TEMPO.CO, Jakarta
- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Muhammad Laode Syarif
mengatakan, penyidik akan segera mengirimkan surat kepada Mahkamah Agung
untuk menyerahkan pegawai negeri sipil bernama Royani. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk koordinasi lantaran ajudan Sekretaris Mahkamah
Agung Nurhadi tersebut mangkir tanpa keterangan dalam dua panggilan
yaitu 29 April dan 2 Mei lalu.
"Sedang dicari, sedang ditelusuri.
Yang pasti kami kirimin surat panggilan tak hadir," kata Laode di
Gedung KPK, Selasa, 16 Mei 2016.
Toh, Laode enggan
menyebut Mahkamah Agung ikut andil dalam penyembunyiaan Royani. Ia juga
enggan menyatakan banyaknya bukti Nurhadi menghalangi penyidikan dalam
kasus upaya suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Meski, KPK telah mengantongi sejumlah dokumen dan uang yang dimasukkan
dalam toilet saat penggeledahan rumah Nurhadi, pertengah April lalu.
"Tunggu
dulu. Sampai saat ini belum ada rencana penyidik memanggil dan
memeriksa Nurhadi lagi," kata Laode. "Semua masih fokus mencari Royani."
Menurut
Laode, peran dan informasi yang dimiliki Royani sangat signifikan dalam
mengungkap kasus pengaturan perkara yang belakang turut menyeret
Chairman Paramount Enterprise Eddy Sindoro. Ogah detil, dia mengatakan,
penyidik hingga kini berkukuh ingin memeriksa hingga meminta Direktorat
Jenderal Imigrasi mencegah Royani ke luar negeri.
Meski peran
Royani belum jelas, Majalah Tempo edisi 2-8 Mei 2016 menyebutkan peran
Eddy Sindoro adalah ikut merancang "pengamanan" perkara yang melibatkan
perusahaan di Mahkamah Agung. Eddy diduga mengadakan pertemuan khusus
dengan Nurhadi, Edy Nasution, dan Doddy di kantor Paramount.
Nurhadi juga terdeteksi beberapa kali bertemu dengan Eddy Sindoro di
kantor Paramount dalam tiga bulan terakhir. Selain dengan Eddy, kata
petugas KPK, Nurhadi kerap bertemu dengan para petinggi Grup Lippo di
beberapa tempat di Serpong. "Tunggu saja kalau (Royani) sudah
diperiksa," kata Laode.
FRANSISCO ROSARIANS
Blog ini berisi berbagai macam berita yang diberitakan oleh Kantor Berita, maupun Media yang lain terutama yang ada di Indonesia dan beralamatkan di Jln H. Enang No. 28 Cisalak
Selasa, 17 Mei 2016
Skandal Dagang Perkara di MA, Hakim Syamsul Rakan: Saya Nggak Kenal Andri
Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Percakapan antara pejabat Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna (ATS) dengan koleganya, Kosidah dibuka di persidangan. Sejumlah nama disebut, salah satunya hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago.
Kala itu, Andri tengah memperdagangkan perkara kasasi kasus korupsi dari Bengkulu atas nama terdakwa Andi Reman Sugiyar dkk. Andri terus menanyakan ke Kosidah majelis kasus yang menyidangkan perkara itu. Perkara itu diadili oleh hakim agung Salman Luthan, MS Lumme dan Syamsul Rakan Chaniago.
"Main di Pak Chaniago aja mas, biar beliau yang pegang," kata Kosidah kepada Andri dalam BBM itu.
"Iya nanti saya sampaikan ke yang bersangkutan," jawab Andri.
Atas percakapan itu, Syamsul Rakan tertawa. Dia sama sekali tidak mengenal Andri.
"Saya nggak kenal Andri. Ketemu saja tidak," kata Syamsul Rakan saat dikonfirmasi, Selasa (17/5/2016) pagi ini.
Syamsul Rakan kaget dengan pengakuan tersebut. Ia merasa namanya dicatut untuk diperjualbelikan oleh pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan pribadi.
"Pegawai bawahan ya begitu. Seolah-olah kenal dekat. Diajak foto bareng," ujar Syamsul Rakan.
Sebagai hakim yang khusus menangani perkara korupsi, ia menjaga dirinya dari berbagai orang yang punya niat negatif. Termasuk membatasi diri dengan pegawai MA.
"Kami paling ke bagian umum, minta kertas habis. Kadang panitera saja kami nggak kenal," ucap Syamsul menegaskan.
Jakarta - Percakapan antara pejabat Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna (ATS) dengan koleganya, Kosidah dibuka di persidangan. Sejumlah nama disebut, salah satunya hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago.
Kala itu, Andri tengah memperdagangkan perkara kasasi kasus korupsi dari Bengkulu atas nama terdakwa Andi Reman Sugiyar dkk. Andri terus menanyakan ke Kosidah majelis kasus yang menyidangkan perkara itu. Perkara itu diadili oleh hakim agung Salman Luthan, MS Lumme dan Syamsul Rakan Chaniago.
"Main di Pak Chaniago aja mas, biar beliau yang pegang," kata Kosidah kepada Andri dalam BBM itu.
"Iya nanti saya sampaikan ke yang bersangkutan," jawab Andri.
Atas percakapan itu, Syamsul Rakan tertawa. Dia sama sekali tidak mengenal Andri.
"Saya nggak kenal Andri. Ketemu saja tidak," kata Syamsul Rakan saat dikonfirmasi, Selasa (17/5/2016) pagi ini.
Syamsul Rakan kaget dengan pengakuan tersebut. Ia merasa namanya dicatut untuk diperjualbelikan oleh pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan pribadi.
"Pegawai bawahan ya begitu. Seolah-olah kenal dekat. Diajak foto bareng," ujar Syamsul Rakan.
Sebagai hakim yang khusus menangani perkara korupsi, ia menjaga dirinya dari berbagai orang yang punya niat negatif. Termasuk membatasi diri dengan pegawai MA.
"Kami paling ke bagian umum, minta kertas habis. Kadang panitera saja kami nggak kenal," ucap Syamsul menegaskan.
Dagang Perkara MA Ala Andri, Kasus di Mataram hingga Pekanbaru
Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Meski hanya Kasubdit Perdata Mahkamah Agung (MA), tapi Andri Tristianto Sutrisna bisa bermain di segala lini. Dari menemui klien hingga mengontrol pergerakan perkara yang tengah diajukan kasasi atau peninjauan kembali (PK).
Hal itu terungkap dari percakapan BBM Andri dengan staf kepaniteraan bernama Kosidah yang dibeberkan KPK dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/5) sore. Andri tidak membantah materi BBM tersebut dan mengakui itu percakapannya dengan Kosidah sedangkan Kosidah mengaku lupa dan tidak tahu atas materi percakapan itu.
Dari percakapan itu, sedikitnya ada 4 perkara yang sedang diperdagangkan oleh Andri, yaitu:
1. Perkara di Mataram
Ichsan Suadi merupakan terdakwa korupsi APBD Mataram. Ichsan awalnya dihukum 3 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Mataram tapi oleh hakim agung Artidjo Alkostar diperberat menjadi 5 tahun penjara. Ichsan lalu meminta Andri untuk memperlambat putusan kasasi itu sampai ke Mataram. Andri kemudian mengontak staf panitera MA.
"Mbak untuk Mataram kan minta agar berkasnya ditahan dulu, minta ditahan dulu," kata Andri.
"Minta saja 50, kasih ke PP (panitera pengganti-red) 30, itu kan perkara korupsi," jawab Kosidah atau biasa dipanggil Ida.
"Iya saya usahakan bersama yang bersangkutan," jawab Andri.
Namun skandal itu terendus KPK dan Andri ditangkap.
2. Perkara di Pekanbaru
Meski Andri adalah Kasubdit Perdata, tapi ia juga tengah mengurus perkara pidana hingga PTUN. Salah satunya adalah kasus yang ada di PTUN Pekanbaru yang tengah diproses peninjauan kembali (PK). Ia menerima Rp 500 juta dari pengacara bernama Asep.
"Rp 500 juta perkara Tata Usaha Negara (TUN) dari Pekanbaru, Yang Mulia," ucap Andri di persidangan.
3. Perkara di Bengkulu
Andri juga memperdagangkan perkara kasasi kasus korupsi dari Bengkulu atas nama terdakwa Andi Reman Sugiyar dkk. Andri terus menanyakan ke Kosidah majelis kasus yang menyidangkan perkara itu. Perkara itu diadili oleh hakim agung Salman Luthan, MS Lumme dan Syamsul Rakan Chaniago. Kasus ini belum diputus.
"Main di Pak Chaniago aja Mas, biar beliau yang pegang," kata Kosidah kepada Andri dalam BBM itu.
"Iya nanti saya sampaikan ke yang bersangkutan," jawab Andri.
Atas percakapan itu, Syamsul Rakan tertawa. Dia sama sekali tidak mengenal Andri.
"Saya nggak kenal Andri. Ketemu saja tidak," kata Syamsul Rakan saat dikonfirmasi, Selasa (17/5/2016) pagi ini.
4. Perkara di Tasikmalaya
Andri juga sedang melobi perkara kasus di Tasikmalaya. Andri bertugas memantau perkara dan ia menghubungi pihak terkait. Sayang, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tidak menelisik lebih jauh perkara tersebut.
"Mbak, yang Tasik belum putus kan?" tanya Andri.
"Belum Mas, aku cek ke Tuaka belum dibalas," jawab Kosidah.
"Oh gitu, belum ada panitera muda ya," jawab Andri.
(asp/nrl)
Jakarta - Meski hanya Kasubdit Perdata Mahkamah Agung (MA), tapi Andri Tristianto Sutrisna bisa bermain di segala lini. Dari menemui klien hingga mengontrol pergerakan perkara yang tengah diajukan kasasi atau peninjauan kembali (PK).
Hal itu terungkap dari percakapan BBM Andri dengan staf kepaniteraan bernama Kosidah yang dibeberkan KPK dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/5) sore. Andri tidak membantah materi BBM tersebut dan mengakui itu percakapannya dengan Kosidah sedangkan Kosidah mengaku lupa dan tidak tahu atas materi percakapan itu.
Dari percakapan itu, sedikitnya ada 4 perkara yang sedang diperdagangkan oleh Andri, yaitu:
1. Perkara di Mataram
Ichsan Suadi merupakan terdakwa korupsi APBD Mataram. Ichsan awalnya dihukum 3 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Mataram tapi oleh hakim agung Artidjo Alkostar diperberat menjadi 5 tahun penjara. Ichsan lalu meminta Andri untuk memperlambat putusan kasasi itu sampai ke Mataram. Andri kemudian mengontak staf panitera MA.
"Mbak untuk Mataram kan minta agar berkasnya ditahan dulu, minta ditahan dulu," kata Andri.
"Minta saja 50, kasih ke PP (panitera pengganti-red) 30, itu kan perkara korupsi," jawab Kosidah atau biasa dipanggil Ida.
"Iya saya usahakan bersama yang bersangkutan," jawab Andri.
Namun skandal itu terendus KPK dan Andri ditangkap.
2. Perkara di Pekanbaru
Meski Andri adalah Kasubdit Perdata, tapi ia juga tengah mengurus perkara pidana hingga PTUN. Salah satunya adalah kasus yang ada di PTUN Pekanbaru yang tengah diproses peninjauan kembali (PK). Ia menerima Rp 500 juta dari pengacara bernama Asep.
"Rp 500 juta perkara Tata Usaha Negara (TUN) dari Pekanbaru, Yang Mulia," ucap Andri di persidangan.
3. Perkara di Bengkulu
Andri juga memperdagangkan perkara kasasi kasus korupsi dari Bengkulu atas nama terdakwa Andi Reman Sugiyar dkk. Andri terus menanyakan ke Kosidah majelis kasus yang menyidangkan perkara itu. Perkara itu diadili oleh hakim agung Salman Luthan, MS Lumme dan Syamsul Rakan Chaniago. Kasus ini belum diputus.
"Main di Pak Chaniago aja Mas, biar beliau yang pegang," kata Kosidah kepada Andri dalam BBM itu.
"Iya nanti saya sampaikan ke yang bersangkutan," jawab Andri.
Atas percakapan itu, Syamsul Rakan tertawa. Dia sama sekali tidak mengenal Andri.
"Saya nggak kenal Andri. Ketemu saja tidak," kata Syamsul Rakan saat dikonfirmasi, Selasa (17/5/2016) pagi ini.
4. Perkara di Tasikmalaya
Andri juga sedang melobi perkara kasus di Tasikmalaya. Andri bertugas memantau perkara dan ia menghubungi pihak terkait. Sayang, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tidak menelisik lebih jauh perkara tersebut.
"Mbak, yang Tasik belum putus kan?" tanya Andri.
"Belum Mas, aku cek ke Tuaka belum dibalas," jawab Kosidah.
"Oh gitu, belum ada panitera muda ya," jawab Andri.
(asp/nrl)
Senin, 16 Mei 2016
Bentuk Tim Investigasi, Ketua MA: Kami Periksa Orang di Sekeliling Nurhadi
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) telah membentuk sebuah tim untuk menginvestigasi temuan KPK terkait Sekretaris MA Nurhadi. Tak hanya Nurhadi, MA juga akan memeriksa orang-orang di sekelilingnya.
"Kita tetap lakukan pemeriksaan ada enggak sekeliling beliau yang lalukan pelanggaran?" ujar Ketua MA Hatta Ali usai hadiri pelantikan komisioner Kompolnas di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (13/5/2016).
Untuk kasus yang diduga melibatkan Nurhadi sendiri, MA menyerahkan sepenuhnya kepada KPK. Tetapi Hatta mengaku hingga saat ini belum tahu apa yang terjadi dengan Nurhadi.
"Kalau status tersangka ada ketentuan ada pemberhentian sementara kalau Edy Nasution sudah kita lakukan, kalau Nurhadi kita belum tahu. KPK sendiri belum ada pemberitahuan," ucap Hatta.
Hatta menegaskan tak akan mencampuri proses hukum yang dijalani Nurhadi. "Pak Nurhadi sendiri karena sudah berproses hukum sudah pencekalan bahkan sudah ditahan kita gak bileh campuri. Kita serahkan proses hukum," pungkas Hatta.
(bpn/aws)
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) telah membentuk sebuah tim untuk menginvestigasi temuan KPK terkait Sekretaris MA Nurhadi. Tak hanya Nurhadi, MA juga akan memeriksa orang-orang di sekelilingnya.
"Kita tetap lakukan pemeriksaan ada enggak sekeliling beliau yang lalukan pelanggaran?" ujar Ketua MA Hatta Ali usai hadiri pelantikan komisioner Kompolnas di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (13/5/2016).
Untuk kasus yang diduga melibatkan Nurhadi sendiri, MA menyerahkan sepenuhnya kepada KPK. Tetapi Hatta mengaku hingga saat ini belum tahu apa yang terjadi dengan Nurhadi.
"Kalau status tersangka ada ketentuan ada pemberhentian sementara kalau Edy Nasution sudah kita lakukan, kalau Nurhadi kita belum tahu. KPK sendiri belum ada pemberitahuan," ucap Hatta.
Hatta menegaskan tak akan mencampuri proses hukum yang dijalani Nurhadi. "Pak Nurhadi sendiri karena sudah berproses hukum sudah pencekalan bahkan sudah ditahan kita gak bileh campuri. Kita serahkan proses hukum," pungkas Hatta.
(bpn/aws)
Selasa, 03 Mei 2016
Lima Saksi Suap Pansek PN Jakpus Mangkir dari KPK
JAKARTA --Lima saksi
yang dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjalani pemeriksaan
sebagai saksi suap pendaftaran peninjauan kembali perkara perdata di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (2/5), mangkir.
Seharusnya, para saksi ini diperiksa
untuk tersangka perantara suap Doddy Aryanto Supeno. Mereka yang mangkir
ialah Suhendra Atmaja, Harlianto, Wawan dan Reki dari swasta serta
seorang dari pegawai Mahkamah Agung Royanti.
"Mereka tidak hadir," tegas Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak, Senin (2/5).
Namun, KPK tetap akan memanggil ulang
merek ini untuk dihadirkan memberikan kepada penyidik. "KPK akan
memanggil ulang kelima orang ini," kata perempuan berkacamata itu.
Di sisi lain, hari ini penyidik
memeriksa tersangka suap Panitera Sekretaris Jakpus Edy Nasution.
Menurut Yuyuk, dalam pemeriksaan perdana sebagai tersangka ini, Eddy
dicecar soal perannya dalam kasus suap tersebut. "Kemudian, bagaimana
proses terkait pendaftaran PK di PN Jakpus," ujarnya.
Seperti diketahui, kasus ini juga
menyeret nama Sekretaris MA Nurhadi. Penyidik sudah menyita duit Rp 1,7
miliar di rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan. Penggeledahan dilakukan pascapenangkapan Eddy dan Doddy.
Lantas kapan Nurhadi yang sudah dicegah
ke luar negeri itu akan diperiksa? Yuyuk menjelaskan, sampai saat ini
belum ada informasi terkait kapan anak buah Ketua MA Hatta Ali akan
diperiksa.
"Nanti saya update," tegasnya. (boy/jpnn)
Senin, 02 Mei 2016
Kapolda Mathius Salempang Terkaya di Sulsel
VIVAnews - Kepala Kepolisian Daerah, Inspektur Jenderal Mathius Salempang, tercatat sebagai penyelenggara negara terkaya di Sulawesi Selatan dan Barat. Sementara Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan, Rivai Rasyad, menjadi penyelenggara negara termiskin.
Jumlah kekayaan tersebut terungkap dalam pengumuman kekayaan pejabat Sulawesi Selatan di Hotel Kenari, Makassar, Selasa, 28 Juli 2009. Pengumuman disampaikan Wakil Ketua bidang Pencegahan KPK, Haryono Umar.
Penyelenggara negara Sulawesi Selatan yang diumumkan kekayaannya adalah Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, Wakil Gubernur Sulsel, Agus Arifin Nu’mang, Pangdam VII Wirabuana, Mayjen Djoko Susilo Utomo, Kapolda Sulselbar, Irjen Polisi Mathius Salempang, dan Ketua Pengadilan Tinggi Sulsel, Rivai Rasyad.
Sementara Muspida untuk tingkat Pemerintah Kota Makassar hanya dihadiri oleh Walikota Makassar Ilham Arief Siradjuddin bersama wakilnya, Soepomo Guntur. Pengumuman kekayaan pejabat itu juga dilakukan oleh Rektor Universitas Hasanuddin, Idrus Paturusi.
Dalam pengumuman itu, Haryono Umar memberikan kesempatan kepada para pejabat untuk mengumumkan sendiri kekayaannya secara berturut-turut.
Dalam pengumuman itu terungkap, Kapolda Sulselbar Irjen Polisi Mathius Salempang menjadi pejabat terkaya di Sulsel. Yakni dengan kekayaan mencapai lebih dari Rp 9,1 miliar. "Harta tidak bergerak mencapai Rp 5,2 miliar sedangkan yang bergerak dan kekayaan lainnya sekitar Rp 3,7 miliar kemudian ditambah dengan kekayaan USD 59,842," jelas Mathius Salempang.
Di urutan kedua ditempati oleh Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo yang memiliki kekayaan Rp 8,856 miliar rupiah. Disusul kemudian Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin yang memiliki kekayaan sebesar Rp 6,74 miliar. Pejabat terkaya keempat ditempati oleh Wakil Gubernur Sulsel, Agus Arifin Nu’mang dengan kekayaan sekitar Rp 3,854 miliar.
Sedangkan urutan kelima dan keenam ditempati oleh Wakil Walikota Makassar, Soepomo Guntur dan Pangdam VII Wirabuana, Mayjen Djoko Soesilo Utomo. Soepomo memiliki kekayaan bersih sekitar Rp 2,439 miliar dan Mayjen Djoko Soesilo Utomo sekitar Rp 1,263 miliar.
Pejabat Muspida Sulsel paling sedkit memiliki kekayaan sesuai laporan KPK ditempati oleh Ketua Pengadilan Tinggi Sulsel, Rivai Arsyad. Ia melaporkan kekayaan hampir satu miliar rupiah atau sekitar Rp 879 juta. Sementara Rektor Unhas, Idrus Paturusi melaporkan kekayaanna sekitar Rp 5,933 miliar ditambah uang USD 5.460.
Menanggapi pelaporan kekayaan tersebut, Wakil Ketua KPK Haryono Umar menjamin bahwa kekayaan itu sudah dipervikasi dan divalidasi sesuai prosedur yang ada. Seperti telah melakukan klarifikasi langsung ke pejabat Muspida bersangkutan, serta berkordinasi dengan pejabat berwenang seperti bank, kepolisian, BPN dan lainnya. "Dengan demikian, kami yakini jumlah tersebut benar adanya," jelasnya.
Haryono berharap, agar pengumuman 8 pejabat di Sulawesi Selatan tersebut menjadi contoh bagi daerah lainnya, untuk aktif melaporkan kekayaan mereka. Hal itu, kata Haryono, sebagai upaya mendorong terbentuknya transparansi anggaran di tingkat pemerintahan. Upaya itu juga diyakini bisa mendorong pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Laporan: Rahmat Zeena | Makassar
Pimpinan KPK Benarkan Soal Dokumen di Kloset Nurhadi
Oleh :
Ezra Natalyn, Taufik Rahadian
VIVA.co.id – Keterlibatan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi, dalam kasus dugaan suap pengamanan perkara di Pengadilan Jakarta Pusat masih ditelusuri penyidik KPK. Rumah dan kantor Nurhadi menjadi lokasi yang sempat digeledah KPK dalam penyidikan kasus tersebut.
Penyidik lantas menyita sejumlah dokumen bahkan uang miliaran Rupiah usai menggeledah rumah Nurhadi yang berada di Jalan Hang Leukir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Namun ketika akan melakukan penggeledahan, penyidik menemukan ada pihak yang mencoba membuang sejumlah dokumen ke kloset toilet. Hal tersebut kemudian dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang.
"Aku dengar sendiri penyidik yang bilang, kutipan langsungnya kira-kira anak-anak bilang ada dokumen di toilet," kata Saut dalam pesan singkatnya saat dikonfirmasi, Senin 2 Mei 2016.
Kendati demikian, Saut tidak menjelaskan lebih lanjut soal pihak yang melakukan hal tersebut. Dia juga mengaku belum mengetahui dokumen yang diduga dicoba dibuang itu.
"Dokumen tentang berbagai hal, aku cek lagi-lah ya," ujar dia.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, selain dokumen, juga terdapat uang yang dicoba disembunyikan di kloset. Namun Saut mengaku belum mendapatkan informasi mengenai hal tersebut.
Diberitakan sebelumnya, penyidik KPK telah menyita uang berjumlah Rp1,7 miliar dari rumah Nurhadi. Uang tersebut disita dari hasil penggeledahan terkait kasus dugaan suap pengamanan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah menjerat Panitera/Sekretaris, Edy Nasution.
Uang yang disita terdiri dari beberapa mata uang asing di antaranya USD37.603, SGD85.800, YEN170.000, Saudi Riyal7.501, Euro1.335 serta Rp354.300.000.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif menyebut bahwa uang yang ditemukan di rumah Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi masih memiliki keterkaitan dengan suatu perkara.
Kendati demikian, Syarif menyebut pihaknya masih mendalami perkara yang ada kaitannya dengan uang tersebut.
"Kumpulan dari bermacam-macam kasus, itu yang sedang diteliti. Jumlah uangnya itu kasus a berapa b berapa itu sedang diteliti," ujar dia.
Terkait kasus ini, KPK telah menetapkan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, sebagai tersangka. Edy diduga telah menerima uang ratusan juta dari seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno. Keduanya kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Usai penangkapan itu, pihak KPK langsung bergerak cepat dalam melakukan pengembangan. Salah satunya adalah dengan melakukan penggeledahan di sejumlah tempat termasuk kantor dan rumah Nurhadi. Bahkan pihak KPK menemukan dan menyita uang dalam bentuk Dolar Amerika Serikat. Namun hingga saat ini, penyidik masih belum menjelaskan keterkaitan Nurhadi dalam perkara tersebut.
VIVA.co.id – Keterlibatan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi, dalam kasus dugaan suap pengamanan perkara di Pengadilan Jakarta Pusat masih ditelusuri penyidik KPK. Rumah dan kantor Nurhadi menjadi lokasi yang sempat digeledah KPK dalam penyidikan kasus tersebut.
Penyidik lantas menyita sejumlah dokumen bahkan uang miliaran Rupiah usai menggeledah rumah Nurhadi yang berada di Jalan Hang Leukir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Namun ketika akan melakukan penggeledahan, penyidik menemukan ada pihak yang mencoba membuang sejumlah dokumen ke kloset toilet. Hal tersebut kemudian dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang.
"Aku dengar sendiri penyidik yang bilang, kutipan langsungnya kira-kira anak-anak bilang ada dokumen di toilet," kata Saut dalam pesan singkatnya saat dikonfirmasi, Senin 2 Mei 2016.
Kendati demikian, Saut tidak menjelaskan lebih lanjut soal pihak yang melakukan hal tersebut. Dia juga mengaku belum mengetahui dokumen yang diduga dicoba dibuang itu.
"Dokumen tentang berbagai hal, aku cek lagi-lah ya," ujar dia.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, selain dokumen, juga terdapat uang yang dicoba disembunyikan di kloset. Namun Saut mengaku belum mendapatkan informasi mengenai hal tersebut.
Diberitakan sebelumnya, penyidik KPK telah menyita uang berjumlah Rp1,7 miliar dari rumah Nurhadi. Uang tersebut disita dari hasil penggeledahan terkait kasus dugaan suap pengamanan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah menjerat Panitera/Sekretaris, Edy Nasution.
Uang yang disita terdiri dari beberapa mata uang asing di antaranya USD37.603, SGD85.800, YEN170.000, Saudi Riyal7.501, Euro1.335 serta Rp354.300.000.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif menyebut bahwa uang yang ditemukan di rumah Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi masih memiliki keterkaitan dengan suatu perkara.
Kendati demikian, Syarif menyebut pihaknya masih mendalami perkara yang ada kaitannya dengan uang tersebut.
"Kumpulan dari bermacam-macam kasus, itu yang sedang diteliti. Jumlah uangnya itu kasus a berapa b berapa itu sedang diteliti," ujar dia.
Terkait kasus ini, KPK telah menetapkan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, sebagai tersangka. Edy diduga telah menerima uang ratusan juta dari seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno. Keduanya kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Usai penangkapan itu, pihak KPK langsung bergerak cepat dalam melakukan pengembangan. Salah satunya adalah dengan melakukan penggeledahan di sejumlah tempat termasuk kantor dan rumah Nurhadi. Bahkan pihak KPK menemukan dan menyita uang dalam bentuk Dolar Amerika Serikat. Namun hingga saat ini, penyidik masih belum menjelaskan keterkaitan Nurhadi dalam perkara tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)