Jpnn
JAKARTA - Penetapan tersangka akhirnya resmi masuk ke dalam objek sengketa praperadilan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah.
Terpidana
kasus bio remediasi Chevron ini sebelumnya mengajukan permohonan uji
materi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
Dalam putusannya, mahkamah menyatakan
bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan," ujar Ketua MK Arif
Hidayat membacakan putusan dalam sidang di Gedung MK, Selasa (28/4).
Menurut mahkamah, hakikat keberadaan
pranata praperadilan adalah sebagai mekanisme pengawasan terhadap proses
penegakan hukum. Hal ini terkait erat dengan jaminan perlindungan hak
asasi manusia (HAM).
Sementara, penetapan tersangka adalah
bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap HAM
seseorang. Karena itu, sewajarnya warga negara diberi kesempatan untuk
menguji penetapan tersangka melalui praperadilan.
"Hal tersebut semata-mata untuk
melindungi seseorang dari tindakan sewenang penyidik," ucap Hakim Anwar
Usman membacakan pertimbangan mahkamah.
Dalam putusannya mahkamah juga
menambahkan Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP
dengan frasa "minimal dua alat bukti". Sehingga menegaskan bahwa proses
penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka harus
didahului dengan adanya dua alat bukti.
Suara mahkamah tidak bulat dalam putusan
ini. Dari sembilan hakim, tiga berpendapat bahwa penetapan tersangka
bukan bagian dari obyek praperadilan. Hakim-hakim itu adalah I Dewa Gede
Palguna, Muhammad Alim dan Aswanto. (dil/jpnn)