JAKARTA - Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan, penyidiknya akan
mendalami pengakuan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi saat
bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/8).
Termasuk soal dua dokumen perkara yang
diakui Nurhadi dirobeknya sebelum penyidik menggeledah rumahnya di Jalan
Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
"Itu nanti biar dikroscek penyidik kami yang pada waktu itu melakukan penggeledahan," kata Agus di kantor KPK, Senin (15/8).
Hanya saja Agus enggan menjelaskan lebih detail persoalan tersebut. "Detailnya saya tidak tahu," katanya.
Seperti diketahui, saat bersaksi Nurhadi
mengaku merobek dua dokumen yang dianggapnya tidak ada pengirimnya.
Salah satu dokumen itu soal perkara yang terkait Bank Danamon.
Penggeledahan dilakukan KPK 20 April
2016, setelah menangkap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy
Nasution dan perantara suap Doddy Aryanto Supeno.
"Jadi sebelum penyitaan KPK, sudah saya
robek," kata Nurhadi saat bersaksi untuk terdakwa suap Doddy Aryanto
Supeno di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/8).
Seperti diketahui, dalam persidangan di
Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (26/7), saksi Bagian Hukum PT Across
Asia Limited, Wresti Kristian Hesty menyebut Nurhadi sebagai promotor
yang mengatur setiap perkara yang melibatkan perusahaan Grup Lippo.
Hesty mengaku sering mengirim memo
kepada promotor. Memo itu ia tulis, lalu diserahkan kepada bekas
petinggi Lippo Group Eddy Sindoro.
"Setahu saya yang disebut promotor
menurut Pak Doddy, promotor adalah Nurhadi," kata Hesty menjawab
pertanyaan Hakim Sumpeno saat bersaksi untuk terdakwa Doddy Aryanto
Supeno di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/6).
Namun, Nurhadi membantah keras menjadi
promotor. Ia mengaku dari dulu sampai sekarang dan di mana pun, namanya
tetap dipanggil Nurhadi, bukan promotor. Saya sampaikan saya disebut
promotor itu salah," kata Nurhadi di persidangan, Senin (15/8).
KPK menetapkan Pegawai PT Artha Pratama Anugerah Doddy Aryanto Supeno dan Panitera PN Jakpus Edy Nasution sebagai tersangka.
Doddy di persidangan didakwa
bersama-sama Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International,
Ervan Adi Nugroho, pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian
Hesti dan bekas Presiden Direktur Lippo Group Eddy Sindoro memberi suap
Rp 150 juta kepada Edy Nasution.
Uang diberikan agar Edy menunda proses
"aanmaning" atau peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta
Perdana (MTP), dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across
Asia Limited (AAL). Padahal, waktu pengajuan PK tersebut telah melewati
batas yang ditetapkan Undang-undang.
Lippo Group sudah membantah terlibat kasus suap Doddy Aryanto Supeno kepada Edy Nasution. (boy/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar