RMOL. Gelombang untuk rasa menolak rencana pemerintah menaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terus berlanjut. Kali ini,
Kantor Pusat Pertamina di Jalan Medan Merdeka Timur menjadi sasaran
demonstrasi. Bahkan, aksi unjuk rasa tersebut berujung ricuh.
Aksi
baku hantam tersebut terjadi antara puluhan pendemo yang tergabung
dalam Aliansi Buruh Jakarta Tolak Kenaikan Harga BBM dengan petugas
kepolisian.
Kericuhan tersebut berawal saat massa membakar ban
bekas di depan gerbang Gedung Pertamina, sekitar pukul 13.50 WIB. Aksi
itu lantas membuat macet lalu lintas dari Jalan Merdeka Timur menuju
Lapangan Banteng.
Kemudian, saat massa memaksa masuk gedung
Pertamina, mereka dipukul balik oleh puluhan petugas polisi dari Polres
Jakarta Pusat dan Polsek Gambir. Aksi saling pukul pun tak terhindarkan.
Akibatnya, sejumlah buruh luka. Satu di antaranya mengalami pecah
bibir. Darah segar mengalir dari bibir yang baru saja dihantam aparat.
Situasi
memanas setelah seorang pendemo Laode Kamaludin dari Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia (SBSI) dipukul dibagian kepalanya oleh aparat
keamanan. “Kami memang rencananya long march dan bertemu di sini. Tapi
ada provokasi dari pihak kepolisian. Kami dipukul Kapolres Jakarta
Pusat. Ini buktinya,” kata Laode sambil menunjukkan luka lebam di
kepalanya.
Dia pun berencana akan mengadukan tindak kekerasan itu
ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. “Kami bersama teman-teman yang
lain akan melaporkan tindakan ini ke LBH Jakarta,” tandas Laode.
Setelah digebuk, massa buruh akhirnya menyerah. Mereka memilih meninggalkan lokasi dengan menggunakan Metro Mini yang disewanya.
Arus
lalu lintas menjadi padat karena kericuhan tersebut. Namun, hal
tersebut bisa diatasi oleh petugas yang berjaga di lokasi aksi
demonstrasi.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan buruh juga terjadi di
depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Aksi tersebut dilakukan
buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(KSBSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
Massa
yang telah berkumpul sejak pukul 14.00 WIB menolak kenaikan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang rencananya diputuskan pada
pertengahan bulan Juni ini. Buruh meminta untuk tidak menaikan harga BBM
bersubsidi, karena kebijakan pemerintah ini, akan berdampak buruk pada
44 Juta buruh formal yang ada di Indonesia.
Dengan didominasi
pakaian berwarna merah dan biru, buruh melakukan orasi-orasi diatas
mobil komando menggunakan speaker yang cukup kencang. Tak lama kemudian,
salah seorang dari massa buruh memanjat gerbang DPR dan memasang
spanduk besar bertuliskan ‘Upah Buruh Naik Wajar, BBM Naik Kurang Ajar’.
Selain itu spanduk-spanduk tuntutan menolak kenaikan harga BBM
juga disertakan dalam aksi kali ini. Seperti ‘BBM Naik Rakyat Sengsara,
BBM Naik=Buruh Sengsara, BBM Naik Kepentingan Pemilu 2014 dan lannya.
Setengah
jam melakukan orasi-orasi, buruh menggedor-gedor gerbang DPR sebagai
bentuk tuntutan mereka yang harus didengarkan oleh para anggota dewan.
“Sikap
kami menolak kenaikan harga BBM adalah menolak dengan keras apapun
alasannya,” tegas koordinator aksi Yanto Surya Dinata saat ditemui
Rakyat Merdeka di depan Gedung DPR, kemarin.
Lanjut dia, kenaikan
harga BBM dari Rp4500 menjadi Rp6500 /liter untuk premium akan membuat
daya beli masyarakat terutama buruh turun 30 persen dari kenaikan Upah
Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp500.000 hingga 700.000. Tentunya
kenaikan harga BBM memberatkan para buruh karena harga kebutuhan pokok
akan melambung tinggi.
“Buruh akan makin menderita dan akan bereaksi keras atas ketidakadilan karena kenaikan harga BBM,” kata dia lagi.
Menurutnya,
aksi ini baru pemanasan. Hanya ratusan buruh saja yang turun. Namun,
dirinya mengancam akan mengepung gedung DPR pada 17 Juni nanti dengan
ribuan buruh dan elemen lainnya menentang kenaikan harga BBM.
“Aksi ini merupakan pemanasan untuk menolak kenaikan BBM. Kami akan siapkan aksi yang lebih besar,” terangnya.
Usaha
pemerintah meringankan beban rakyat miskin atas kenaikan harga BBM
lewat bantuan langsung tunai (BLT) atau yang kini namanya telah
dimodifikasi menjadi bantuan langsung sementara untuk masyarakat (BLSM)
juga ditolak kaum buruh.
Aktivis buruh KSPSI Ferry Nurzali
mengatakan, kompensasi kenaikan BBM untuk rakyat miskin diantaranya
program BLSM, beras miskin (Raskin), Beasiswa Siswa Miskin (BSM),
Infrastruktur Daerah Miskin, dan program Keluarga Harapan (PKH) penuh
sarat nuansa dan kepentingan politis oleh sekelompok partai menjelang
pemilu 2014.
Menurutnya, alasan pemerintah menaikan harga BBM,
kata dia, adalah bukti dari kegagalan pemerintah dalam mengelola
keuangan negara yang menyebabkan negara Indonesia bangkrut. Lanjutnya,
pemerintah gagal dalam mengoptimalkan potensi pajak, dari 60 juta orang
dengan penghasilan kena pajak, baru sekitar 8.8 juta atau 14,7 persen
yang membayar pajaknya.
“Penerimaan pajak penghasilan (pph) turun
dari Rp584.9 Trilyun jadi Rp530.7 Trilyun (Rp 54.1 Trilyun) ditambah
kasus korupsi yang terjadi di Dirjen Pajak,” katanya.
Selain itu,
kegagalan negara dalam pengelolaan sumber energi dan pemerintah dalam
menjalankan sistem perpolitikan yang mengatasnamakan demokrasi telah
menghamburkan keuangan negara.
Pemerintah Didesak Ratifikasi Konvensi ILO 189
Tidak Ada Payung Hukum, Nasib PRT Terus Terindas
Peringatan
Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Sedunia rupanya belum bisa dirayakan
PRT di Indonesia. Pasalnya, payung hukum untuk melindungi PRT di
Indonesia belum ada.
Sampai saat ini, Indonesia belum juga
meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT dan juga
belum mempunyai Undang-Undang yang mengatur perlindungan bagi PRT.
Disisi lain, mayoritas Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah perempuan,
bekerja sebagai PRT, dan tidak mendapatkan perlindungan yang layak dari
negara.
Untuk itu, aktivis Solidaritas Perempuan, Dinda
Nuurannisaa Yura mendesak pemerintah agar membuat aturan yang melindungi
PRT dengan meratifikasi Konvensi ILO 189. Menurutnya, paradigma PRT
dianggap sebagai kelompok subordinat yang bisa disuruh melakukan apapun
dengan gaji yang sangat minim.
“Harus dibentuk paradigma baru
karena negara wajiban negara memberi perlindungan kepada PRT. Hukum bisa
menjadi alat perubahan sosial, dengan adanya payung hukum maka
perlakuan kepada PRT di rumah tangga perorangan juga akan berubah,” kata
Dinda dalam konferensi pers ‘Peringatan Hari Pekerja Sedunia’ di kantor
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di
Jakarta, kemarin.
Berdasarkan temuan di lapangan, banyak terjadi
kasus kekerasan fisik dan pelanggaran ketenagakerjaan terhadap PRT.
Pekerjaan sebagai PRT berawal dari situasi kemiskinan, sehingga PRT dari
desa dengan pendidikan yang rendah harus bekerja ke kota untuk
menghidupi keluarganya.
“Dalam Konvensi ILO 189 terdapat
pengakuan atas hak-hak PRT, sementara di Indonesia UU Perlindungan PRT
terkatung-katung selama 10 tahun di DPR, ini sungguh mengecewakan selain
belum adanya langkah-langkah pemerintah dan DPR untuk ratifikasi
Konvensi ILO tersebut,” katanya.
Ketua Serikat Buruh Migran
Indonesia (SBMI) Nisma Abdullah menceritakan, TKI yang bekerja sebagai
PRT juga tidak mendapatkan perlindungan yang layak. “ Kami punya bukti
perlakuan pemerintah lewat Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI)
terhadap buruh migran, mereka tidak melayani buruh migran yang datang ke
KJRI,” ketusnya.
Menurutnya, pada kasus kerusuhan di KJRI
Jeddah para buruh migran bukan kecewa pada ramainya antrian melainkan
karena harus bolak balik ke kedutaan besar dan imigrasi. “Mereka sudah
capek dan ongkos sudah tidak ada, untuk mengurus Surat Perjalanan
Laksana Paspor (SPLP) itu mereka sudah antri sejak jam 4 pagi bahkan
siangnya suhu disana bisa mencapai 45 derajat celcius,” ungkapnya.
Menurutnya,
para TKI sengaja dilayani secara ogah-ogahan oleh pihak KJRI agar TKI
mau mengeluarkan uang lebih untuk pengurusan dokumen tersebut.
Komisioner
Komnas Perempuan, Agustinus Supriyanto, mengatakan Komnas Perempuan
tetap mengingatkan pemerintah agar melaksanakan komitmennya untuk
melindungi PRT. “Pemerintah diharapkan mengakui PRT supaya derajatnya
terangkat dan memberi kepastian hubungan kerja antara PRT dan majikan.
Melalui peringatan hari PRT sedunia ini pemerintah dan DPR harus ambil
langkah kongkret terkait UU Perlindungan PRT,” katanya.
Aktivis Yakin Kesalahan Bukan Di Pekerja Imigran
78 TKI Mau Dideportasi Dari Jeddah
Rencana
pemerintah mendeportasi 78 orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terkait
kekisruhan di KJRI Jeddah, Arab Saudi pekan lalu, mendapat reaksi
negatif dari aktivis. Menurutnya, pemerintah dianggap tidak bertanggung
jawab terhadap warganya.
Hal itu disampaikan Koordinator Jaringan
Advokasi Revisi Undang Undang Penempatan dan Perlindungan TKI Luar
Negeri (JARI-PPTKILN) Nurus S Mufidah kepada Rakyat Merdeka di Jakarta,
kemarin. Menurutnya, pemulangan ini seakan-akan membuat pekerja migrant
bersalah.
Bahkan, kata Nurus, pemerintah tidak usah repot
mencari provokator atau dalang dalam kerusuhan para TKI di KJRI di
Jeddah, Arab Saudi. Apalagi sampai menyalahkan pekerja migrant. Sebab,
yang menjadi provokator adalah pemerintah sendiri yang tidak melakukan
pengawasan terhadap ribuan TKI yang habis masa kontraknya dan jamaah
umrah yang mestinya cepat pulang.
“Pemerintah tidak usah teriak
menuding dan mencari provokatornya. Soalnya, provokatornya ya pemerintah
sendiri. Kalau urusan TKI, ya, Menteri Tenaga Kerja dan BNP2TKI, kalau
yang umrah ya Menteri Agama dan jajarannya,” tegasnya.
Menurutnya,
78 pekerja migrant yang dianggap bersalah karena memang pemerintah
Indonesia tidak memberi pengawasan terhadap warga negara Indonesia yang
telah habis masa kontrak kerjanya di Arab Saudi. Pekerja ribut dan
membuat rusuh memang KJRI yang tidak memberi pelayanan dengan cepat
dalam rangka mendapatkan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) untuk
dokumen dalam rangka pengampunan (Amnesti) dari Arab Saudi.
Namun,
masalah hulunya adalah di sektor ketenagakerjaan yang tidak punya
kebijakan dan tindakan tepat dan cepat. Di Arab Saudi ada 123 ribu orang
overstay (masa izin tinggal kadaluwarsa) dan habis kontrak kerjanya.
Menurut data Kementerian Luar Negeri RI, dari 123 ribu itu, 71 persen
(88 ribu) berasal dari TKI, dan 28 persen (33 ribu) mereka yang habis
menjalankan umrah.
“Seharusnya, Menakertrans punya data berapa
TKI yang habis masa kerjanya. Ini sudah sampai dua tahun kok tidak ada
tindakan, maka tidak heran kalau kemudian muncul masalah,” katanya.
Dia
menilai, kalau memang ingin mendeportasi harus dilihat dulu
kesalahannya. Jangan tiba-tiba pemerintah harus mengalah lagi karena
sikap dari pemerintahan Arab Saudi.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri
Marty Natalegawa mengatakan, sebanyak 78 TKI yang ditahan terkait
insiden kerusuhan di KJRI di Jeddah, Arab Saudi, akan dideportasi ke
Tanah Air sebagai konsekuensi tindakan hukum yang menjerat mereka.
“Hal
itu merupakan konsekuensi paling ringan yang mereka hadapi, jangankan
di luar negeri, siapapun yang melakukan tindakan melanggar hukum di
Tanah Air tentunya akan mendapat konsekuensi hukum,” kata.
Koalisi Laporkan Kasus Sumber Daya Alam Ke KPK
Soroti Korupsi Di Sektor Kehutanan
Beberapa
aktivis yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan mendatangi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta,
kemarin.
Mereka laporkan dugaan korupsi di sektor Sumber Daya
Alam (SDA) dalam hal ini kehutanan, perkebunan dan pertambangan.
Kedatangan mereka diterima dua pimpinan KPK Zulkarnaen dan Busyro
Muqoddas.
Salah seorang anggota koalisi, Zenzi Suhadi menyatakan,
laporan yang diberikan ke KPK mencapai triliunan rupiah. “Tadi kita
sudah ketemu dengan pimpinan di KPK. Ada lima kasus yang kita laporkan
sudah munculkan angka kerugian negara senilai Rp 1,9 triliun,” kata
Zenzi.
Zenzi yang merupakan Eksekutif Kampanye Hutan Perkebunan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ini mengungkapkan, dalam
datanya terdapat sekitar 1.508 perusahan kehutanan dan tambang
beroperasi di kawasan hutan. Juga ada 1.017 perusahaan perkebunan
membuka usaha di hutan. Angka kerugian negara itu kata Zenzi bagai
gunung es karena angka Rp 1,9 triliun belum termasuk 2000 izin lain di
kawasan hutan.
“Selain melaporkan lima kasus itu kami juga
menyampaikan lain korupsi sektor SDA, salah satunya review kawasan hutan
yang mencapai 12.5 juta hektar,” ungkapnya.
Selain itu, mereka juga
menyampaikan bagaimana dugaan terjadinya penyimpangan pengelolaan
pemanfaatan hutan terjadi jelang Pemilu 2012.
“Tren 2009 angka
pengeluaran izin tambang batu bara dan perkebunan itu lebih 200 persen.
Itu harus diantisipasi jelang Pemilu 2014 karena kita melihat prosesi
politik di nasional menjadi katalis pengusaha untuk merampas SDA di
Indonesia,” tuturnya.
Namun kali ini yang mereka laporkan hanya
di tiga sektor SDA, kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Modusnya
mulai dari dugaan suap penerbitan izin pertambangan, dugaan korupsi
sektor perkebunan dan di sektor kehutanan yang berpusar dalam
penyalahgunaan wewenang serta penyuapan.
“Aktornya ada tiga
menteri dan mantan menteri. Ada kepala daerah dan mantan kepala daerah,
pejabat kementerian, pejabat lingungan daerah dan direktur perusahaan.
Semuanya ada 16 aktor,” tandasnya.
Sementara itu, peneliti ICW
Tama S Langkun mengatakan, dugaan korupsi itu dari hasil investigas di
tiga provinsi pada 2012-2013. Investigasi dilakukan di Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, dan Sumatra Selatan. Menurut Tama, sedikitnya ada
lima dugaan korupsi. Lima kasus yang dilaporkan memunculkan angka
kerugian negara sebesar Rp1,9 triliun.
Menurut dia, korupsi
sumber daya alam banyak terjadi menjelang pemilu. “Angkanya jelang
Pemilu makin meningkat. Itu yang harus diantisipasi,” katanya. [Harian
Rakyat Merdeka]
Untuk itu, kata dia, Koalisi melaporkan sejumlah
pihak dan sektor terkait dalam dugaan korupsi tersebut. Koalisi
antimafia hutan ini terdiri dari Walhi, Sumsel, KBH Sumsel, Jatam
Kaltim, Gemawan, Yayasan Titian, Walhi, ICW, ELSAM dan sejumlah LSM
lingkungan lain. [Harian Rakyat Merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar