku sebelumnya pernah menerima duit Rp 100 juta pada Desember 2015 dari Doddy.

Sebagai panitera, Edy tak punya wewenang untuk menyelesaikan suatu perkara. Dalam kasus ini, ia hanya berperan sebagai perantara. Namun, hingga saat ini KPK masih belum menentukan siapa lagi yang terlibat dalam kasus ini.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan kasus ini ibarat sebuah gunung es. "Ini adalah pembuka," katanya Kamis kemarin. Ia mengatakan ada banyak kasus lebih besar yang perlu diselesaikan dengan segera dibalik kasus ini.

Ratusan Ribu Dolar AS di Rumah Sekretaris MA, Ahli: Nggak Masuk Logika

Andi Saputra - detikNews
akarta - KPK menyita uang ratusan ribu dolar Amerika Serikat saat menggeledah rumah pribadi Sekretaris (setara Sekjen-red) Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Wartawan telah berusaha meminta konfirmasi kepada Nurhadi tetapi ia tidak bisa ditemui baik di rumah atau di kantornya.

Alhasil, orang berspekluasi dari mana asal uang itu dan apa kaitannya dengan kasus yang tengah ditangani KPK.

"Ini nggak masuk logika, ada sekretaris menyimpan uang ratusan ribu dolar. Apa dia bendahara? Kan bukan. Harusnya sekretaris itu ya menyimpan banyak berkas, bukan uang," kata ahli hukum Prof Dr Hibnu Nugroho saat berbincang dengan detikcom, Senin (25/4/2016).

KPK terpaksa menggeledah rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir V Nomor 2-6, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Jumat (22/4) lalu karena tercium jejak Edy Nasution di rumah tersebut. Edy merupakan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang dibekuk KPK saat menerima sejumlah uang dari pengusaha Doddy di sebuah hotel di bilangan Gajah Mada, Jakarta Pusat.

"Apa itu uang pribadi dia? Kalau uang pribadi, ya umumnya menyimpannya di bank, bukan di rumah," papar Hibnu.

Dengan temuan ini, maka menjadi tantangan besar bagi KPK untuk menyatukan puzzle-puzzle menjadi sebuah gambar yang utuh. Didukung KPK juga telah memeriksa Nurhadi untuk tersangka bawahannya, Andri Tristianto Sutrisna (ATS) yang telah ditangkap lebih dulu pada 14 Februari lalu.

"Ya ini akan menjadi efek domino, karena ini sentralnya di MA dan akan mengarah ke pusat epicentrumnya dan menjadi sorotan nasional. Tinggal KPK bisa menjabarkannya atau tidak," cetus pengajar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu.

Wartawan telah berusaha menemui Nuhadi di kantornya tetapi Nurhadi tidak menemui atau memberikan keterangan atas kepemilikian ribuan dolar tersebut. Pihak yang memberikan keterangan di kasus ini adalah jubir MA hakim agung Suhadi. Wartawan juga telah mencoba meminta konfirmasi kepada Nurhadi di rumah megahnya berjam-jam lamanya di depan pagar rumahnya, tetapi Nurhadi atau kerabatnya tidak ada yang menemui wartawan.

"Iya, tapi uang apa kan? Yang kita tanya itu uang apa kan? Apakah ada korelasi perkara, atau melanggar hukum, atau itu uang milik pribadi yang bersangkutan. Kan itu, belum jelas," ujar kata juru bicara MA hakim agung Suhadi.
(asp/dnu)