Kamis, 08 Oktober 2015

Reformasi Birokrasi Upaya Mewujudkan Implementasi Good Governance

  nuraminsaleh.blogspot.com
A.           Pengertian Reformasi dan Birokrasi.

Reformasi berasal dari bahasa inggris, yaitu re form “mem-perbaiki” yang berarti perubahan suatu sistem yang sudah ada pada suatu masa. Kita pun Sering mendengar kata-kata reformasi dalam pemerintahan yang dapat diartikan perubahan/perbaikan suatu sistem dalam perintahan, dilakukannya reformasi dalam suatu sistem jika dianggap sistem yang digunakan itu sudah tidak efisien lagi untuk digunakan dalam mencapai suatu tujuan. Salah satu tanda reformasi yang telah dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di seluruh Indonesia dalam pemerintahan presiden soeharto adalah runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998.
Reformasi sesungguhnya merupakan sebuah proses yang harus senantiasa dilakukan secara bertahap dan sistematis sehingga setiap pelaksanaanya harus memiliki pemetaan dan skala prioritas yang jelas dan tetap terintegrasi satu sama lain. Selain itu, reformasi hendaknya selalu identik dengan kata perubahan, sehingga arah perubahan yang dimaksud dapat  terlihat jelas dan akuntabel.
Dalam suatu reformasi, sangatlah erat dengan kata birokrasi. Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar.
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai:
1.      Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan.
2.      Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai;
1.      Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan
2.      Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Reformasi birokrasi dapat diartikan sebagai perubahan secara mendasar, baik mind set, maupun culture set penyelenggara negara dari mentalitas, yang bersifat mengawasi, mengontrol dan menguasai masyarakat (colonial paradigm), menjadikan penyelenggara Negara (birokrasi) yang pro kepada Good public service serta tata kelola pemerintahan yang dapat meminimalisir terjadinya tindakan KKN baik pada tingkat suprastruktur dan infrastruktur penyelenggara Negara, dan penegakan supremasi hukum.
Masyarakat juga memegang peranan penting dalam pelaksanaan reformasi birokrasi kedepannya. Sebagai bagian dari proses birokrasi, masyarakat hendaknya dapat menciptakan suatu suasana yang kondusif dalam upaya peningkatan kualitas kinerja para pegawai sehingga nantinya tujuan dan maksud yang ingin dicapai melalui reformasi birokrasi dapat terwujud dengan baik.
B.            Teori – Teori Birokrasi
a.      Teori Max Weber
Berbicara soal birokrasi, tidak bisa lepas dari konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ”The Theory of Economy and Social Organization”, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Bahkan, Joyce Warham dalam “An Open Case” menyebutkan bahwa birokrasi model Weber mempunyai tipe ideal yang sama seperti tipe ideal profesionalisme Model ini yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi berbagai negara, termasuk di Indonesia, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan.
Weber membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Kewenangan tradisional (traditional authority) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik (charismatic authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural. Dan, kewenangan legal-rasional (legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan.
Dalam analisis Weber, organisasi “tipe ideal” yang dapat menjamin efisiensi yang tinggi harus mendasarkan pada otoritas legal-rasional., Weber mengemukakan konsepnya tentang the ideal type of bureaucracy dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi birokrasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern, yaitu:
a)      Sistem kewenangan yang hierakis “A hierarchical system of authority”.
b)      Pembagian kerja yang sistematis “A systematic division of labour”.
c)      Spesifikasi tugas yang jelas “A clear specification of duties for anyoneworking in it”.
d)      Kode etik disiplin dan prosedur yang jelas serta sistematis “Clear ang systematic diciplinary codes and procedures”.
e)      Kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten “The control of operation through a consistent system of abstrac rules”.
f)       Aplikasi kaidah-kaidah umum kehal-hal  pesifik  dengan  konsisten “A consistent applications of general rules to specific cases”.
g)      Seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang objektif “The selection of emfloyees on the basic of objectively determined qualivication”.
h)      Sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya “A system of promotion on the basis of seniority or merit, or both”.
Secara filosofis dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan.
Dalam pandangan Weber, birokrasi berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya.
b.      Teori Hegel dan Karl Marx
Berbeda dengan konsep birokrasi yang digagas oleh Hegel dan Karl Marx. Keduanya mengartikan birokrasi sebagai “instrument untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial”.  
Hegel berpendapat birokrasi adalah medium yang dapat dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general (umum). Sementara itu teman seperjuangannya, Karl Marx, berpendapat bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya, dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
Di dasari teori perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dam perkembangan komunis, Karl Marx berpendapat tentang birokrasi, yaitu :
-       Birokrasi adalah Negara atau pemerintah itu sendiri.
-        Birokrasi adalah instrument ysng di gunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan dominasinya atas kelas sosial lainnya.
-       Dalam masyarakat komunis kelak, (tiada kelas sosial, semua sama), birokrasi menjadi arti karena fungsi birokrasi dijalankan oleh semua anggota masyarakat.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah bagaimana agar perubahan yang dimaksud dapat bersifat mendasar dan tidak hanya menyentuh gejala permasalahan yang dialami dalam proses pelayanan publik sehingga tatanan birokrasi benar – benar dalam sebuah budaya melayani terutama pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat.
Berbekal dari pandangan tersebut, pada bab selanjutnya akan membahas masih banyak kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Pelaksanaan reformasi yang menjadi prioritas dalam peningkatan kualitas pelayanan publik agar senantiasa dapat dioptimalkan sehingga indikator yang ada dapat dilihat secara jelas.
C.           Kendala Dalam Proses Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi pada hakikatnya adalah suatu proses transformasi mindset dan culture set yang terarah pada tatanan birokrasi yang efektif dan efisien sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal kepada masyarakat. Dan hal tersebut sesungguhnya membutuhkan proses yang panjang mengingat reformasi birokrasi hendaknya dapat dilakukan secara bertahap dan sistematis.
Dalam pelaksanaannya,masih begitu banyak kendala yang dihadapi proses reformasi birokrasi saat ini. Semua itu dikarenakan masih takutnya pemerintah dalam mengambil dan menanggung resiko yang nantinya merupakan dampak atau konsekuensi atas reformasi birokrasi itu sendiri.
Visi dalam reformasi birokrasi ini adalah “terwujudnya pemerintahan yang amanah atau terwujudnya tata kepemerintahan yang baik” (good governance). Dalam pelaksanaan reformasi birokrasi tidaklah terlepas dari visi dari penerapan sistem  reformasi birokrasi karena inilah yang menjadi acuan pokok dari pelaksanaan sistem reformasi birokrasi agar dapat terlaksana dengan baik dalam mewujudkan “Good Governance”.
Namun, dalam pelaksanaannya masih begitu banyak kendala yang dihadapi proses reformasi birokrasi saat ini. Semua itu dikarenakan masih takutnya pemerintah dalam mengambil dan menanggung resiko yang nantinya merupakan dampak atau konsekuensi atas reformasi birokrasi itu sendiri. Reformasi birokrasi sesungguhnya memang sesuatu yang cukup sensitif dan beresiko karena menyangkut masalah kebiasaan, aparatur dan sistem kerja dalam pelayanan.
Berdasarakan hal tersebut, terdapat bebarapa hambatan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi saat ini yaitu :
a.        Sulitnya menerapkan dimensi cultural dalam reformasi birokrasi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pada hakekatnya reformasi adalah melakukan suatu perubahan yang mendasar terhadap nilai – nilai, kebiasan serta budaya – budaya yang telah berkembang dalam perjalanan birokrasi selama ini. Oleh karena itu, dalam melakukan reformasi birokrasi harus diterapkan suatu dimensi reformasi yang mampu menyelesaikan masalah dan bukan hanya menyentuh gejala permasalahan yang ada, yang justru akan menimbulkan masalah baru nantinya.
Reformasi birokrasi tidak dapat terlaksana secara optimal karena belum menyentuh hal yang paling mendasar yaitu “kultur”. Selama ini reformasi birokrasi hanya menyangkut hal – hal yang menyangkut kelembagaan, tata laksana, serta sumber daya manusia yang masih terbatas pada tataran pendidikan dan pelatihan.
Sebuah kultur atau budaya birokrasi dapat dipandang sebagai produk pengalaman antara nalar dan emosi. Kultur birokrasi hanya dapat tumbuh karena orang mengalami realitas pemerintah birokratis. Pengalaman inilah yang melahirkan seperangkat komitmen emosional yang tanpa disadari membentuk gagasan – gagasan serta sikap model mentalitas birokrat sejati.
Penerapan dimensi cultural tetap merupakan hal yang sulit karena mengandung tiga elemen utama yaitu mengubah keniasaan, meyentuh perasaan dan mengubah pola pikir. Kebiasaan menjadi suatu hal yang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi karena hampir sebagian besar organisasi pemerintah memiliki karakter fundamental yang sama yang membentuk kultur mereka. Selain itu, perlu disadari pula bahwa sangat sulit untuk mencoba meyakinkan pegawai untuk melepas komimen lamanya dan mengembangkan seperangkat omitmen yang baru dan berbeda karena ini menyangakut hal yang bersifat pribadi.
Penerapan dimensi cultural memiliki dampak pada tiap pendekatan yang dilaksanakan, akan tetapi dimensi mengubah kebiasaan menjadi hal yang paling sulit dilakukan. Padahal mengubah kebiasaan seseorang akan lebih mudah menghentikan ikatan emosianal negative yang pernah ada dan merupakan langkah awal untuk merubah kultur birokrasi.
b.        Upaya pembenahan organisasi dan pembinaan sumber daya manusia  yang masih belum optimal.
Kebutuhan aparat yang kompeten dan professional menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan dalam proses reformasi birokrasi saat ini. Perlu disadari bahwa birokrasi pemerintahan sebagai instrument teknis penyelenggaraan kebijakan memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam menentukan efektivitas kebijakan, yang seluruhnya sangat ditentukan oleh aparat yang dilibatkan.
Birokrasi pemerintahan atau aparatur pemerintahan dominan, dipengaruhi oleh kemampuan dan etika moral aparat yang keberadaaanya dikaitkan dengan tertib administrasi pelayanan intern maupun ekstern dengan mengesampingkan penonjolan kekuasaan dan kepentingan pribadi pada aktivitas para aparatur birokrasi. Dalam hal ini satu hal yang juga menjadi suatu hambatan dalam proses reformasi birokrasi adalah bagaimana mempersiapkan sumber daya manusia yang memang memiliki kompetensi yang mampu memberikan pelayanan publik secacra maksimal. Hal tersebut memiliki keterkaitan dengan proses rekruitmen para pegawai yang dari awal memang sudah menuai berbagai kontroversi misalnya cara perekrutan yang kurang transparan, maraknya isu penjualan nilai test dan isu – isu lain yang sesungguhnya sangat berpengaruh pada pelayanan yang akan diberikan setelah pegawai itu bertugas.
c.         Keterbatasan kemampuan keuangan negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi birokrasi membutuhkan pendanaan yang cukup untuk mendukung setiap kebijakan yang diambil baik itu melalui reformasi kelembagaan, tata laksana, maupun sumber daya manusia. Masalah sumber daya manusia menjadi hal yang sensitive dengan hambatan ini karena berbicara masalah pegawai, terkait pula dengan kesejahteraan pegawai itu sendiri.
Manajemen reward and punishment memang menjadi dasar bagi pemerintah memberikan suatu “dorongan” dan motivasi para pegawai dan aparatur untuk meningkatan kinerjanya dalam upaya mengoptimalkan pelayanan publik. Namun sayangnya, belum semua pegawai dapat ditingkatkan kesejahteraannya, mengingat pendanaan negara yang belum dapat mencakup keseluruhan pegawai yang ada.
Di lain pihak, ada pula pihak yang berpendapat bahwa dengan hanya menaikkan gaji para pegawai yang selama ini sudah berlaku, tidak serta merta membawa dampak yang positif bagi kenerja birokrat yang ada. Namun sebagai sebuah upaya yang dapat dicoba, pemerintah hendaknya dapat menggunakan kewenangannya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan para pegawai sehingga dapat mencegah perilaku korup dan meningkatkan kinerja para pegawai.
d.        Masih banyaknya pandangan negative tentang birokrasi.
Birokrasi memang telah menjadi sebuah hal yang begitu dipandang negative oleh masyarakat, perilaku korup, suka menunda pekerjaan, kurangnya deskripsi pekerjaan yang dimiliki para pegawai, serta tingkat disiplin yang minim, menjadikan aparatur birokrasi “terlanjur” buruk di mata masyarakat.
Maka dari itu, saat upaya reformasi birokrasi muncul, banyak masyarakat yang memandang sebelah mata. Tidak jarang ketika beberapa institusi sudah mencoba melakukan hal yang “benar” dan sesuai peraturan, perilaku buruk justru muncul dari masyarakat. Contoh kecil adalah saat masyarakat menggunakan uang pelicin untuk mempercepat administrasi yang dimilikinya, atau dalam hal perijinan. Perilaku dan pandangan negative inilah yang juga perlu dibenahi masyarakat kita.
D.       Upaya Dalam Mewujudkan Implementasi Good Governance.
Good governance ini secara umum diterjemahkan dengan pemerintahan yang baik, meskipun istilah aslinya memandang luas dimensi governance tidak sebatas hanya menjadi pemerintahan saja. Selain itu good governance dapat juga diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian.
Good governance juga dapat diartikan efisiensi dalam menejemen sektor publik, menciptakan akuntabilitas publik, tersedianya infrastruktur hukum, adanya sistem informasi yang menjamin akses masyarakat terhadap informasi yang berisi kebijakan, dan adanya transparasi dari berbagai kebijakan.
Good governance adalah sebuah bentuk kesadaran akan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam serta dalam menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Good governance juga ada, bila negara bisa menjamin keamanan warganya. Begitu pula bila para birokrat menggunakan jabatannya untuk melayani masyarakat luas, bukan untuk memperkaya diri sendiri. Selanjutnya good governance juga berarti implementasi kebijakan sosial-politik untuk kemaslahatan rakyat banyak, bukan hanya untuk kemakmuran orang-per-orang atau kelompok tertentu.
Ciri-ciri dari Clean and Good Governance
Pemerintahan yang baik dan bersih haruslah memiliki ciri-ciri yang tertera dibawah ini karena perwujudan pemrintahan tersebut harus memilikin semua aspek tersebut.berikut adalah aspek yang merupkan cirri-ciri dari pemerintahan yang baik dan bersih ;
a.        AdanyaPartisipasi (Participation)
Semua warga negara berhak terlibat dalam keputusan, baik langsung maupun center for public harus diikuti dengan berbagai aturan sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan baik dan efisien, selain itu pemerintah juga harus menjadi public server dengan memberikan pelayanan yang baik, efektive, efisien, tepat waktu serta dengan biaya yang murah, sehingga mereka memiliki kepercayaan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat sangat berperan besar dalam pembangunan, salah satunya diwujudkan dengan pajak.
b.        AdanyaPenegakanHukum(Rule of Law).
Penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintah yang profesional dan harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa. Penegakan hukum sangat berguna untuk menjaga stabilitas nasional. Karna suatu hukum bersifat tegas dan mengikat. Perwujudan good governance harus di imbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang meng andung unsur-unsur sebagai berikut :
a)     Supremasi Hukum, yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan peraturan yang jelas dan tega dan dijamain pelaksanaannya secara benar serta independen.
b)     Kepastian hukum, bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikasi dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
c)     Hukum yang responsive, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi msyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
d)     Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan hukum yang berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu jabatan maupun status sosialnya sebagai contoh aparat penegak hukum yang melanggar kedisiplinan dan hukum wajib dikenakan sanksi.
e)     Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau pengaruh lainnya. Sayangnya di negara kita independensi peradilan belum begitu baik dan dinodai oleh aparat penegak hukum sendiri, sebagai contoh kecilnya yaitu kasus suap jaksa.
c.        Tranparasi (Transparency)
Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini bangsa indonesia terjebak dalam kubangan korupsi yang sangat parah. Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak baik. Dalam pengelolaan negara, Goffer berpendapat bahwa terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparasi, yaitu :
a)   Penetapan posisi dan jabatan.
b)  Kekayaan pejabat publik.
c)   Pemberian penghargaan.
d)  Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
e)   Kesehatan.
f)    Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
g)   Keamanan dan ketertiban.
h)  Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
d.        Responsif (Responsiveness).
Asas responsif adalah bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat secara umum. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan masyarakatnya, bukan menunggu masyarakat menyampaikan aspirasinya, tetapi pemerintah harus proaktif dalam mempelajara dan mengalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jadi setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika yaitu etika individual yang menuntut pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional. Dan etika sosial yang menuntut pemerintah memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan pubik.
e.        Orientasi kesepakatan atau Konsensus (Consensus Orientation)
Asas konsensus adalah bahwa setiap keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah. Cara pengambilan keputusan secara konsensus akan mengikat sebagiah besar komponen yang bermusyawarah dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili selain itu semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-kebijakan umum maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya dan akuntanbilitas pelaksanaannya dapat semaki di pertanggungjawabkan.
f.         Keadilan dan Kesetaraan (Equity)
Asas kesetaraan dan keadilan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Pemerintah harus bersikap dan berprilaku adil dalam memberikan pelayanan terhadap publik tanpa mengenal perbedaan kedudukan, keyakinan, suku, dan kelas sosial.
g.        Efektivitas (Effectifeness) dan Efisiensi (Efficiency)
Yaitu pemerintah harus berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelopok dan lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang dipakai untuk mencapai tujuan dan sasaran maka pemerintah dalam kategori efisien.
h.         Akuntabilitas (Accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar