A. Pengertian Reformasi dan Birokrasi.
Reformasi
berasal dari bahasa inggris, yaitu re
form “mem-perbaiki” yang berarti perubahan suatu sistem yang sudah ada pada
suatu masa. Kita pun Sering mendengar kata-kata reformasi dalam pemerintahan yang
dapat diartikan perubahan/perbaikan suatu sistem dalam perintahan, dilakukannya
reformasi dalam suatu sistem jika dianggap sistem yang digunakan itu sudah
tidak efisien lagi untuk digunakan dalam mencapai suatu tujuan. Salah satu
tanda reformasi yang telah dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di seluruh
Indonesia dalam pemerintahan presiden soeharto adalah runtuhnya rezim orde baru
pada tahun 1998.
Reformasi sesungguhnya merupakan sebuah proses yang harus
senantiasa dilakukan secara bertahap dan sistematis sehingga setiap
pelaksanaanya harus memiliki pemetaan dan skala prioritas yang jelas dan tetap
terintegrasi satu sama lain. Selain itu, reformasi hendaknya selalu identik
dengan kata perubahan, sehingga arah perubahan yang dimaksud dapat terlihat
jelas dan akuntabel.
Dalam
suatu reformasi, sangatlah erat dengan kata birokrasi. Birokrasi berasal dari
kata “bureau” yang berarti meja atau
kantor; dan kata “kratia” (cratein)
yang berarti pemerintah. Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh
beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang
berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk
mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka
penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar.
Sementara itu, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai:
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan
oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan.
2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan
yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak
liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi
selanjutnya didefinisikan sebagai;
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan
oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan
2. Cara pemerintahan yang sangat
dikuasai oleh pegawai.
Reformasi
birokrasi dapat diartikan sebagai perubahan secara mendasar, baik mind set, maupun culture set penyelenggara negara dari mentalitas, yang bersifat
mengawasi, mengontrol dan menguasai masyarakat (colonial paradigm), menjadikan
penyelenggara Negara (birokrasi) yang pro kepada Good public service serta tata
kelola pemerintahan yang dapat meminimalisir terjadinya tindakan KKN baik pada
tingkat suprastruktur dan infrastruktur penyelenggara Negara, dan penegakan
supremasi hukum.
Masyarakat juga memegang peranan penting dalam pelaksanaan
reformasi birokrasi kedepannya. Sebagai bagian dari proses birokrasi,
masyarakat hendaknya dapat menciptakan suatu suasana yang kondusif dalam upaya
peningkatan kualitas kinerja para pegawai sehingga nantinya tujuan dan maksud
yang ingin dicapai melalui reformasi birokrasi dapat terwujud dengan baik.
B.
Teori – Teori Birokrasi
a. Teori Max Weber
Berbicara soal birokrasi, tidak bisa lepas dari konsep yang
digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ”The Theory of Economy and Social
Organization”, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern.
Bahkan, Joyce Warham dalam “An Open Case”
menyebutkan bahwa birokrasi model Weber mempunyai tipe ideal yang sama seperti
tipe ideal profesionalisme
Model ini yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi berbagai
negara, termasuk di Indonesia, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa
dilakukan.
Weber membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem
kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda.
Kewenangan tradisional (traditional authority) mendasarkan legitimasi
kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik
(charismatic authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi
dan yang tinggi dan bersifat supranatural. Dan, kewenangan legal-rasional
(legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada
peraturan perundang-undangan.
Dalam analisis Weber, organisasi “tipe ideal” yang dapat menjamin efisiensi yang tinggi harus
mendasarkan pada otoritas legal-rasional., Weber mengemukakan konsepnya tentang
the ideal type of bureaucracy dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi
birokrasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern, yaitu:
a) Sistem kewenangan yang hierakis “A hierarchical system of authority”.
b) Pembagian kerja yang sistematis “A systematic division of labour”.
c) Spesifikasi tugas yang jelas “A clear specification of duties for
anyoneworking in it”.
d) Kode etik disiplin dan prosedur yang jelas
serta sistematis “Clear ang systematic
diciplinary codes and procedures”.
e) Kontrol operasi melalui sistem aturan yang
berlaku secara konsisten “The control of
operation through a consistent system of abstrac rules”.
f) Aplikasi kaidah-kaidah umum kehal-hal pesifik
dengan konsisten “A consistent
applications of general rules to specific cases”.
g) Seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi
standar yang objektif “The selection of
emfloyees on the basic of objectively determined qualivication”.
h) Sistem promosi berdasarkan senioritas atau
jasa, atau keduanya “A system of
promotion on the basis of seniority or merit, or both”.
Secara filosofis dalam paradigma Weberian, birokrasi
merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian
efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi
dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi
formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah
fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan
yang ditetapkan pemerintahan.
Dalam pandangan Weber, birokrasi berparadigma netral dan
bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan
birokrasi karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam
kepentingan yang ada di dalamnya.
b. Teori Hegel dan Karl Marx
Berbeda dengan konsep birokrasi yang digagas oleh Hegel dan
Karl Marx. Keduanya mengartikan birokrasi sebagai “instrument untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial”.
Hegel berpendapat birokrasi adalah medium yang dapat
dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan
general (umum). Sementara itu teman seperjuangannya, Karl Marx, berpendapat
bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan
untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya,
dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi
tersebut.
Di dasari teori perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dam
perkembangan komunis, Karl Marx berpendapat tentang birokrasi, yaitu :
- Birokrasi adalah Negara atau
pemerintah itu sendiri.
-
Birokrasi adalah instrument ysng di gunakan oleh kelas yang
dominan untuk melaksanakan dominasinya atas kelas sosial lainnya.
- Dalam masyarakat komunis kelak,
(tiada kelas sosial, semua sama), birokrasi menjadi arti karena fungsi
birokrasi dijalankan oleh semua anggota masyarakat.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan reformasi
birokrasi adalah bagaimana agar perubahan yang dimaksud dapat bersifat mendasar
dan tidak hanya menyentuh gejala permasalahan yang dialami dalam proses
pelayanan publik sehingga tatanan birokrasi benar – benar dalam sebuah budaya
melayani terutama pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat.
Berbekal dari pandangan tersebut, pada bab selanjutnya akan
membahas masih banyak kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
reformasi birokrasi di Indonesia. Pelaksanaan reformasi yang menjadi prioritas
dalam peningkatan kualitas pelayanan publik agar senantiasa dapat dioptimalkan
sehingga indikator yang ada dapat dilihat secara jelas.
C.
Kendala Dalam Proses Reformasi
Birokrasi
Reformasi birokrasi pada hakikatnya adalah suatu proses
transformasi mindset dan culture set yang terarah pada tatanan birokrasi yang
efektif dan efisien sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal
kepada masyarakat. Dan hal tersebut sesungguhnya membutuhkan proses yang
panjang mengingat reformasi birokrasi hendaknya dapat dilakukan secara bertahap
dan sistematis.
Dalam pelaksanaannya,masih begitu banyak kendala yang
dihadapi proses reformasi birokrasi saat ini. Semua itu dikarenakan masih
takutnya pemerintah dalam mengambil dan menanggung resiko yang nantinya
merupakan dampak atau konsekuensi atas reformasi birokrasi itu sendiri.
Visi dalam reformasi birokrasi ini adalah “terwujudnya pemerintahan yang amanah atau
terwujudnya tata kepemerintahan yang baik” (good governance). Dalam pelaksanaan reformasi birokrasi tidaklah
terlepas dari visi dari penerapan sistem
reformasi birokrasi karena inilah yang menjadi acuan pokok dari
pelaksanaan sistem reformasi birokrasi agar dapat terlaksana dengan baik dalam
mewujudkan “Good Governance”.
Namun, dalam pelaksanaannya masih begitu banyak kendala yang
dihadapi proses reformasi birokrasi saat ini. Semua itu dikarenakan masih
takutnya pemerintah dalam mengambil dan menanggung resiko yang nantinya
merupakan dampak atau konsekuensi atas reformasi birokrasi itu sendiri.
Reformasi birokrasi sesungguhnya memang sesuatu yang cukup sensitif dan
beresiko karena menyangkut masalah kebiasaan, aparatur dan sistem kerja dalam
pelayanan.
Berdasarakan hal tersebut, terdapat bebarapa hambatan yang
masih dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi saat ini yaitu :
a.
Sulitnya menerapkan dimensi cultural dalam reformasi
birokrasi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan
bahwa pada hakekatnya reformasi adalah melakukan suatu perubahan yang mendasar
terhadap nilai – nilai, kebiasan serta budaya – budaya yang telah berkembang
dalam perjalanan birokrasi selama ini. Oleh karena itu, dalam melakukan
reformasi birokrasi harus diterapkan suatu dimensi reformasi yang mampu
menyelesaikan masalah dan bukan hanya menyentuh gejala permasalahan yang ada,
yang justru akan menimbulkan masalah baru nantinya.
Reformasi birokrasi tidak dapat
terlaksana secara optimal karena belum menyentuh hal yang paling mendasar yaitu
“kultur”. Selama ini reformasi birokrasi hanya menyangkut hal – hal yang
menyangkut kelembagaan, tata laksana, serta sumber daya manusia yang masih
terbatas pada tataran pendidikan dan pelatihan.
Sebuah kultur atau budaya birokrasi
dapat dipandang sebagai produk pengalaman antara nalar dan emosi. Kultur
birokrasi hanya dapat tumbuh karena orang mengalami realitas pemerintah
birokratis. Pengalaman inilah yang melahirkan seperangkat komitmen emosional
yang tanpa disadari membentuk gagasan – gagasan serta sikap model mentalitas
birokrat sejati.
Penerapan dimensi cultural tetap
merupakan hal yang sulit karena mengandung tiga elemen utama yaitu mengubah
keniasaan, meyentuh perasaan dan mengubah pola pikir. Kebiasaan menjadi suatu
hal yang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi karena hampir sebagian besar
organisasi pemerintah memiliki karakter fundamental yang sama yang membentuk
kultur mereka. Selain itu, perlu disadari pula bahwa sangat sulit untuk mencoba
meyakinkan pegawai untuk melepas komimen lamanya dan mengembangkan seperangkat
omitmen yang baru dan berbeda karena ini menyangakut hal yang bersifat pribadi.
Penerapan dimensi cultural memiliki
dampak pada tiap pendekatan yang dilaksanakan, akan tetapi dimensi mengubah
kebiasaan menjadi hal yang paling sulit dilakukan. Padahal mengubah kebiasaan
seseorang akan lebih mudah menghentikan ikatan emosianal negative yang pernah
ada dan merupakan langkah awal untuk merubah kultur birokrasi.
b.
Upaya pembenahan organisasi dan pembinaan sumber daya
manusia yang masih belum optimal.
Kebutuhan aparat yang kompeten dan
professional menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan dalam proses reformasi
birokrasi saat ini. Perlu disadari bahwa birokrasi pemerintahan sebagai
instrument teknis penyelenggaraan kebijakan memiliki peran yang sangat penting
dan strategis dalam menentukan efektivitas kebijakan, yang seluruhnya sangat
ditentukan oleh aparat yang dilibatkan.
Birokrasi pemerintahan atau aparatur
pemerintahan dominan, dipengaruhi oleh kemampuan dan etika moral aparat yang
keberadaaanya dikaitkan dengan tertib administrasi pelayanan intern maupun
ekstern dengan mengesampingkan penonjolan kekuasaan dan kepentingan pribadi
pada aktivitas para aparatur birokrasi. Dalam hal ini satu hal yang juga
menjadi suatu hambatan dalam proses reformasi birokrasi adalah bagaimana
mempersiapkan sumber daya manusia yang memang memiliki kompetensi yang mampu
memberikan pelayanan publik secacra maksimal. Hal tersebut memiliki keterkaitan
dengan proses rekruitmen para pegawai yang dari awal memang sudah menuai
berbagai kontroversi misalnya cara perekrutan yang kurang transparan, maraknya
isu penjualan nilai test dan isu – isu lain yang sesungguhnya sangat
berpengaruh pada pelayanan yang akan diberikan setelah pegawai itu bertugas.
c.
Keterbatasan kemampuan keuangan negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa
reformasi birokrasi membutuhkan pendanaan yang cukup untuk mendukung setiap
kebijakan yang diambil baik itu melalui reformasi kelembagaan, tata laksana,
maupun sumber daya manusia. Masalah sumber daya manusia menjadi hal yang
sensitive dengan hambatan ini karena berbicara masalah pegawai, terkait pula
dengan kesejahteraan pegawai itu sendiri.
Manajemen reward and punishment
memang menjadi dasar bagi pemerintah memberikan suatu “dorongan” dan motivasi
para pegawai dan aparatur untuk meningkatan kinerjanya dalam upaya
mengoptimalkan pelayanan publik. Namun sayangnya, belum semua pegawai dapat
ditingkatkan kesejahteraannya, mengingat pendanaan negara yang belum dapat
mencakup keseluruhan pegawai yang ada.
Di lain pihak, ada pula pihak yang
berpendapat bahwa dengan hanya menaikkan gaji para pegawai yang selama ini sudah
berlaku, tidak serta merta membawa dampak yang positif bagi kenerja birokrat
yang ada. Namun sebagai sebuah upaya yang dapat dicoba, pemerintah hendaknya
dapat menggunakan kewenangannya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan para
pegawai sehingga dapat mencegah perilaku korup dan meningkatkan kinerja para
pegawai.
d.
Masih banyaknya pandangan negative tentang birokrasi.
Birokrasi memang telah menjadi
sebuah hal yang begitu dipandang negative oleh masyarakat, perilaku korup, suka
menunda pekerjaan, kurangnya deskripsi pekerjaan yang dimiliki para pegawai,
serta tingkat disiplin yang minim, menjadikan aparatur birokrasi “terlanjur”
buruk di mata masyarakat.
Maka dari itu, saat upaya reformasi
birokrasi muncul, banyak masyarakat yang memandang sebelah mata. Tidak jarang
ketika beberapa institusi sudah mencoba melakukan hal yang “benar” dan sesuai
peraturan, perilaku buruk justru muncul dari masyarakat. Contoh kecil adalah
saat masyarakat menggunakan uang pelicin untuk mempercepat administrasi yang
dimilikinya, atau dalam hal perijinan. Perilaku dan pandangan negative inilah
yang juga perlu dibenahi masyarakat kita.
D.
Upaya Dalam Mewujudkan Implementasi
Good Governance.
Good
governance ini secara umum diterjemahkan dengan pemerintahan yang baik,
meskipun istilah aslinya memandang luas dimensi governance tidak sebatas hanya
menjadi pemerintahan saja. Selain itu good governance dapat juga diartikan
sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang
bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi masalah publik untuk
mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian.
Good
governance juga dapat diartikan efisiensi dalam menejemen sektor publik,
menciptakan akuntabilitas publik, tersedianya infrastruktur hukum, adanya
sistem informasi yang menjamin akses masyarakat terhadap informasi yang berisi
kebijakan, dan adanya transparasi dari berbagai kebijakan.
Good
governance adalah sebuah bentuk kesadaran akan tanggung jawab dalam pengelolaan
sumber daya alam serta dalam menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Good
governance juga ada, bila negara bisa menjamin keamanan warganya. Begitu pula
bila para birokrat menggunakan jabatannya untuk melayani masyarakat luas, bukan
untuk memperkaya diri sendiri. Selanjutnya good governance juga berarti
implementasi kebijakan sosial-politik untuk kemaslahatan rakyat banyak, bukan
hanya untuk kemakmuran orang-per-orang atau kelompok tertentu.
Ciri-ciri dari Clean and
Good Governance
Pemerintahan
yang baik dan bersih haruslah memiliki ciri-ciri yang tertera dibawah ini
karena perwujudan pemrintahan tersebut harus memilikin semua aspek tersebut.berikut
adalah aspek yang merupkan cirri-ciri dari pemerintahan yang baik dan bersih ;
a.
AdanyaPartisipasi
(Participation)
Semua warga negara berhak
terlibat dalam keputusan, baik langsung maupun center for public harus diikuti
dengan berbagai aturan sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan baik
dan efisien, selain itu pemerintah juga harus menjadi public server dengan
memberikan pelayanan yang baik, efektive, efisien, tepat waktu serta dengan
biaya yang murah, sehingga mereka memiliki kepercayaan dari masyarakat.
Partisipasi masyarakat sangat berperan besar dalam pembangunan, salah satunya
diwujudkan dengan pajak.
b.
AdanyaPenegakanHukum(Rule
of Law).
Penegakan hukum adalah
pengelolaan pemerintah yang profesional dan harus didukung oleh penegakan hukum
yang berwibawa. Penegakan hukum sangat berguna untuk menjaga stabilitas
nasional. Karna suatu hukum bersifat tegas dan mengikat. Perwujudan good
governance harus di imbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum
yang meng andung unsur-unsur sebagai berikut :
a) Supremasi Hukum, yakni
setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara dan peluang partisipasi masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan peraturan
yang jelas dan tega dan dijamain pelaksanaannya secara benar serta independen.
b) Kepastian hukum, bahwa
setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan
pasti, tidak duplikasi dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
c) Hukum yang responsive,
yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi msyarakat luas, dan
mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
d) Penegakan hukum yang
konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan hukum yang berlaku untuk semua
orang tanpa pandang bulu jabatan maupun status sosialnya sebagai contoh aparat
penegak hukum yang melanggar kedisiplinan dan hukum wajib dikenakan sanksi.
e) Independensi peradilan,
yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau pengaruh
lainnya. Sayangnya di negara kita independensi peradilan belum begitu baik dan
dinodai oleh aparat penegak hukum sendiri, sebagai contoh kecilnya yaitu kasus
suap jaksa.
c.
Tranparasi
(Transparency)
Akibat tidak adanya
prinsip transparansi ini bangsa indonesia terjebak dalam kubangan korupsi yang
sangat parah. Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak
kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak baik. Dalam
pengelolaan negara, Goffer berpendapat bahwa terdapat delapan unsur yang harus
dilakukan secara transparasi, yaitu :
a) Penetapan posisi dan
jabatan.
b) Kekayaan pejabat publik.
c) Pemberian penghargaan.
d) Penetapan kebijakan yang
terkait dengan pencerahan kehidupan.
e) Kesehatan.
f) Moralitas para pejabat dan
aparatur pelayanan publik.
g) Keamanan dan ketertiban.
h) Kebijakan strategis untuk
pencerahan kehidupan masyarakat.
d.
Responsif
(Responsiveness).
Asas responsif adalah
bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat secara
umum. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan masyarakatnya, bukan menunggu
masyarakat menyampaikan aspirasinya, tetapi pemerintah harus proaktif dalam
mempelajara dan mengalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jadi setiap unsur
pemerintah harus memiliki dua etika yaitu etika individual yang menuntut
pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional. Dan
etika sosial yang menuntut pemerintah memiliki sensitifitas terhadap berbagai
kebutuhan pubik.
e.
Orientasi
kesepakatan atau Konsensus (Consensus Orientation)
Asas konsensus adalah
bahwa setiap keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah. Cara
pengambilan keputusan secara konsensus akan mengikat sebagiah besar komponen
yang bermusyawarah dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan.
Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan maka akan
semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili selain itu
semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap
kebijakan-kebijakan umum maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya dan
akuntanbilitas pelaksanaannya dapat semaki di pertanggungjawabkan.
f.
Keadilan dan
Kesetaraan (Equity)
Asas kesetaraan dan
keadilan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Pemerintah harus
bersikap dan berprilaku adil dalam memberikan pelayanan terhadap publik tanpa
mengenal perbedaan kedudukan, keyakinan, suku, dan kelas sosial.
g.
Efektivitas
(Effectifeness) dan Efisiensi (Efficiency)
Yaitu pemerintah harus
berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan
parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat
dari berbagai kelopok dan lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi umumnya
diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Semakin kecil biaya yang dipakai untuk mencapai tujuan dan sasaran
maka pemerintah dalam kategori efisien.
h.
Akuntabilitas
(Accountability)
Asas akuntabilitas adalah
pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya
kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut
untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun
netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas
akuntabilitas dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar