Liputan6.com, Jakarta - Banyak pihak menilai alarm bahaya
tengah mengintai KPK saat ini. KPK terancam bubar. Sangat terbuka
kemungkinan, para koruptor yang masih bebas menghisap uang negara
tertawa senang. Karena, jika KPK bubar maka pemberantasan korupsi bukan
tak mungkin akan tepar.
Peringatan terhadap KPK sejatinya sudah
ada sejak dulu. Sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sudah muncul isu-isu pelemahan KPK. Salah satunya dari
revisi UU KPK. Kini pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, KPK tak
lagi digoncang dengan pelemahan, tetapi sudah menjurus pada upaya
pembubaran.
"Kalau dibilang pelemahan terlalu ringan. Ini upaya pembubaran. Ada potensinya," ujar mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Minggu 24 Januari 2015.
Jimly tentu tak asal bunyi. Setidaknya ada 5 indikasi yang berpotensi pembubaran KPK yang dihimpun Liputan6.com.
Pertama, Wakil Ketua KPK Busyro Muqqodas habis masa tugasnya pada
Desember 2014. Proses pemilihan pengganti mantan Ketua Komisi Yudisial
(KY) itu berlarut-larut. Bahkan terkesan terbengkalai oleh Komisi III
DPR. Alhasil, KPK cuma punya 4 kepala: Abraham Samad, Bambang
Widjojanto, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnaen.
Indikasi kedua,
yaitu saat pergantian tahun pergantian pula isu pergunjingan terhadap
pimpinan KPK lainnya. Pada pekan awal Januari 2015, Samad digoncang isu
tak sedap. Foto-foto yang diduga mirip Samad tengah bermesraan dengan seorang wanita.
Belum kelar isu foto mesra dengan wanita yang diduga adalah Putri Indonesia 2014, muncul indikisi ketiga. Yaitu adanya tuduhan hasrat politik Samad
yang hendak mencalonkan diri sebagai cawapres Jokowi. Tuduhan itu
datang dari Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto
Kristiyanto. Samad dituding melakukan 6 kali pertemuan dengan petinggi
PDIP untuk menyalurkan hasrat politiknya.
Namun, hasrat politik
Samad itu terbentur batu sandungan. Sebab PDIP pada akhirnya memilih
Jusuf Kalla untuk mendampingi Jokowi bertarung di Pilpres 2014. Samad
dinilai meradang. Samad dituduh bahwa Komjen Budi Gunawan yang jadi batu
sandungan. Dan penetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK dianggap
sebagai balas dendam atas tidak tersalurkannya harsat politik Samad.
Samad
pun ramai-ramai didorong di-etik-kan. Sejumlah pihak meminta Dewan Etik
KPK turun tangan. Sebab Samad dianggap melanggar etika sebagai pimpinan
KPK karena 'terjun' ke perpolitikan.
Tanda keempat, hanya
berselang hitungan hari pimpinan KPK lain juga bermasalah. Bambang
Widjojanto atau BW ditangkap oleh Bareskrim Polri usai mengantar anaknya
ke sekolah di kawasan Depok, Jawa Barat, Jumat 23 Januari 2015 pagi. BW
kemudian menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri lalu ditetapkan
sebagai tersangka atas dugaan mengatur saksi-saksi memberi kesaksian
palsu di bawah sumpah di muka persidangan.
BW sendiri saat ini
tengah mengajukan surat pengunduran diri terkait status tersangkanya
tersebut. Surat itu diajukan dan diproses ke pimpinan KPK yang tersisa.
Dan
indikasi kelima muncul dari Adnan Pandu. Wakil Ketua KPK lainnya ini
dilaporkan ke Bareskrim Polri. Adnan dilaporkan atas tuduhan perampokan
perusahaan dan kepemilikan saham ilegal.
Jika surat pengunduran
diri BW dikabulkan atas statusnya sebagai tersangka, kemudian Samad juga
dicopot karena dianggap langgar etika, lalu proses hukum Adnan
berlanjut kemudian jadi tersangka dan harus dinonaktifkan atau mundur
pula, maka bisa apa KPK dengan tersisa 1 kepala saja: Zulkarnaen?
"Kalau sudah tinggal 1 pimpinan ya tentu KPK lumpuh," ujar Jimly.
Lalu
jika KPK lumpuh dan pada akhirnya dibubarkan, ada beberapa pertanyaan
yang wajib dikemukakan: bagaimana nasib pemberantasan korupsi di
Indonesia ke depannya? Dikembalikan ke Kepolisian dan Kejaksaan?
Bukankah KPK dibentuk karena alasan jelas, bahwa Kepolisian dan
Kejaksaan tak serius berantas korupsi secara menyeluruh?
Perseteruan lama itu kembali mencuat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dan Kepolisian RI. Polemik 2 institusi hukum itu selama ini tak jarang
menimbulkan intrik dan konflik. Tak cuma melibatkan para pejabat KPK dan
Polri, tetapi juga mereka yang berada di luar kedua lembaga.
Polemik memanas yang terjadi pada bulan pertama 2015 itu diawali dari penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto
oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Pria berjanggut yang
karib disapa BW itu kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Sangkaannya
mengatur saksi-saksi untuk memberi kesaksian palsu terkait Pilkada
Kotawaringin Barat 2010 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Penangkapan
dan penetapan BW itu dilakukan tak lama setelah KPK menetapkan calon
tunggal Kapolri Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan sebagai tersangka.
Budi diduga menerima hadiah atau janji terkait transaksi mencurigakan.
Setelah
2 kejadian itu, situasi memanas. Kedua institusi sama-sama saling
menuding keras. Keduanya sama-sama mengklaim telah lakukan proses hukum
selaras. Baik untuk Budi oleh KPK, maupun Polri terhadap BW.
Polemik
memanas keduanya mengingatkan kita kembali pada kejadian 3 tahun lalu.
Pada 2012, saat penyidik KPK Komisaris Polisi Novel Baswedan hendak
ditangkap paksa oleh Bareskrim Polri atas tuduhan penganiayaan berat
saat masih bertugas di Polda Riau. Kejadian itu terjadi tak jauh
waktunya setelah KPK mengusut kasus dugaan korupsi Simulator SIM di
Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dengan tersangka mantan Kepala
Korlantas Polri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo.
Atau
kejadian terhadap BW dan Budi pada 2015 itu memaksa ingatan kita
kembali jauh sebelumnya. Tepatnya tahun 2009. Di mana 2 komisioner KPK
Bibit Samad Riyanto dan Chandra Marta Hamzah ditetapkan sebagai
tersangka lalu ditahan. Bibid-Chandra dituduh melanggar soal pencabutan
cegah-tangkal.
Penahanan Bibit-Chandra juga tak lama setelah KPK
melakukan penyadapan terhadap Kepala Bareskrim saat itu, Komjen Pol
Susno Duaji. Sang jenderal bintang 3 itu dituduh terlibat pencairan dana
nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna.
Perseteruan akibat
saling memproses terhadap Bibit-Chandra dan Susno sampai-sampai
dianalogikan sebagai cicak versus buaya oleh media. Kemudian cicak
versus buaya jilid II disematkan atas kejadian Novel Baswedan dan Djoko
Susilo. Kini polemik memanas dampak dari BW dan Budi saat ini kembali
distempel sebagai cicak versus buaya jilid III. (Ali/Mut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar