Kamis, 05 November 2015

Inilah Jenderal yang Jadi Komisaris di Perusahaan Sawit yang Dituding Bakar Hutan


Rabu, 4 November 2015 19:55

BANGKAPOS.com - Barisan jenderal polisi duduk dalam dewan komisaris Wilmar perusahaan yang didirikan pengusaha asal Medan, Martua Sitorus dan memiliki perkebunan di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang kini disebut-sebut terkait pembakaran hutan.
Akibatnya, Imam B Prasodjo meragukan kesungguhan pemerintah menyeret pelaku pembakar hutan. Bahkan dalam akun Facebooknya pagi ini, Rabu (4/11/215), Sosiolog UI ini memposting foto ucapan selamat kepada Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI dari perusahaan perkebunan Wilmar Group.
"Coba perhatikan! Mungkinkah penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) akan mampu bertindak tegas dalam melakukan tindakan hukum bila di dalam raksasa perusahaan perusahaan perkebunan yang memiliki potensi terkait dengan 'pembakaran hutan' ternyata di belakangnya ada komisaris para mantan pembesar dalam lembaga penegak hukum? Entahlah!" tulis Imam di dalam akunnya.
Terlihat memang di dalam dewan komisaris itu duduk Jend Pol (Purn) Drs. Sutanto, Komjen (Purn) Drs. Nanan Soekarna, Mayjen TNI (Purn) Drs. Hendardji Soepandji sampai Irjen Pol (Purn) Drs. Paiman.

Menurut Imam sudah dapat diduga, yang paling berat dalam mengatasi bencana kabut asap hingga ke akar akarnya adalah komplikasi hukum dan kaitan tarik menarik kekuatan yang ada di dalamnya.
"Sebagai bangsa, kita menangis atas kenyataan ini. Di tengah kehidupan rakyat yang begitu banyak masih dalam derita, jutaan petani dan buruh yang bergaji tak cukup menyambung hari."

"Hingga jutaan perempuan Indonesia terpaksa harus mengais tetesan rizki menjadi kuli, babu, TKI, dan menyabung nyawa, meninggalkan anak dan suami," katanya lagi.
Belum lagi di dalam hutan sana juga ada ratusan ribu kehidupan suku suku pedalaman yang selama ini dengan setia menjaga hutan sumber kehidupan warisan ribuan tahun nenek moyang.
Tak terbayang juga jutaan kekayaan alam, keragaman flora dan fauna yang menjadi sumber kekayaan bangsa, dan banyak lagi.
"Ternyata hancur dalam cengkraman raksasa bisnis yang entah untuk kemakmuran siapa. Lihatlah hutan dibakar, digadaikan, diobral untuk kemewahan dan kerakusan di atas derita orang orang yang harusnya pemilik paling sah negeri ini," kata Imam.
Menurutnya kita harus renungkan saat membaca konstitusi kita (UUD 1945 Pasal 33) yang telah begitu jelas menyatakan: "Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara" (Ayat 2). Juga disebutkan: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" (Ayat 3).

Sosiolog Imam Prasodjo
Namun semua itu tidak ada artinya, hanya ada di atas kertas jika para pemimpin dan pembesar bangsa yang ternyata memanfaatkan semua sumber kekayaan hanya untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya.

"Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara" (Ayat 2). Juga disebutkan: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" (Ayat 3).

Sosiolog Imam Prasodjo
Namun semua itu tidak ada artinya, hanya ada di atas kertas jika para pemimpin dan pembesar bangsa yang ternyata memanfaatkan semua sumber kekayaan hanya untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya.
"Orang pun dengan mudah dapat bertanya: 'Tapi mana kemakmuran untuk rakyat di tengah kemewahan perusahaan raksasa itu? Lihatlah korban korban asap akibat jutaan hektar hutan hangus, menebar asap begitu menyesakkan'." katanya.

Dan yang paling penting harus diingat juga adalah, dalam konstitusi kita juga disebutkan:
"Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional" (Ayat 4).
Katanya lagi-lagi, rakyat dengan mudah dapat menggugat: "Tapi mana kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian. Dan mana pula prinsip menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional?"

"Semoga negeri ini, yang pemerintahannya dibentuk dan ada karena darah pengorbanan nenek moyang, yang mengorbankan nyawa demi cita cita 'memajukan kesejahteraan umum', yang bersumpah hingga dituangkan dalam kata-kata begitu jelas untuk 'melindungi segenap bangsa Indonesia', tak berkhianat, dan dapat selamat dalam menghadapi tantangan yang begitu besar ini," katanya.
Mari kita amati sambil berdoa agar tak berakhir dengan berita buruk bagi bangsa ini karena ulah dan penghianatan terhadap cita cita proklamasi.
Terbesar di Asia
Wilmar Group termasuk perusahaan agrobisnis terbesar di Asia, mulai dari penguasaan lahan, pabrik pengolahan, hingga perdagangannya.
Dan, walaupun berbasis di Singapura, sejatinya sebagian besar aktivitas produksinya berada di Indonesia.

Di negeri ini, Wilmar memiliki sekitar 48 perusahaan operasional. Salah satunya adalah PT Multimas Nabati Asahan, yang memproduksi minyak goreng bermerek Sania.
Pendiri Wilmar Group Martua Sitorus, berasal dari Pematang Siantar, Sumatera Utara

Lebih dari itu, pendiri Wilmar adalah orang Indonesia bernama Martua Sitorus, berasal dari Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Ia adalah sarjana ekonomi dari Universitas HKBP Nommensen, Medan.
Kisah Martua sendiri memulai bisnisnya tak jauh beda dengan pengusaha besar lainnya.
Berawal dari berdagang minyak sawit dan kelapa sawit kecil-kecilan di Indonesia dan Singapura. Lama-kelamaan bisnisnya berkembang pesat.
Dan, pada 1991 Martua mampu memiliki kebun kelapa sawit sendiri seluas 7.100 hektar di Sumatera Utara.
Di tahun yang sama pula ia berhasil membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit pertamanya.
Pada 1996 Martua berekspansi ke Malaysia dengan membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit di sana.

Tak puas dengan itu, Martua mulai melirik bisnis hilir (produk turunan) yang lebih bernilai tinggi.
Pada 1998 Martua untuk pertama kalinya membangun pabrik yang memproduksi specialty fats.
Lalu pada tahun 2000 ia juga meluncurkan produk konsumsi minyak goreng bermerek Sania.
Selanjutnya, tahun demi tahun bisnis Martua makin membesar hingga menjadi salah satu perusahaan agrobisnis terbesar di Asia yang terintegrasi dari hulu sampai hilir.
Per 31 Desember 2005, Wilmar memiliki total lahan perkebunan kelapa sawit seluas 69.217 hektar, 65 pabrik, tujuh kapal tanker, dan 20.123 karyawan.
Wilmar mengekspor produk-produknya ke lebih dari 30 negara.
Martua pun menjadi inspirasi pengusaha-pengusaha muda di Sumut yang ingin berhasil dan menapaki jejaknya.
 Puncaknya, Martua mencatatkan Wilmar di bursa efek Singapura pada Agustus 2006 dengan kapitalisasi pasar mencapai 2 miliar dolar AS.



Senin, 02 November 2015

Kantor Pertanahan Kabupaten Maros

Friday, August 02, 2013

Pengadaan Tanah untuk Pengembangan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar di Kab. Maros

Kegiatan pengadaan tanah untuk pengembangan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar yang dilaksanakan oleh Tim Panitia Pengadaan Kantah Kabupaten Maros, mencakup pembebasan tanah seluas 20 Ha yang terdiri atas tanah seluas 7.4 Ha berupa persawahan di dusun Bado-bado dan tanah seluas 2.6 Ha berupa pemukiman penduduk di dusun Pao Pao serta pembebasan tanah seluas 60 Ha yg merupakan wilayah non public area di pemukiman dusun Bado-Bado. Kegiatan ini dilaksanakan dengan tahapan kegiatan sebagai berikut : Kegiatan Inventarisasi dan identifikasi lokasi rencana pengadaan tanah, Kegiatan Pengukuran dan Pemetaan Lokasi, Kegiatan Pengumpulan data yuridis dan penandatanganan berkas, serta Kegiatan rapat koordinasi teknis bersama direktur pengadaan tanah BPN RI yg diikuti
oleh tim Angkasa Pura, masyarakat yang diwakili oleh Kepala desa dan kepala dusun serta tim P2T Kantor Pertanahan Kabupaten Maros.
Kantah Kab. Maros

Malpraktek dan Pertanggungjawaban Hukumnya


 Ada artikel baik yang saya ambil dari Wordpress nya Law Comunity , semoga bermanfaat untuk yang memerlukan informasi dan terima kasih Law Comunity.

Pendahuluan

Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malpraktek yang kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-langkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negativ terhadap pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum.
Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran didalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi kedokteran.
Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan ketidak puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan sang pasien. Walapun demikian tidak semua pasien memilih diam apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama bila salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut pandang terhadap dokter dengan pasiennya.
Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi, tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu mereka anggap sebagai ancaman. Penerapan hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi hukum. Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk mengatur dan mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi kedokteran akan kehilangan martabatnya manakala diatur oleh hukum. Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil sehingga mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam suasana tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah perlindungan hukum dan bukan mengenai masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini menunjukan kurangnya pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga kerancuan pemahaman atas masalah medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang mampu meningkatkan mutu dan jangkauan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai batasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu menyelesaikan problema medis seseorang penderita, bahkan kadang-kadang muncul problem baru dimana untuk melakukan diagnosa dokter sangat bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu dokter bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni tersendri karena memerlukan imajinasi setelah mendengar keluhan-keluhan pasien dan melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya. Hipocrates mengatakan bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan antara pengetahuan dan seni (science and art) yang harus diramu sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang mendekati kebenaran.
Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi yang penuh dengan resiko dan kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat terjadi kematian sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh pihak luar profesi kedokteran sebagai malpraktek medik.
Latar belakang timbulnya Malpraktek
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.             Namun adakalanya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang demikian inilah dokter sering kali dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktek.
Jenis Malpraktek
  1. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain :
  • Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang
  • Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
  • Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek etik ini antara lain :
  • Dibidang diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.
  • Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.
  1. Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :
  1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
  • Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
  • Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya.
  • Melakukan apa yang menurut  kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
  • Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti :
  • Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
  • Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
  • Ada kerugian
  • Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
  • Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
  • Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
  • Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
  • Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
  • Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.
  1. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
  1. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.
  1. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
  1. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
  1. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut :
  1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak harus normal.
  2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
  3. Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.
Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.
Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya  kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.

Senin, 26 Oktober 2015

DPR Segera Panggil Pihak Terkait soal Penyelesaian Bandara Hasanuddin


RMOL. Sekalipun sudah dioperasionalkan, perluasan bandara Hasanudin Makassar, dinilai masih menyisakan masalah terkait pengaduan sejumlah ahli waris, pemilik tanah seluas 102 hektar yang belum menerima haknya. Komisi III dan VI DPR pun menjadwalkan memanggil pihak-pihak terkait masalah penyelesaian tersebut.

"Ya, kita akan panggil pihak-pihak terkait perluasan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin di Makasar agar masalahnya clear," kata Anggota Komisi III DPR-RI, Bambang Soesatyo di Jakarta, Selasa (2/7).

Sebelumnya, sejumlah ahli waris didampingi kuasa hukum, Raden Yos Dria Purwadi mengadukan masalah pembangunan perluasan Bandara Hasanuddin yang masih bermasalah. Menurut Yos, ironis dan bertentangan dengan nurani serta akal sehat, karena dibalik beroperasinya perluasan Bandara Hasanuddin, masih ada para ahli waris yang  belum dibayar oleh instansi yang bertanggungjawab.

"Kami sudah membuat laporan resmi ke Kementrian Perhubungan, Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo maupun PT Angkasa Pura I," terangnya.

Selain itu, lanjut Yos, laporan diberikan pada Ketua Komisi VI DPR-RI yang menjadwalkan pemanggilan pihak terkait untuk didengar keterangannya. Menurut Yos, total kerugian diderita para ahli waris berjumlah Rp 7,14 miliar merujuk harga tanah senilai Rp 7.000/meter persegi ketika perluasan bandara Hasanuddin dilaksanakan tahun  1991-1992.

Adapun, Humas PT Angkasa Pura I, Diani yang dikonfirmasi masalah itu, menyatakan, masalah itu sudah ada di biro legal PT Angkasa Pura I. "Saya tidak memiliki kompetensi menjelaskan pemanggilan dari DPR, karena ini terkait masalah biro legal," elaknya.

Menurut Yos, jika penyelesaian pembayaran ganti rugi tidak mendapat respon dan perhatian dari pihak-pihak yang bertanggungjawab, dengan sangat menyesal pihak ahli waris pun akan melakukan penguasaan dan menduduki serta menutup landasan pacu Bandar Sultan Hasanudin, Makasar sampai ada penyelesaian ganti rugi tanah milik para ahli waris.  Adapun mereka yang disebut sebagai ahli waris meliputi 12 keluarga, terdiri dari, DG Pati, DG Ngemba, Latif, Baso Nompo, Sakka, H Jaree DG Turu, H Sese, Naharia, DG Sirua, Abbad DG Borong, H Hamzah, ABD Hafid. [rus]

Pembebasan Lahan Bandara Camat BPN Dituding Tipu Warga

RADARMAKASSAR.COM – Pemerintah setempat mulai dari camat sampai kepala dusun bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Maros, dituding telah bersekongkol menipu warga penerima dana pembebasan lahan Bandara Sultan Hasanuddin di Dusun Baddo-baddo, Desa Baji Mangai, Kecematan Mandai, Maros.
Hal itu dikatakan oleh koordinator Lembaga Monitoring Kinerja Aparatur Negara (Lemkira), Ismail Tantu menanggapi kekecewaan warga atas proses pembebasan lahan yang mereka nilai sarat dengan manipulasi data serta kecurangan. Dalam Undang-undang No 2 tahun 2012, tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, pasal 33 bidang tanah itu meliputi, tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah dan kerugian yang dapat dinilai. “Nah dengan banyaknya tanaman dan bangunan yang tidak dihargai, itu sudah melanggar,” papar Ismail kepada Radar, kemarin.
Pembebasan Lahan Bandara
Antara pemerintah setempat dengan BPN, menurut Ismail, punya peran penting atas kekisruhan pembebasan lahan di Bandara Sultan Hasanuddin tersebut. Pasalnya, data tim appraisal (penaksir) yang awalnya menaksir harga lahan yang lebih tinggi, malah dimanipulasi sedemikian rupa agar harganya lebih rendah.
“Modus seperti inilah yang dilakukan pertama oleh camat dan BPN, tentunya juga melibatkan oknum Angkasa Pura I. Harusnya dokumen tim appraisal ini dibuka ke warga, agar mereka tahu persis apa yang dibebaskan serta nilai taksirannya,” ujarnya.
Tak hanya itu, Ismail juga menuding Camat Mandai, Mahmud Oesman sebagai orang yang bertanggung jawab atas kekisruhan tersebut. Menurutnya, Camat telah keliru membentuk tim mediasi atas lahan sengketa warga. Camat yang bertugas melakukan verifikasi berkas, berpeluang merekayasa keadaan, dimana lahan yang tidak bermasalah bisa saja dipermasalahkan.
“Dengan adanya tim itu, jelas mengindikasikan camat merekayasa keadaan. Lahan yang dulunya tidak bermasalah, akhirnya dimasalahkan, kemudian tim ini masuk memediasi untuk atur damai. Warga yang tidak ingin berperkara di pengadilan, pastilah akan terpaksa sepakat dimediasi,” bebernya.
Dikonfirmasi, Mahmud Oesman membantah tudingan tersebut. Menurutnya, pihaknya selama ini sudah maksimal menjaga kepentingan warga atas haknya di pembebasan lahan. Bahkan, ia menjamin tidak ada sepeserpun yang ia pungut dari dana yang diterima warga selama ini. “Sepeserpun kami tidak pernah meminta penerima dana pembebasan dari warga, bahkan semua kepentingan warga kami kawal dengan baik agar tidak ada yang merasa dirugikan,” katanya.
Terkait keberadaan tim mediasi yang ia bentuk, Mahmud menjelaskan, fungsi tim mediasi tersebut untuk mendamaikan pemilik lahan yang disengketakan, agar pemilik lahan yang bersengketa tidak usah menempuh jalur hukum yang berbelit-belit dan pasti kana menelan biaya yang tidak sedikit. “Tim tersebut memang sengaja saya bentuk untuk membantu warga dalam proses mediasi sengketa lahan. Jadi kalau ada yang bersengketa, kita bisa mediasi lewat tim itu, kita upayakan agar tidak ada kasus sengketa yang sampai pengadilan,” ujarnya.
Sebelumnya, kepala BPN Maros, Hj Nuzuliah, membenarkan dari 258 bidang tanah yang akan dibebaskan, sekitar 38 lahan yang masih berstatus sengketa. “Pembayaran tetap dilanjutkan, tapi tidak diserahkan ke penerima jika masih bermasalah, kita akan titip dananya di Pengadilan, kalau sudah ada putusan atau hasil mediasi, kita akan bayarkan,” katanya.
Diketahui, pembebasan lahan bandara ini sudah masuk pada tahap kedua, dimana pihak Angkasa Pura 1 menargetkan 60 hektar lahan yang akan dibebaskan di wilayah tersebut dan disiapkan dana sebesar Rp521 miliar. (bak/awy)

Kamis, 08 Oktober 2015

Reformasi Birokrasi Upaya Mewujudkan Implementasi Good Governance

  nuraminsaleh.blogspot.com
A.           Pengertian Reformasi dan Birokrasi.

Reformasi berasal dari bahasa inggris, yaitu re form “mem-perbaiki” yang berarti perubahan suatu sistem yang sudah ada pada suatu masa. Kita pun Sering mendengar kata-kata reformasi dalam pemerintahan yang dapat diartikan perubahan/perbaikan suatu sistem dalam perintahan, dilakukannya reformasi dalam suatu sistem jika dianggap sistem yang digunakan itu sudah tidak efisien lagi untuk digunakan dalam mencapai suatu tujuan. Salah satu tanda reformasi yang telah dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di seluruh Indonesia dalam pemerintahan presiden soeharto adalah runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998.
Reformasi sesungguhnya merupakan sebuah proses yang harus senantiasa dilakukan secara bertahap dan sistematis sehingga setiap pelaksanaanya harus memiliki pemetaan dan skala prioritas yang jelas dan tetap terintegrasi satu sama lain. Selain itu, reformasi hendaknya selalu identik dengan kata perubahan, sehingga arah perubahan yang dimaksud dapat  terlihat jelas dan akuntabel.
Dalam suatu reformasi, sangatlah erat dengan kata birokrasi. Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar.
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai:
1.      Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan.
2.      Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai;
1.      Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan
2.      Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Reformasi birokrasi dapat diartikan sebagai perubahan secara mendasar, baik mind set, maupun culture set penyelenggara negara dari mentalitas, yang bersifat mengawasi, mengontrol dan menguasai masyarakat (colonial paradigm), menjadikan penyelenggara Negara (birokrasi) yang pro kepada Good public service serta tata kelola pemerintahan yang dapat meminimalisir terjadinya tindakan KKN baik pada tingkat suprastruktur dan infrastruktur penyelenggara Negara, dan penegakan supremasi hukum.
Masyarakat juga memegang peranan penting dalam pelaksanaan reformasi birokrasi kedepannya. Sebagai bagian dari proses birokrasi, masyarakat hendaknya dapat menciptakan suatu suasana yang kondusif dalam upaya peningkatan kualitas kinerja para pegawai sehingga nantinya tujuan dan maksud yang ingin dicapai melalui reformasi birokrasi dapat terwujud dengan baik.
B.            Teori – Teori Birokrasi
a.      Teori Max Weber
Berbicara soal birokrasi, tidak bisa lepas dari konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ”The Theory of Economy and Social Organization”, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Bahkan, Joyce Warham dalam “An Open Case” menyebutkan bahwa birokrasi model Weber mempunyai tipe ideal yang sama seperti tipe ideal profesionalisme Model ini yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi berbagai negara, termasuk di Indonesia, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan.
Weber membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Kewenangan tradisional (traditional authority) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik (charismatic authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural. Dan, kewenangan legal-rasional (legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan.
Dalam analisis Weber, organisasi “tipe ideal” yang dapat menjamin efisiensi yang tinggi harus mendasarkan pada otoritas legal-rasional., Weber mengemukakan konsepnya tentang the ideal type of bureaucracy dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi birokrasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern, yaitu:
a)      Sistem kewenangan yang hierakis “A hierarchical system of authority”.
b)      Pembagian kerja yang sistematis “A systematic division of labour”.
c)      Spesifikasi tugas yang jelas “A clear specification of duties for anyoneworking in it”.
d)      Kode etik disiplin dan prosedur yang jelas serta sistematis “Clear ang systematic diciplinary codes and procedures”.
e)      Kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten “The control of operation through a consistent system of abstrac rules”.
f)       Aplikasi kaidah-kaidah umum kehal-hal  pesifik  dengan  konsisten “A consistent applications of general rules to specific cases”.
g)      Seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang objektif “The selection of emfloyees on the basic of objectively determined qualivication”.
h)      Sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya “A system of promotion on the basis of seniority or merit, or both”.
Secara filosofis dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan.
Dalam pandangan Weber, birokrasi berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya.
b.      Teori Hegel dan Karl Marx
Berbeda dengan konsep birokrasi yang digagas oleh Hegel dan Karl Marx. Keduanya mengartikan birokrasi sebagai “instrument untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial”.  
Hegel berpendapat birokrasi adalah medium yang dapat dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general (umum). Sementara itu teman seperjuangannya, Karl Marx, berpendapat bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya, dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
Di dasari teori perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dam perkembangan komunis, Karl Marx berpendapat tentang birokrasi, yaitu :
-       Birokrasi adalah Negara atau pemerintah itu sendiri.
-        Birokrasi adalah instrument ysng di gunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan dominasinya atas kelas sosial lainnya.
-       Dalam masyarakat komunis kelak, (tiada kelas sosial, semua sama), birokrasi menjadi arti karena fungsi birokrasi dijalankan oleh semua anggota masyarakat.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah bagaimana agar perubahan yang dimaksud dapat bersifat mendasar dan tidak hanya menyentuh gejala permasalahan yang dialami dalam proses pelayanan publik sehingga tatanan birokrasi benar – benar dalam sebuah budaya melayani terutama pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat.
Berbekal dari pandangan tersebut, pada bab selanjutnya akan membahas masih banyak kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Pelaksanaan reformasi yang menjadi prioritas dalam peningkatan kualitas pelayanan publik agar senantiasa dapat dioptimalkan sehingga indikator yang ada dapat dilihat secara jelas.
C.           Kendala Dalam Proses Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi pada hakikatnya adalah suatu proses transformasi mindset dan culture set yang terarah pada tatanan birokrasi yang efektif dan efisien sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal kepada masyarakat. Dan hal tersebut sesungguhnya membutuhkan proses yang panjang mengingat reformasi birokrasi hendaknya dapat dilakukan secara bertahap dan sistematis.
Dalam pelaksanaannya,masih begitu banyak kendala yang dihadapi proses reformasi birokrasi saat ini. Semua itu dikarenakan masih takutnya pemerintah dalam mengambil dan menanggung resiko yang nantinya merupakan dampak atau konsekuensi atas reformasi birokrasi itu sendiri.
Visi dalam reformasi birokrasi ini adalah “terwujudnya pemerintahan yang amanah atau terwujudnya tata kepemerintahan yang baik” (good governance). Dalam pelaksanaan reformasi birokrasi tidaklah terlepas dari visi dari penerapan sistem  reformasi birokrasi karena inilah yang menjadi acuan pokok dari pelaksanaan sistem reformasi birokrasi agar dapat terlaksana dengan baik dalam mewujudkan “Good Governance”.
Namun, dalam pelaksanaannya masih begitu banyak kendala yang dihadapi proses reformasi birokrasi saat ini. Semua itu dikarenakan masih takutnya pemerintah dalam mengambil dan menanggung resiko yang nantinya merupakan dampak atau konsekuensi atas reformasi birokrasi itu sendiri. Reformasi birokrasi sesungguhnya memang sesuatu yang cukup sensitif dan beresiko karena menyangkut masalah kebiasaan, aparatur dan sistem kerja dalam pelayanan.
Berdasarakan hal tersebut, terdapat bebarapa hambatan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi saat ini yaitu :
a.        Sulitnya menerapkan dimensi cultural dalam reformasi birokrasi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pada hakekatnya reformasi adalah melakukan suatu perubahan yang mendasar terhadap nilai – nilai, kebiasan serta budaya – budaya yang telah berkembang dalam perjalanan birokrasi selama ini. Oleh karena itu, dalam melakukan reformasi birokrasi harus diterapkan suatu dimensi reformasi yang mampu menyelesaikan masalah dan bukan hanya menyentuh gejala permasalahan yang ada, yang justru akan menimbulkan masalah baru nantinya.
Reformasi birokrasi tidak dapat terlaksana secara optimal karena belum menyentuh hal yang paling mendasar yaitu “kultur”. Selama ini reformasi birokrasi hanya menyangkut hal – hal yang menyangkut kelembagaan, tata laksana, serta sumber daya manusia yang masih terbatas pada tataran pendidikan dan pelatihan.
Sebuah kultur atau budaya birokrasi dapat dipandang sebagai produk pengalaman antara nalar dan emosi. Kultur birokrasi hanya dapat tumbuh karena orang mengalami realitas pemerintah birokratis. Pengalaman inilah yang melahirkan seperangkat komitmen emosional yang tanpa disadari membentuk gagasan – gagasan serta sikap model mentalitas birokrat sejati.
Penerapan dimensi cultural tetap merupakan hal yang sulit karena mengandung tiga elemen utama yaitu mengubah keniasaan, meyentuh perasaan dan mengubah pola pikir. Kebiasaan menjadi suatu hal yang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi karena hampir sebagian besar organisasi pemerintah memiliki karakter fundamental yang sama yang membentuk kultur mereka. Selain itu, perlu disadari pula bahwa sangat sulit untuk mencoba meyakinkan pegawai untuk melepas komimen lamanya dan mengembangkan seperangkat omitmen yang baru dan berbeda karena ini menyangakut hal yang bersifat pribadi.
Penerapan dimensi cultural memiliki dampak pada tiap pendekatan yang dilaksanakan, akan tetapi dimensi mengubah kebiasaan menjadi hal yang paling sulit dilakukan. Padahal mengubah kebiasaan seseorang akan lebih mudah menghentikan ikatan emosianal negative yang pernah ada dan merupakan langkah awal untuk merubah kultur birokrasi.
b.        Upaya pembenahan organisasi dan pembinaan sumber daya manusia  yang masih belum optimal.
Kebutuhan aparat yang kompeten dan professional menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan dalam proses reformasi birokrasi saat ini. Perlu disadari bahwa birokrasi pemerintahan sebagai instrument teknis penyelenggaraan kebijakan memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam menentukan efektivitas kebijakan, yang seluruhnya sangat ditentukan oleh aparat yang dilibatkan.
Birokrasi pemerintahan atau aparatur pemerintahan dominan, dipengaruhi oleh kemampuan dan etika moral aparat yang keberadaaanya dikaitkan dengan tertib administrasi pelayanan intern maupun ekstern dengan mengesampingkan penonjolan kekuasaan dan kepentingan pribadi pada aktivitas para aparatur birokrasi. Dalam hal ini satu hal yang juga menjadi suatu hambatan dalam proses reformasi birokrasi adalah bagaimana mempersiapkan sumber daya manusia yang memang memiliki kompetensi yang mampu memberikan pelayanan publik secacra maksimal. Hal tersebut memiliki keterkaitan dengan proses rekruitmen para pegawai yang dari awal memang sudah menuai berbagai kontroversi misalnya cara perekrutan yang kurang transparan, maraknya isu penjualan nilai test dan isu – isu lain yang sesungguhnya sangat berpengaruh pada pelayanan yang akan diberikan setelah pegawai itu bertugas.
c.         Keterbatasan kemampuan keuangan negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi birokrasi membutuhkan pendanaan yang cukup untuk mendukung setiap kebijakan yang diambil baik itu melalui reformasi kelembagaan, tata laksana, maupun sumber daya manusia. Masalah sumber daya manusia menjadi hal yang sensitive dengan hambatan ini karena berbicara masalah pegawai, terkait pula dengan kesejahteraan pegawai itu sendiri.
Manajemen reward and punishment memang menjadi dasar bagi pemerintah memberikan suatu “dorongan” dan motivasi para pegawai dan aparatur untuk meningkatan kinerjanya dalam upaya mengoptimalkan pelayanan publik. Namun sayangnya, belum semua pegawai dapat ditingkatkan kesejahteraannya, mengingat pendanaan negara yang belum dapat mencakup keseluruhan pegawai yang ada.
Di lain pihak, ada pula pihak yang berpendapat bahwa dengan hanya menaikkan gaji para pegawai yang selama ini sudah berlaku, tidak serta merta membawa dampak yang positif bagi kenerja birokrat yang ada. Namun sebagai sebuah upaya yang dapat dicoba, pemerintah hendaknya dapat menggunakan kewenangannya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan para pegawai sehingga dapat mencegah perilaku korup dan meningkatkan kinerja para pegawai.
d.        Masih banyaknya pandangan negative tentang birokrasi.
Birokrasi memang telah menjadi sebuah hal yang begitu dipandang negative oleh masyarakat, perilaku korup, suka menunda pekerjaan, kurangnya deskripsi pekerjaan yang dimiliki para pegawai, serta tingkat disiplin yang minim, menjadikan aparatur birokrasi “terlanjur” buruk di mata masyarakat.
Maka dari itu, saat upaya reformasi birokrasi muncul, banyak masyarakat yang memandang sebelah mata. Tidak jarang ketika beberapa institusi sudah mencoba melakukan hal yang “benar” dan sesuai peraturan, perilaku buruk justru muncul dari masyarakat. Contoh kecil adalah saat masyarakat menggunakan uang pelicin untuk mempercepat administrasi yang dimilikinya, atau dalam hal perijinan. Perilaku dan pandangan negative inilah yang juga perlu dibenahi masyarakat kita.
D.       Upaya Dalam Mewujudkan Implementasi Good Governance.
Good governance ini secara umum diterjemahkan dengan pemerintahan yang baik, meskipun istilah aslinya memandang luas dimensi governance tidak sebatas hanya menjadi pemerintahan saja. Selain itu good governance dapat juga diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian.
Good governance juga dapat diartikan efisiensi dalam menejemen sektor publik, menciptakan akuntabilitas publik, tersedianya infrastruktur hukum, adanya sistem informasi yang menjamin akses masyarakat terhadap informasi yang berisi kebijakan, dan adanya transparasi dari berbagai kebijakan.
Good governance adalah sebuah bentuk kesadaran akan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam serta dalam menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Good governance juga ada, bila negara bisa menjamin keamanan warganya. Begitu pula bila para birokrat menggunakan jabatannya untuk melayani masyarakat luas, bukan untuk memperkaya diri sendiri. Selanjutnya good governance juga berarti implementasi kebijakan sosial-politik untuk kemaslahatan rakyat banyak, bukan hanya untuk kemakmuran orang-per-orang atau kelompok tertentu.
Ciri-ciri dari Clean and Good Governance
Pemerintahan yang baik dan bersih haruslah memiliki ciri-ciri yang tertera dibawah ini karena perwujudan pemrintahan tersebut harus memilikin semua aspek tersebut.berikut adalah aspek yang merupkan cirri-ciri dari pemerintahan yang baik dan bersih ;
a.        AdanyaPartisipasi (Participation)
Semua warga negara berhak terlibat dalam keputusan, baik langsung maupun center for public harus diikuti dengan berbagai aturan sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan baik dan efisien, selain itu pemerintah juga harus menjadi public server dengan memberikan pelayanan yang baik, efektive, efisien, tepat waktu serta dengan biaya yang murah, sehingga mereka memiliki kepercayaan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat sangat berperan besar dalam pembangunan, salah satunya diwujudkan dengan pajak.
b.        AdanyaPenegakanHukum(Rule of Law).
Penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintah yang profesional dan harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa. Penegakan hukum sangat berguna untuk menjaga stabilitas nasional. Karna suatu hukum bersifat tegas dan mengikat. Perwujudan good governance harus di imbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang meng andung unsur-unsur sebagai berikut :
a)     Supremasi Hukum, yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan peraturan yang jelas dan tega dan dijamain pelaksanaannya secara benar serta independen.
b)     Kepastian hukum, bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikasi dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
c)     Hukum yang responsive, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi msyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
d)     Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan hukum yang berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu jabatan maupun status sosialnya sebagai contoh aparat penegak hukum yang melanggar kedisiplinan dan hukum wajib dikenakan sanksi.
e)     Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau pengaruh lainnya. Sayangnya di negara kita independensi peradilan belum begitu baik dan dinodai oleh aparat penegak hukum sendiri, sebagai contoh kecilnya yaitu kasus suap jaksa.
c.        Tranparasi (Transparency)
Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini bangsa indonesia terjebak dalam kubangan korupsi yang sangat parah. Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak baik. Dalam pengelolaan negara, Goffer berpendapat bahwa terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparasi, yaitu :
a)   Penetapan posisi dan jabatan.
b)  Kekayaan pejabat publik.
c)   Pemberian penghargaan.
d)  Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
e)   Kesehatan.
f)    Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
g)   Keamanan dan ketertiban.
h)  Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
d.        Responsif (Responsiveness).
Asas responsif adalah bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat secara umum. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan masyarakatnya, bukan menunggu masyarakat menyampaikan aspirasinya, tetapi pemerintah harus proaktif dalam mempelajara dan mengalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jadi setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika yaitu etika individual yang menuntut pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional. Dan etika sosial yang menuntut pemerintah memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan pubik.
e.        Orientasi kesepakatan atau Konsensus (Consensus Orientation)
Asas konsensus adalah bahwa setiap keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah. Cara pengambilan keputusan secara konsensus akan mengikat sebagiah besar komponen yang bermusyawarah dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili selain itu semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-kebijakan umum maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya dan akuntanbilitas pelaksanaannya dapat semaki di pertanggungjawabkan.
f.         Keadilan dan Kesetaraan (Equity)
Asas kesetaraan dan keadilan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Pemerintah harus bersikap dan berprilaku adil dalam memberikan pelayanan terhadap publik tanpa mengenal perbedaan kedudukan, keyakinan, suku, dan kelas sosial.
g.        Efektivitas (Effectifeness) dan Efisiensi (Efficiency)
Yaitu pemerintah harus berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelopok dan lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang dipakai untuk mencapai tujuan dan sasaran maka pemerintah dalam kategori efisien.
h.         Akuntabilitas (Accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.