Senin, 26 September 2011

DPR ‘Keroyok’ Hakim Pengadilan Tipikor

Jumat, 23 September 2011
Hukum on Line
Hakim adhoc tipikor yang mengikuti seleksi calon hakim agung di Komisi III DPR dicecar seputar kasus cek pelawat yang melibatkan sejumlah anggota dewan.


DPR " keroyok " hakim ad hoc Pengadilan Tipikor . Foto: SGP

Ibarat masuk ke kandang macan. Mungkin itu ungkapan yang pas ditujukan kepada Hakim adhoc Pengadilan Tipikor Dudu Duswara. Pria yang tengah mencalonkan diri sebagai hakim agung ini harus mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR. Pertanyaan-pertanyaan mengenai kasus cek pelawat yang melibatkan para anggota dewan di Pengadilan Tipikor mendominasi proses seleksi ini.

Ketua Komisi III DPR Benny K Harman mempertanyakan sikap Dudu dalam kasus cek pelawat dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 tersebut. Sejumlah anggota dewan yang disebut menerima suap sudah divonis bersalah, tetapi sampai sekarang penyuapnya belum diproses. “Dalam suap itu, adanya penyuap yang disuap adalah syarat mutlak. Bagaimana mungkin bisa dibilang ada suap bila penyuapnya tak ada?” ujarnya, Kamis malam (22/9).

Dudu mengaku sepakat dengan Benny. Dalam kasus suap, adanya penyuap dan yang disuap merupakan suatu yang absolut. Namun, ia menegaskan hakim pengadilan tipikor tak bisa menghukum penyuapnya karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum bisa menghadirkan penyuapnya. Meski begitu, ia sebagai hakim yakin sesuai fakta persidangan bahwa delik penyuapan itu telah terjadi.

“Tentu bukan kewenangan kami untuk memanggil penyuapnya. Itu kewenangan penyidik,” ujarnya.

Benny kembali berkomentar, bila penyuapnya belum dihadirkan seharusnya hakim tak perlu menangani perkara orang yang disuap terlebih dahulu. “Anda seharusnya bisa mengembalikan berkas itu ke penyidik. Hadirkan dulu penyuapnya,” jelas Benny.

Lebih lanjut, Benny bahkan ingin memastikan bila Dudu terpilih sebagai hakim agung dan harus menangani perkara cek pelawat ini lagi di tingkat Mahkamah Agung (MA), apakah Dudu akan mengubah sikapnya atau tidak. “Apabila nanti terpilih, lalu anda diminta untuk mengadilinya di tingkat PK, bagaimana keadilan yanng akan anda berikan?” ujarnya.

Kasus Endin
Pertanyaan serupa juga datang dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kebetulan Dudu adalah salah satu majelis yang memutus bersalah Anggota DPR dari PPP Endin Soefihara dalam kasus cek pelawat itu. Anggota Komisi III dari PPP Kurdi Mukri mempertanyakan bagaimana mungkin Endin bisa dinyatakan bersalah, padahal FPPP tidak memilih Miranda Goeltom dalam pemilihan DGS BI itu.

“Endin memang dapat duit tapi kan Fraksi PPP tak memilih Miranda. Apa itu masuk kategori suap? Seharusnya kan tidak,” tegasnya lagi.

Anggota Komisi III dari PPP yang lain Ahmad Yani pun terlihat sangat bersemangat menyambung pertanyaan koleganya itu. Namun, pimpinan Rapat Tjatur Sapto Edy buru-buru memotong karena memang belum giliran Yani. “Giliran Pak Yani nanti. Sekarang PDIP dan PAN, lalu baru kembali ke Pak Yani. Saya tahu memang bapak adalah temannya pak Endin, saya juga temannya pak Endin,” selorohnya.

Begitu giliran didapat, Yani mencoba menggiring Dudu mengenai kasus Endin itu. Ia mempertanyakan bagaimana bila dalam suatu kasus dakwaan terdakwa tidak cermat. “Bagaimana bila ada kasus seperti itu?” tanyanya. Dudu lantas berkomentar dakwaan seharusnya dibatalkan.  

“Dalam kasus Endin yang terjadi begitu. Dia sahabat saya benar. Ada rekonstruksi jaksa yang hanya copy paste dari orang lain. Anda kan sudah bilang dibatalkan. Apakah anda akan konsisten (dengan pendapat anda) bila memeriksa kembali perkara ini di tingkat MA bila kelak terpilih sebagai hakim agung?” cecarnya.

Dudu hanya menjawab singkat. “Insya Allah saya akan konsisten,” ujarnya. Lagipula, lanjut Dudu, di antara majelis hakim pengadilan tipikor yang menghukum Endin, dirinyalah yang berpendapat seharusnya hukuman Endin lebih rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar