Rabu, 26 Agustus 2015

Misteri Kekacauan Putusan Kasasi Nomor 2007

Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Perkara kasasi Nomor 2007 K/Pid.Sus/2011 dikantongi Sugeng Riyono dalam kasus korupsi pengadaan lahan untuk Pasar Induk Agribisnis Sidoarjo senilai Rp 12 miliar pada 2001. Tapi dalam amarnya, yang dihukum adalah Achmad Subaidi dengan vonis 1 tahun penjara.

"Peristiwa kekacauan putusan kasasi yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung (MA) dalam perkara atas nama Sugeng Riyono namun yang dihukum adalah Achmad Subaidi merupakan praktik penyelenggaraan peradilan yang tidak profesional dan dapat menurunkan wibawa badan peradilan dalam hal ini MA," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono saat berbincang dengan detikcom, Rabu (26/8/2015).

Dalam halaman 1 disebutkan identitas terdakwa yang diadili adalah Drs Sugeng Riyono yang lahir di Tanjung Pinang pada 17 Juni 1958. Terdakwa merupakan Mantan Kepala Biro Perlengkapan Provinsi Jawa Timur yang tinggal di Jalan Sutorejo Prima Barat PQ No 35-36, Kelurahan Dukuh Sutorejo RT 05 RW 09, Kecamatan Mulyorejo, Kota Surabaya.

Namun dalam amar putusan di halaman 59 yang dihukum adalah Achmad Subaidi Bin Achmad Marsuki yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana bersama-sama korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut. Atas kesalahan Subaidi, MA menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana penjara 1 tahun.

"Peristiwa ini sebenarnya tidak boleh terjadi mengingat dalam Pasal 6A Undang-Undang Mahkamah Agung disebutkan hakim agung adalah orang yang memiliki integritas, kepribadian tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum," ujar Bayu.

Putusan ini diketok oleh hakim agung Djoko Sarwoko pada 12 Januari 2012. Djoko dibantu dua hakim anggota dari unsur hakim ad hoc tipikor, yaitu Abdul Latief dan Sophian Martabaya. Djoko telah pensiun, Abdul Latief masih berdinas dan Siphoan telah di-pensiundini-kan karena terbukti memalsu identitas untuk kawin lagi/poligami. Abdul Latief beberapa kali dimintai keterangan oleh Komisi Yudisial (KY) terkait putusan lepasnya terpidana korupsi Soedjiono Timan.

"Peristiwa ini juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dimana salah satu dari 10 prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah bersikap profesional yaitu suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, ketrampilan dan wawasan luas," papar Bayu.

Jika hakim dalam hal ini termasuk hakim agung mempedomani sikap profesional ini, maka senantiasa akan menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja. Sehingga tercapainya setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien. Menurut Bayu, peristiwa ini juga menunjukkan kurang berjalannya pengawasan internal oleh MA terhadap tingkah laku hakim agung dalam mempedomani Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Terbukti sampai saat ini belum ada tindakan pemeriksaan apapun terhadap peristiwa yang memalukan dunia peradilan ini.

"Padahal sesuai dengan Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pelanggaran terhadap sikap profesional ini oleh hakim agung dapat diklasifikasikan pelanggaran ringan, sedang atau berat, tergantung dari dampak yang ditimbulkannya," ujar Bayu yang baru pulang dari Korea Selatan untuk contitusional short course. 

Jikalau ini adalah kesalahan ketik belaka, maka ini kesalahan kesekian kalinya yang dilakukan MA. Sebelumnya Indoesia pernah digegerkan dengan putusan Yayasan Supersemar yang mengalami kesalahan pengetikan di tingkat kasasi. Seharusnya tertulis Rp 185 miliar, tetapi MA menulisnya Rp 185 juta.

"Yang lebih penting juga adalah agar MA melakukan evaluasi keseluruhan ke internalnya untuk mencegah peristiwa seperti ini tidak terulang mengingat akan dapat menghambat tercapainya visi badan peradilan Indonesia yaitu terwujudnya badan peradilan Indonesia yang agung dan misi badan peradilan untuk memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan dan meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan," papar pengajar Universitas Jember itu.

Dengan kekacauan putusan Nomor 2007, Sugeng seharusnya dihukum berapa tahun? Apakah hukuman 1 tahun penjara itu untuk Sugeng atau untuk Subaidi? MA diharapkan menjelaskan misteri putusan Nomor 2007 ini.

"Setidaknya penjelasan dan pertangungjawaban MA kepada publik mengapa peristiwa seperti ini masih bisa terjadi," ujar Bayu berharap. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar