Senin, 17 Juni 2013

Di Kantor Pertamina Ricuh, Demonstran Dipukul Mundur

RMOL. Gelombang untuk rasa menolak rencana pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terus berlanjut. Kali ini, Kantor Pusat Pertamina di Jalan Medan Merdeka Timur menjadi sasaran demonstrasi. Bahkan, aksi unjuk rasa tersebut berujung ricuh.

Aksi baku hantam tersebut terjadi antara puluhan pendemo yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jakarta Tolak Kenaikan Harga BBM dengan petugas kepolisian.

Kericuhan tersebut berawal saat massa membakar ban bekas di depan gerbang Gedung Pertamina, sekitar pukul 13.50 WIB. Aksi itu lantas membuat macet lalu lintas dari Jalan Merdeka Timur menuju Lapangan Banteng.

Kemudian, saat massa memaksa masuk gedung Pertamina, mereka dipukul balik oleh puluhan petugas polisi dari Polres Jakarta Pusat dan Polsek Gambir. Aksi saling pukul pun tak terhindarkan. Akibatnya, sejumlah buruh luka. Satu di antaranya mengalami pecah bibir. Darah segar mengalir dari bibir yang baru saja dihantam aparat.

Situasi memanas setelah seorang pendemo Laode Kamaludin dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dipukul dibagian kepalanya oleh aparat keamanan. “Kami memang rencananya long march dan bertemu di sini. Tapi ada provokasi dari pihak kepolisian. Kami dipukul Kapolres Jakarta Pusat. Ini buktinya,” kata Laode sambil menunjukkan luka lebam di kepalanya.

Dia pun berencana akan mengadukan tindak kekerasan itu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. “Kami bersama teman-teman yang lain akan melaporkan tindakan ini ke LBH Jakarta,” tandas Laode.

Setelah digebuk, massa buruh akhirnya menyerah. Mereka memilih meninggalkan lokasi dengan menggunakan Metro Mini yang disewanya.

Arus lalu lintas menjadi padat karena kericuhan tersebut. Namun, hal tersebut bisa diatasi oleh petugas yang berjaga di lokasi aksi demonstrasi.

Aksi unjuk rasa yang dilakukan buruh juga terjadi di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Aksi tersebut dilakukan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).

Massa yang telah berkumpul sejak pukul 14.00 WIB menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi  yang rencananya diputuskan pada pertengahan bulan Juni ini. Buruh meminta untuk tidak menaikan harga BBM bersubsidi, karena kebijakan pemerintah ini, akan berdampak buruk pada 44 Juta buruh formal yang ada di Indonesia.

Dengan didominasi pakaian berwarna merah dan biru, buruh melakukan orasi-orasi diatas mobil komando menggunakan speaker yang cukup kencang. Tak lama kemudian, salah seorang dari massa buruh memanjat gerbang DPR dan memasang spanduk besar bertuliskan ‘Upah Buruh Naik Wajar, BBM Naik Kurang Ajar’.

Selain itu spanduk-spanduk tuntutan menolak kenaikan harga BBM juga disertakan dalam aksi kali ini. Seperti ‘BBM Naik Rakyat Sengsara, BBM Naik=Buruh Sengsara, BBM Naik Kepentingan Pemilu 2014 dan lannya.

Setengah jam melakukan orasi-orasi, buruh menggedor-gedor gerbang DPR sebagai bentuk tuntutan mereka yang harus didengarkan oleh para anggota dewan.

“Sikap  kami menolak kenaikan harga BBM adalah menolak dengan keras apapun alasannya,” tegas koordinator aksi Yanto Surya Dinata saat ditemui Rakyat Merdeka di depan Gedung DPR, kemarin.

Lanjut dia, kenaikan harga BBM dari Rp4500 menjadi Rp6500 /liter untuk premium akan membuat daya beli masyarakat terutama buruh turun 30 persen dari kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp500.000 hingga 700.000. Tentunya kenaikan harga BBM memberatkan para buruh karena harga kebutuhan pokok akan melambung tinggi.

“Buruh akan makin menderita dan akan bereaksi keras atas ketidakadilan karena kenaikan harga BBM,” kata dia lagi.

Menurutnya, aksi ini baru pemanasan. Hanya ratusan buruh saja yang turun. Namun, dirinya mengancam akan mengepung gedung DPR pada 17 Juni nanti dengan ribuan buruh dan elemen lainnya menentang kenaikan harga BBM.

“Aksi ini merupakan pemanasan untuk menolak kenaikan BBM. Kami akan siapkan aksi yang lebih besar,” terangnya.

Usaha pemerintah meringankan beban rakyat miskin atas kenaikan harga BBM lewat bantuan langsung tunai (BLT) atau yang kini namanya telah dimodifikasi menjadi bantuan langsung sementara untuk masyarakat (BLSM) juga ditolak kaum buruh.

Aktivis buruh KSPSI Ferry Nurzali mengatakan, kompensasi kenaikan BBM untuk rakyat miskin diantaranya program BLSM, beras miskin (Raskin), Beasiswa Siswa Miskin (BSM), Infrastruktur Daerah Miskin, dan program Keluarga Harapan (PKH) penuh sarat nuansa dan kepentingan politis oleh sekelompok partai menjelang pemilu 2014.

Menurutnya, alasan pemerintah menaikan harga BBM, kata dia, adalah bukti dari kegagalan pemerintah dalam mengelola keuangan negara yang menyebabkan negara Indonesia bangkrut. Lanjutnya, pemerintah gagal dalam mengoptimalkan potensi pajak, dari 60 juta orang dengan penghasilan kena pajak, baru sekitar 8.8 juta atau 14,7 persen yang membayar pajaknya.

“Penerimaan pajak penghasilan (pph) turun dari Rp584.9 Trilyun jadi Rp530.7 Trilyun (Rp 54.1 Trilyun) ditambah kasus korupsi yang terjadi di Dirjen Pajak,” katanya.

Selain itu, kegagalan negara dalam pengelolaan sumber energi dan pemerintah dalam menjalankan sistem perpolitikan yang mengatasnamakan demokrasi telah menghamburkan keuangan negara.

Pemerintah Didesak Ratifikasi Konvensi ILO 189
Tidak Ada Payung Hukum, Nasib PRT Terus Terindas

Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Sedunia rupanya belum bisa dirayakan PRT di Indonesia. Pasalnya, payung hukum untuk melindungi PRT di Indonesia belum ada.

Sampai saat ini, Indonesia belum juga meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT dan juga belum mempunyai Undang-Undang yang mengatur perlindungan bagi PRT. Disisi lain, mayoritas Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah perempuan, bekerja sebagai PRT, dan tidak mendapatkan perlindungan yang layak dari negara.

Untuk itu, aktivis Solidaritas Perempuan, Dinda Nuurannisaa Yura mendesak pemerintah agar membuat aturan yang melindungi PRT dengan meratifikasi Konvensi ILO 189. Menurutnya, paradigma PRT dianggap sebagai kelompok subordinat yang bisa disuruh melakukan apapun dengan gaji yang sangat minim.

“Harus dibentuk paradigma baru karena negara wajiban negara memberi perlindungan kepada PRT. Hukum bisa menjadi alat perubahan sosial, dengan adanya payung hukum maka perlakuan kepada PRT di rumah tangga perorangan juga akan berubah,” kata Dinda dalam konferensi pers ‘Peringatan Hari Pekerja Sedunia’ di kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Jakarta, kemarin.

Berdasarkan temuan di lapangan, banyak terjadi kasus kekerasan fisik dan pelanggaran ketenagakerjaan terhadap PRT. Pekerjaan sebagai PRT berawal dari situasi kemiskinan, sehingga PRT dari desa dengan pendidikan yang rendah harus bekerja ke kota untuk menghidupi keluarganya.

“Dalam Konvensi ILO 189 terdapat pengakuan atas hak-hak PRT, sementara di Indonesia UU Perlindungan PRT terkatung-katung selama 10 tahun di DPR, ini sungguh mengecewakan selain belum adanya langkah-langkah pemerintah dan DPR untuk ratifikasi Konvensi ILO tersebut,” katanya.

Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Nisma Abdullah menceritakan, TKI yang bekerja sebagai PRT juga tidak mendapatkan perlindungan yang layak. “ Kami punya bukti perlakuan pemerintah lewat Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) terhadap buruh migran, mereka tidak melayani buruh migran yang datang ke KJRI,” ketusnya.

Menurutnya, pada kasus kerusuhan di KJRI Jeddah para buruh migran bukan kecewa pada ramainya antrian melainkan karena harus bolak balik ke kedutaan besar dan imigrasi. “Mereka sudah capek dan ongkos sudah tidak ada, untuk mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) itu mereka sudah antri sejak jam 4 pagi bahkan siangnya suhu disana bisa mencapai 45 derajat celcius,” ungkapnya.

Menurutnya, para TKI sengaja dilayani secara ogah-ogahan oleh pihak KJRI agar TKI mau mengeluarkan uang lebih untuk pengurusan dokumen tersebut.

Komisioner Komnas Perempuan, Agustinus Supriyanto, mengatakan Komnas Perempuan tetap mengingatkan pemerintah agar melaksanakan komitmennya untuk melindungi PRT. “Pemerintah diharapkan mengakui PRT supaya derajatnya terangkat dan memberi kepastian hubungan kerja antara PRT dan majikan. Melalui peringatan hari PRT sedunia ini pemerintah dan DPR harus ambil langkah kongkret terkait UU Perlindungan PRT,” katanya.

Aktivis Yakin Kesalahan Bukan Di Pekerja Imigran
78 TKI Mau Dideportasi Dari Jeddah

Rencana pemerintah mendeportasi 78 orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terkait kekisruhan di KJRI Jeddah, Arab Saudi pekan lalu, mendapat reaksi negatif dari aktivis. Menurutnya, pemerintah dianggap tidak bertanggung jawab terhadap warganya.

Hal itu disampaikan Koordinator Jaringan Advokasi Revisi Undang Undang Penempatan dan Perlindungan TKI Luar Negeri (JARI-PPTKILN) Nurus S Mufidah kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin. Menurutnya, pemulangan ini seakan-akan membuat pekerja migrant bersalah.

Bahkan, kata Nurus, pemerintah tidak usah repot mencari provokator atau dalang dalam kerusuhan para TKI di KJRI di Jeddah, Arab Saudi. Apalagi sampai menyalahkan pekerja migrant. Sebab, yang menjadi provokator adalah pemerintah sendiri yang tidak melakukan pengawasan terhadap ribuan TKI yang habis masa kontraknya dan jamaah umrah yang mestinya cepat pulang.

“Pemerintah tidak usah teriak menuding dan mencari provokatornya. Soalnya, provokatornya ya pemerintah sendiri. Kalau urusan TKI, ya, Menteri Tenaga Kerja dan BNP2TKI, kalau yang umrah ya Menteri Agama dan jajarannya,” tegasnya.

Menurutnya, 78 pekerja migrant yang dianggap bersalah karena memang pemerintah Indonesia tidak memberi pengawasan terhadap warga negara Indonesia yang telah habis masa kontrak kerjanya di Arab Saudi. Pekerja ribut dan membuat rusuh memang KJRI yang tidak memberi pelayanan dengan cepat dalam rangka mendapatkan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) untuk dokumen dalam rangka pengampunan (Amnesti) dari Arab Saudi.

Namun, masalah hulunya adalah di sektor ketenagakerjaan yang tidak punya kebijakan dan tindakan tepat dan cepat. Di Arab Saudi ada 123 ribu orang overstay (masa izin tinggal kadaluwarsa) dan habis kontrak kerjanya. Menurut data Kementerian Luar Negeri RI, dari 123 ribu itu, 71 persen (88 ribu) berasal dari TKI, dan 28 persen (33 ribu) mereka yang habis menjalankan umrah.

“Seharusnya, Menakertrans punya data berapa TKI yang habis masa kerjanya. Ini sudah sampai dua tahun kok tidak ada tindakan, maka tidak heran kalau kemudian muncul masalah,” katanya.

Dia menilai, kalau memang ingin mendeportasi harus dilihat dulu kesalahannya. Jangan tiba-tiba pemerintah harus mengalah lagi karena sikap dari pemerintahan Arab Saudi.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, sebanyak 78 TKI yang ditahan terkait insiden kerusuhan di KJRI di Jeddah, Arab Saudi, akan dideportasi ke Tanah Air sebagai konsekuensi tindakan hukum yang menjerat mereka.

“Hal itu merupakan konsekuensi paling ringan yang mereka hadapi, jangankan di luar negeri, siapapun yang melakukan tindakan melanggar hukum di Tanah Air tentunya akan mendapat konsekuensi hukum,” kata.

Koalisi Laporkan Kasus Sumber Daya Alam Ke KPK
Soroti Korupsi Di Sektor Kehutanan

Beberapa aktivis yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, kemarin.

Mereka laporkan dugaan korupsi di sektor Sumber Daya Alam (SDA) dalam hal ini kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Kedatangan mereka diterima dua pimpinan KPK Zulkarnaen dan Busyro Muqoddas.

Salah seorang anggota koalisi, Zenzi Suhadi menyatakan, laporan yang diberikan ke KPK mencapai triliunan rupiah. “Tadi kita sudah ketemu dengan pimpinan di KPK. Ada lima kasus yang kita laporkan sudah munculkan angka kerugian negara senilai Rp 1,9 triliun,” kata Zenzi.

Zenzi yang merupakan Eksekutif Kampanye Hutan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ini mengungkapkan, dalam datanya terdapat sekitar 1.508 perusahan kehutanan dan tambang beroperasi di kawasan hutan. Juga ada 1.017 perusahaan perkebunan membuka usaha di hutan. Angka kerugian negara itu kata Zenzi bagai gunung es karena angka Rp 1,9 triliun belum termasuk 2000 izin lain di kawasan hutan.

“Selain melaporkan lima kasus itu kami juga menyampaikan lain korupsi sektor SDA, salah satunya review kawasan hutan yang mencapai 12.5 juta hektar,” ungkapnya.
Selain itu, mereka juga menyampaikan bagaimana dugaan terjadinya penyimpangan pengelolaan pemanfaatan hutan terjadi jelang Pemilu 2012.

“Tren 2009 angka pengeluaran izin tambang batu bara dan perkebunan itu lebih 200 persen. Itu harus diantisipasi jelang Pemilu 2014 karena kita melihat prosesi politik di nasional menjadi katalis pengusaha untuk merampas SDA di Indonesia,” tuturnya.

Namun kali ini yang mereka laporkan hanya di tiga sektor SDA, kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Modusnya mulai dari dugaan suap penerbitan izin pertambangan, dugaan korupsi sektor perkebunan dan di sektor kehutanan yang berpusar dalam penyalahgunaan wewenang serta penyuapan.

“Aktornya ada tiga menteri dan mantan menteri. Ada kepala daerah dan mantan kepala daerah, pejabat kementerian, pejabat lingungan daerah dan direktur perusahaan. Semuanya ada 16 aktor,” tandasnya.

Sementara itu, peneliti ICW Tama S Langkun mengatakan, dugaan korupsi itu dari hasil investigas di tiga provinsi pada 2012-2013. Investigasi dilakukan di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatra Selatan. Menurut Tama, sedikitnya ada lima dugaan korupsi. Lima kasus yang dilaporkan memunculkan angka kerugian negara sebesar Rp1,9 triliun.

Menurut dia, korupsi sumber daya alam banyak terjadi menjelang pemilu. “Angkanya jelang Pemilu makin meningkat. Itu yang harus diantisipasi,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Untuk itu, kata dia, Koalisi melaporkan sejumlah pihak dan sektor terkait dalam dugaan korupsi tersebut. Koalisi antimafia hutan ini terdiri dari Walhi, Sumsel, KBH Sumsel, Jatam Kaltim, Gemawan, Yayasan Titian, Walhi, ICW, ELSAM dan sejumlah LSM lingkungan lain. [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar