Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Perkara kasasi Nomor 2007 K/Pid.Sus/2011 dikantongi
Sugeng Riyono dalam kasus korupsi pengadaan lahan untuk Pasar Induk
Agribisnis Sidoarjo senilai Rp 12 miliar pada 2001. Tapi dalam amarnya,
yang dihukum adalah Achmad Subaidi dengan vonis 1 tahun penjara.
"Peristiwa
kekacauan putusan kasasi yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung (MA) dalam
perkara atas nama Sugeng Riyono namun yang dihukum adalah Achmad
Subaidi merupakan praktik penyelenggaraan peradilan yang tidak
profesional dan dapat menurunkan wibawa badan peradilan dalam hal ini
MA," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono saat berbincang
dengan detikcom, Rabu (26/8/2015).
Dalam halaman 1 disebutkan
identitas terdakwa yang diadili adalah Drs Sugeng Riyono yang lahir di
Tanjung Pinang pada 17 Juni 1958. Terdakwa merupakan Mantan Kepala Biro
Perlengkapan Provinsi Jawa Timur yang tinggal di Jalan Sutorejo Prima
Barat PQ No 35-36, Kelurahan Dukuh Sutorejo RT 05 RW 09, Kecamatan
Mulyorejo, Kota Surabaya.
Namun dalam amar putusan di halaman 59
yang dihukum adalah Achmad Subaidi Bin Achmad Marsuki yang terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana bersama-sama
korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut. Atas kesalahan
Subaidi, MA menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan
pidana penjara 1 tahun.
"Peristiwa ini sebenarnya tidak boleh
terjadi mengingat dalam Pasal 6A Undang-Undang Mahkamah Agung disebutkan
hakim agung adalah orang yang memiliki integritas, kepribadian tidak
tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum," ujar
Bayu.
Putusan ini diketok oleh hakim agung Djoko Sarwoko pada 12
Januari 2012. Djoko dibantu dua hakim anggota dari unsur hakim ad hoc
tipikor, yaitu Abdul Latief dan Sophian Martabaya. Djoko telah pensiun,
Abdul Latief masih berdinas dan Siphoan telah di-pensiundini-kan karena
terbukti memalsu identitas untuk kawin lagi/poligami. Abdul Latief
beberapa kali dimintai keterangan oleh Komisi Yudisial (KY) terkait
putusan lepasnya terpidana korupsi Soedjiono Timan.
"Peristiwa
ini juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim dimana salah satu dari 10 prinsip Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim adalah bersikap profesional yaitu suatu sikap moral yang
dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan
kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan,
ketrampilan dan wawasan luas," papar Bayu.
Jika hakim dalam hal
ini termasuk hakim agung mempedomani sikap profesional ini, maka
senantiasa akan menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta
berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja. Sehingga
tercapainya setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan
efisien. Menurut Bayu, peristiwa ini juga menunjukkan kurang berjalannya
pengawasan internal oleh MA terhadap tingkah laku hakim agung dalam
mempedomani Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Terbukti sampai saat
ini belum ada tindakan pemeriksaan apapun terhadap peristiwa yang
memalukan dunia peradilan ini.
"Padahal sesuai dengan Panduan
Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pelanggaran terhadap
sikap profesional ini oleh hakim agung dapat diklasifikasikan
pelanggaran ringan, sedang atau berat, tergantung dari dampak yang
ditimbulkannya," ujar Bayu yang baru pulang dari Korea Selatan untuk contitusional short course.
Jikalau
ini adalah kesalahan ketik belaka, maka ini kesalahan kesekian kalinya
yang dilakukan MA. Sebelumnya Indoesia pernah digegerkan dengan putusan
Yayasan Supersemar yang mengalami kesalahan pengetikan di tingkat
kasasi. Seharusnya tertulis Rp 185 miliar, tetapi MA menulisnya Rp 185
juta.
"Yang lebih penting juga adalah agar MA melakukan evaluasi
keseluruhan ke internalnya untuk mencegah peristiwa seperti ini tidak
terulang mengingat akan dapat menghambat tercapainya visi badan
peradilan Indonesia yaitu terwujudnya badan peradilan Indonesia yang
agung dan misi badan peradilan untuk memberikan pelayanan hukum yang
berkeadilan kepada pencari keadilan dan meningkatkan kredibilitas dan
transparansi badan peradilan," papar pengajar Universitas Jember itu.
Dengan
kekacauan putusan Nomor 2007, Sugeng seharusnya dihukum berapa tahun?
Apakah hukuman 1 tahun penjara itu untuk Sugeng atau untuk Subaidi? MA
diharapkan menjelaskan misteri putusan Nomor 2007 ini.
"Setidaknya
penjelasan dan pertangungjawaban MA kepada publik mengapa peristiwa
seperti ini masih bisa terjadi," ujar Bayu berharap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar