Kamis, 12 Februari 2015

Anak BG Pinjam Rp 57 M, Nyicil Rp 28 M, Sisanya...

TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Herviano Widyatama, anak Komisaris Jenderal Budi Gunawan, membetot perhatian publik hampir sebulan belakangan ini. Namanya kerap kali dihubungkan dengan dugaan kepemilikan rekening gendut milik Budi Gunawan pada 2010. Budi sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus gratifikasi dan dugaan suap terkait jabatannya di Markas Besar Kepolisian RI selama periode 2006-2010.

Jejak Herviano terang benderang sejak beredarnya dokumen hasil pemeriksaan Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri terhadap transaksi ganjil sebesar Rp 57 miliar di rekening Budi. Dokumen ini muncul saat Budi mengikuti uji kelayakan sebagai calon Kepala Polri di DPR, Rabu, 14 Januari 2015. Kepada tim penyelidik, Budi mengaku transaksi di rekening itu titipan Herviano. Saat diperiksa, Budi menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dengan pangkat inspektur jenderal.

Menurut Budi, arus dana di dalam rekeningnya berasal dari pinjaman yang dikucurkan oleh Pacific Blue International Limited pada 5 Juli 2005 kepada Herviano, yang ketika itu berusia 19 tahun. Kepada pemeriksanya, Herviano menjelaskan kredit Rp 57 miliar dari perusahaan asal Selandia baru itu untuk berbisnis pertambangan timah dan perhotelan. “Karena dana terbatas, saya meminta dukungan dari orang tua,” kata Herviano kepada Tim Bareskrim, 10 Juni 2010.

Budi lantas memperkenalkan Herviano kepada Lo Stefanus dan Robert Priantono Bonosusatya. Oleh Budi mereka diakui sebagai sobat lamanya. Belakangan diketahui Stefanus adalah pemilik sejumlah jaringan toko berlian seperti Frank and Co, Mondial Jewellery, dan Miss Mondial. Ada pun Robert adalah Presiden Komisaris PT Jasuindo Tiga Perkasa, perusahaan percetakan di Surabaya. Robert kemudian mempertemukan Herviano dan Budi kepada David Koh, kuasa direksi Pacific Blue.

Ringkas cerita, Herviano, yang saat itu berusia 19 tahun, meneken akad kredit pada 6 Juli 2005 di depan David Koh. David mengucurkan US$ 5,9 juta atau setara Rp 57 miliar dengan kurs ketika itu Rp 9.700 per dolar. Pinjaman ini berbentuk tunai dalam rupiah. Berdasarkan akad kredit, pinjaman berlaku tiga tahun mulai 6 Juli dan berakhir pada 5 Juli 2008 dengan tingkat bunga sesuai mekanisme Singapore Interbank Offered Rate (SIBOR) ditambah 2 persen, yang dibayar per bulan.

Seperti yang tergambar dalam dokumen tersebut, Herviano tak serta merta mengucurkan pinjamannya sesuai maksud perjanjian bisnisnya dengan Pacific Blue. Barulah lima bulan berselang dana ini diinvestasikan. Tercatat, investasi pertama Herviano sebesar Rp 2 miliar pada 15 Desember 2005. Namun, bukan di bisnis tambang atau hotel, melainkan pembelian surat berharga, yang disusul tiga pembelian lagi senilai Rp 6 miliar pada Agustus 2006. Sehingga total investasi Rp 8 miliar.

Investasi di bidang perhotelan baru terwujud nyaris dua tahun setelah akad kredit yang diteken pada 6 Juli 2005. Dalam laporannya, Tim Bareskrim menyebutkan Herviano terekam mengeluarkan dana untuk mendirikan Hotel The Palais Dago, Bandung, senilai Rp 17,68 miliar dalam 12 transaksi. Transaksi pertama terjadi April 2007 dengan total Rp 7 miliar. Pengucuran modal terakhir untuk The Palais terjadi pada 6 Juni 2008, sebulan sebelum kerja sama dengan Pacific Blue berakhir.

 Herviano terus mengepakkan sayap bisnisnya. Kali ini ia menggelontorkan fulus kepada PT Sumber Jaya Indah, perusahaan pertambangan timah yang terdaftar di Pangkalpinang, Bangka Belitung, sebanyak Rp 10 miliar lebih melalui PT Mitra Abadi Berkatindo. Di PT Mitra, Herviano berpatungan dengan tiga pengusaha lain, salah satunya dengan Lo Stefanus, teman ayahnya. Di sini, Herviano menguasai 20 persen saham, dan Stefanus memiliki andil 40 persen saham.

Dana sebanyak Rp 10 miliar untuk PT Sumber dikucurkan dalam empat tahap, yakni selama 23 Mei 2007 hingga 18 Desember 2007. Belakangan, kerja sama kedua perusahaan ini ditutup pada November 2007, seperti pengakuan Yuliana, staf keuangan PT Sumber kepada Tim Bareskrim, 1 Juni 2010. Yuliana pun mengaku sudah mengembalikan modal Herviano sebesar Rp 10 miliar lewat setoran tunai di BCA pada 8 Oktober dan 26 November 2007.

Total investasi yang dikucurkan Herviano sejak Januari 2006 hingga Juni 2008 mencapai Rp 35,68 miliar, yang terdiri atas pembelian surat berharga Rp 8 miliar, modal The Palais Rp 17,68 miliar, dan dana bisnis tambang timah sebanyak Rp 10 miliar. Sehingga masih tersisa dana Rp 15 miliar dari kredit Rp 57 miliar yang dikucurkan oleh Pacific Blue. Tapi, dokumen 17 halaman itu tidak merinci ke kemana saja sisa dana pinjaman tersebut mengalir hingga hasil pemeriksaan pada 18 Juni 2010.

Herviano agaknya bukan peminjam yang baik. Herviano, demikian kata dokumen itu, baru menyicil utang pokok dan bunganya pertama kali sebesar Rp 1 miliar pada 18 Januari 2006, atau molor lebih setengah tahun dari perjanjian yang diteken pada 6 Juli 2005. Isi perjanjian itu salah satunya mensyaratkan cicilan pokok plus bunga 2 persen dibayar per bulan hingga 5 Juli 2008. Pembayaran kedua sebanyak Rp 551 juta baru disetorkan Herviano tiga bulan setelah cicilan pertama.

Setidaknya, tercatat 31 transaksi penarikan di sejumlah rekening BCA milik Budi Gunawan dan Herviano sejak Januari 2006 hingga Juni 2008 untuk pembayaran utang pokok dan bunga pinjaman dengan total Rp 28,5 miliar. Jumlah cicilan bervariasi, mulai paling mini Rp 150 juta pada 22 Januari 2008, hingga setoran jumbo Rp 4 miliar pada 20 November 2007. Cicilan terakhir sebanyak Rp 750 juta dikirimkan pada 24 Juni 2008, dua pekan menjelang akad kredit usai.

Meski Herviano sudah menyicil pinjamannya senilai total Rp 28,5 miliar kepada Pacific Blue, dokumen hasil pemeriksaan itu tidak menyebutkan ke rekening siapa atau kepada siapa cicilan pokok dan bunga pinjaman dibayarkan. Dari delapan saksi yang diperiksa—mulai dari juragan berlian hingga pengusaha barang antik—Tim Bareskrim tak berhasil menghadirkan salah satu saksi kunci, David Koh, sehingga informasi status pembayaran bertambah temaram.

Pun, cicilan sebesar Rp 28,5 miliar itu belum menutupi total kredit Rp 57 miliar yang dikucurkan Pacific Blue sehingga masih ada sisa pinjaman pokok Rp 28,5 miliar plus bunga 2 persen per bulan yang belum disetorkan oleh Herviano. Sejak hasil pemeriksaan rekening milik Budi dilaporkan pada 18 Juni 2010 hingga tersebarnya dokumen itu di DPR pada 14 Januari 2015, Tim Bareskrim belum menjelaskan status sisa pinjaman sebesar Rp 28,5 miliar milik Herviano itu.

Ketika dikonfirmasi, Rabu malam, 11 Februari 2015, Komisaris Jenderal Purnawirawan Ito Sumardi belum menanggapi alasan ketidakhadiran David dalam pemeriksaan pada Juni 2010. Ito adalah Kepala Bareskrim saat proses pemeriksaan transaksi mencurigakan itu. Pekan lalu, dia menegaskan hasil pemeriksaan sudah dilengkapi dokumen yang valid. “Pak BG (Budi Gunawan) hanya mengawal anaknya yang belum matang dalam dunia bisnis,” kata Ito, yang kini duta besar di Myanmar.

Tempo berupaya meminta tanggapan David Koh, yang menurut dokumen Bareskrim berkantor di Level 2, The Public Trust Building, Moray Place, Dunedin, Selandia Baru. Ketika dihubungi, nomor kantornya tidak aktif. Laman Opencorporates.org menyebutkan, perusahaan yang berdiri pada 29 Juni 1999 itu tidak beroperasi lagi sejak 25 Februari 2013. Sekelumit jati diri David yang tercatat di Pacifi Blue hanya menyebut ia menjabat direktur sejak 23 Mei 2010. Sosok David tetap misteri.

Yanuar Rizky, analis independen yang 18 tahun bergelut di bidang keuangan dan investasi, mengatakan misteri sisa pinjaman bisa saja ditelusuri dengan mengusut laporan keuangan Pacific Blue, meski perusahaan ini sudah tutup pada Februari 2013. “Bisa dilihat lewat laporan keuangan terakhirnya per 31 Desember 2012, nanti akan jelas,” katanya. Tempo masih berusaha meminta laporan keuangan itu kepada otoritas Departemen Perdagangan Selandia Baru.

Ada pun KPK sudah mencurigai aliran transaksi janggal terkait kasus yang menjerat Budi. Wakil KPK, Bambang Widjojanto, menyatakan pihaknya sudah memblokir sejumlah aset milik Budi, terutama rekening di beberapa bank. Namun, ia enggan membocorkan nama bank dan jumlah rekening yang diblokir. Menurut Bambang, penyidik sudah mengetahui jumlah uang dan di bank mana saja Budi menyimpan duitnya. "Penyidik sudah menyita real time gross settlement (bukti transaksi).”

Bapak-anak, Budi dan Herviano, belum berhasil dikonfirmasi. Ketika mendatangi kediaman pribadinya di Duren Tiga Barat, Jakarta Selatan, Rabu, 11 Februari 2015, sejumlah personel Brigade Mobil sudah menghadang. “Ini daerah steril, dilarang mendekat," kata B. Setiawan, anggota Brimob yang berjaga, seraya membetulkan letak senapan serbu SS2 di bahunya. Permintaan wawancara ditolak mentah-mentah. "Perintahnya begitu, tidak boleh ada yang mendekat," kata Anggi, polisi yang lain.

Di hari yang sama, Budi Gunawan, lewat pengacaranya Razman Arif Nasution, kembali mengklaim bahwa transaksi Rp 57 miliar di rekeningnya adalah titipan Herviano. Duit itu, kata Razman, murni milik perusahaan Herviano yang digunakan sebagai modal bisnis. "Berbisnis kan tidak dilarang, itu semua uang perusahaan," ujar Razman. Menurut dia, kliennya dapat membuktikan bahwa aliran duit rekening Herviano sesuai dengan transaksi perusahaannya.

Razman pun menantang balik para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengecek transaksi-transaksi pribadi milik Herviano, yang kini berusia 29 tahun. Menurut Razman, sah-sah saja bila anak kliennya menjalankan usaha dan menangani transaksi perusahaannya. "Yang salah itu kalau ada uang yang mengalir untuk kepentingan jabatan-jabatan tertentu," ucap dia. "Kalau ada penyalahgunaan kepentingan, baru ada unsur pidananya."

Kubu Budi-Herviano terus-menerus menyangkal ada kejanggalan dalam aliran transaksi yang muncul di rekening mereka. Namun, hingga kini belum terjawab ke mana dan kepada siapa Herviano membayar cicilan dan sisa pinjamannya....

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA | LINDA TRIANITA | BC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar