TEMPO.CO, Jakarta
- Muhammad Herviano Widyatama, anak Komisaris Jenderal Budi Gunawan,
membetot perhatian publik hampir sebulan belakangan ini. Namanya kerap
kali dihubungkan dengan dugaan kepemilikan rekening gendut milik Budi
Gunawan pada 2010. Budi sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam kasus gratifikasi dan dugaan suap terkait
jabatannya di Markas Besar Kepolisian RI selama periode 2006-2010.
Jejak Herviano terang benderang sejak beredarnya dokumen hasil
pemeriksaan Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri terhadap transaksi
ganjil sebesar Rp 57 miliar di rekening Budi. Dokumen ini muncul saat
Budi mengikuti uji kelayakan sebagai calon Kepala Polri di DPR, Rabu, 14
Januari 2015. Kepada tim penyelidik, Budi mengaku transaksi di rekening
itu titipan Herviano. Saat diperiksa, Budi menjabat Kepala Divisi
Profesi dan Pengamanan Polri dengan pangkat inspektur jenderal.
Menurut Budi, arus dana di dalam rekeningnya berasal dari pinjaman yang
dikucurkan oleh Pacific Blue International Limited pada 5 Juli 2005
kepada Herviano, yang ketika itu berusia 19 tahun. Kepada pemeriksanya,
Herviano menjelaskan kredit Rp 57 miliar dari perusahaan asal Selandia
baru itu untuk berbisnis pertambangan timah dan perhotelan. “Karena dana
terbatas, saya meminta dukungan dari orang tua,” kata Herviano kepada
Tim Bareskrim, 10 Juni 2010.
Budi lantas memperkenalkan
Herviano kepada Lo Stefanus dan Robert Priantono Bonosusatya. Oleh Budi
mereka diakui sebagai sobat lamanya. Belakangan diketahui Stefanus
adalah pemilik sejumlah jaringan toko berlian seperti Frank and Co,
Mondial Jewellery, dan Miss Mondial. Ada pun Robert adalah Presiden
Komisaris PT Jasuindo Tiga Perkasa, perusahaan percetakan di Surabaya.
Robert kemudian mempertemukan Herviano dan Budi kepada David Koh, kuasa
direksi Pacific Blue.
Ringkas cerita, Herviano, yang saat itu
berusia 19 tahun, meneken akad kredit pada 6 Juli 2005 di depan David
Koh. David mengucurkan US$ 5,9 juta atau setara Rp 57 miliar dengan kurs
ketika itu Rp 9.700 per dolar. Pinjaman ini berbentuk tunai dalam
rupiah. Berdasarkan akad kredit, pinjaman berlaku tiga tahun mulai 6
Juli dan berakhir pada 5 Juli 2008 dengan tingkat bunga sesuai mekanisme
Singapore Interbank Offered Rate (SIBOR) ditambah 2 persen, yang
dibayar per bulan.
Seperti yang tergambar dalam dokumen
tersebut, Herviano tak serta merta mengucurkan pinjamannya sesuai maksud
perjanjian bisnisnya dengan Pacific Blue. Barulah lima bulan berselang
dana ini diinvestasikan. Tercatat, investasi pertama Herviano sebesar Rp
2 miliar pada 15 Desember 2005. Namun, bukan di bisnis tambang atau
hotel, melainkan pembelian surat berharga, yang disusul tiga pembelian
lagi senilai Rp 6 miliar pada Agustus 2006. Sehingga total investasi Rp 8
miliar.
Investasi di bidang perhotelan baru terwujud nyaris
dua tahun setelah akad kredit yang diteken pada 6 Juli 2005. Dalam
laporannya, Tim Bareskrim menyebutkan Herviano terekam mengeluarkan dana
untuk mendirikan Hotel The Palais Dago, Bandung, senilai Rp 17,68
miliar dalam 12 transaksi. Transaksi pertama terjadi April 2007 dengan
total Rp 7 miliar. Pengucuran modal terakhir untuk The Palais terjadi
pada 6 Juni 2008, sebulan sebelum kerja sama dengan Pacific Blue
berakhir.
Herviano terus mengepakkan sayap bisnisnya. Kali ini ia menggelontorkan
fulus kepada PT Sumber Jaya Indah, perusahaan pertambangan timah yang
terdaftar di Pangkalpinang, Bangka Belitung, sebanyak Rp 10 miliar lebih
melalui PT Mitra Abadi Berkatindo. Di PT Mitra, Herviano berpatungan
dengan tiga pengusaha lain, salah satunya dengan Lo Stefanus, teman
ayahnya. Di sini, Herviano menguasai 20 persen saham, dan Stefanus
memiliki andil 40 persen saham.
Dana sebanyak Rp 10 miliar
untuk PT Sumber dikucurkan dalam empat tahap, yakni selama 23 Mei 2007
hingga 18 Desember 2007. Belakangan, kerja sama kedua perusahaan ini
ditutup pada November 2007, seperti pengakuan Yuliana, staf keuangan PT
Sumber kepada Tim Bareskrim, 1 Juni 2010. Yuliana pun mengaku sudah
mengembalikan modal Herviano sebesar Rp 10 miliar lewat setoran tunai di
BCA pada 8 Oktober dan 26 November 2007.
Total investasi yang
dikucurkan Herviano sejak Januari 2006 hingga Juni 2008 mencapai Rp
35,68 miliar, yang terdiri atas pembelian surat berharga Rp 8 miliar,
modal The Palais Rp 17,68 miliar, dan dana bisnis tambang timah sebanyak
Rp 10 miliar. Sehingga masih tersisa dana Rp 15 miliar dari kredit Rp
57 miliar yang dikucurkan oleh Pacific Blue. Tapi, dokumen 17 halaman
itu tidak merinci ke kemana saja sisa dana pinjaman tersebut mengalir
hingga hasil pemeriksaan pada 18 Juni 2010.
Herviano agaknya
bukan peminjam yang baik. Herviano, demikian kata dokumen itu, baru
menyicil utang pokok dan bunganya pertama kali sebesar Rp 1 miliar pada
18 Januari 2006, atau molor lebih setengah tahun dari perjanjian yang
diteken pada 6 Juli 2005. Isi perjanjian itu salah satunya mensyaratkan
cicilan pokok plus bunga 2 persen dibayar per bulan hingga 5 Juli 2008.
Pembayaran kedua sebanyak Rp 551 juta baru disetorkan Herviano tiga
bulan setelah cicilan pertama.
Setidaknya, tercatat 31
transaksi penarikan di sejumlah rekening BCA milik Budi Gunawan dan
Herviano sejak Januari 2006 hingga Juni 2008 untuk pembayaran utang
pokok dan bunga pinjaman dengan total Rp 28,5 miliar. Jumlah cicilan
bervariasi, mulai paling mini Rp 150 juta pada 22 Januari 2008, hingga
setoran jumbo Rp 4 miliar pada 20 November 2007. Cicilan terakhir
sebanyak Rp 750 juta dikirimkan pada 24 Juni 2008, dua pekan menjelang
akad kredit usai.
Meski Herviano sudah menyicil pinjamannya
senilai total Rp 28,5 miliar kepada Pacific Blue, dokumen hasil
pemeriksaan itu tidak menyebutkan ke rekening siapa atau kepada siapa
cicilan pokok dan bunga pinjaman dibayarkan. Dari delapan saksi yang
diperiksa—mulai dari juragan berlian hingga pengusaha barang antik—Tim
Bareskrim tak berhasil menghadirkan salah satu saksi kunci, David Koh,
sehingga informasi status pembayaran bertambah temaram.
Pun,
cicilan sebesar Rp 28,5 miliar itu belum menutupi total kredit Rp 57
miliar yang dikucurkan Pacific Blue sehingga masih ada sisa pinjaman
pokok Rp 28,5 miliar plus bunga 2 persen per bulan yang belum disetorkan
oleh Herviano. Sejak hasil pemeriksaan rekening milik Budi dilaporkan
pada 18 Juni 2010 hingga tersebarnya dokumen itu di DPR pada 14 Januari
2015, Tim Bareskrim belum menjelaskan status sisa pinjaman sebesar Rp
28,5 miliar milik Herviano itu.
Ketika dikonfirmasi, Rabu malam, 11 Februari 2015, Komisaris Jenderal
Purnawirawan Ito Sumardi belum menanggapi alasan ketidakhadiran David
dalam pemeriksaan pada Juni 2010. Ito adalah Kepala Bareskrim saat
proses pemeriksaan transaksi mencurigakan itu. Pekan lalu, dia
menegaskan hasil pemeriksaan sudah dilengkapi dokumen yang valid. “Pak
BG (Budi Gunawan) hanya mengawal anaknya yang belum matang dalam dunia
bisnis,” kata Ito, yang kini duta besar di Myanmar.
Tempo
berupaya meminta tanggapan David Koh, yang menurut dokumen Bareskrim
berkantor di Level 2, The Public Trust Building, Moray Place, Dunedin,
Selandia Baru. Ketika dihubungi, nomor kantornya tidak aktif. Laman
Opencorporates.org menyebutkan, perusahaan yang berdiri pada 29 Juni
1999 itu tidak beroperasi lagi sejak 25 Februari 2013. Sekelumit jati
diri David yang tercatat di Pacifi Blue hanya menyebut ia menjabat
direktur sejak 23 Mei 2010. Sosok David tetap misteri.
Yanuar
Rizky, analis independen yang 18 tahun bergelut di bidang keuangan dan
investasi, mengatakan misteri sisa pinjaman bisa saja ditelusuri dengan
mengusut laporan keuangan Pacific Blue, meski perusahaan ini sudah tutup
pada Februari 2013. “Bisa dilihat lewat laporan keuangan terakhirnya
per 31 Desember 2012, nanti akan jelas,” katanya. Tempo masih berusaha meminta laporan keuangan itu kepada otoritas Departemen Perdagangan Selandia Baru.
Ada pun KPK sudah mencurigai aliran transaksi janggal terkait kasus
yang menjerat Budi. Wakil KPK, Bambang Widjojanto, menyatakan pihaknya
sudah memblokir sejumlah aset milik Budi, terutama rekening di beberapa
bank. Namun, ia enggan membocorkan nama bank dan jumlah rekening yang
diblokir. Menurut Bambang, penyidik sudah mengetahui jumlah uang dan di
bank mana saja Budi menyimpan duitnya. "Penyidik sudah menyita real time gross settlement (bukti transaksi).”
Bapak-anak, Budi dan Herviano, belum berhasil dikonfirmasi. Ketika
mendatangi kediaman pribadinya di Duren Tiga Barat, Jakarta Selatan,
Rabu, 11 Februari 2015, sejumlah personel Brigade Mobil sudah
menghadang. “Ini daerah steril, dilarang mendekat," kata B. Setiawan,
anggota Brimob yang berjaga, seraya membetulkan letak senapan serbu SS2
di bahunya. Permintaan wawancara ditolak mentah-mentah. "Perintahnya
begitu, tidak boleh ada yang mendekat," kata Anggi, polisi yang lain.
Di hari yang sama, Budi Gunawan, lewat pengacaranya Razman Arif
Nasution, kembali mengklaim bahwa transaksi Rp 57 miliar di rekeningnya
adalah titipan Herviano. Duit itu, kata Razman, murni milik perusahaan
Herviano yang digunakan sebagai modal bisnis. "Berbisnis kan tidak
dilarang, itu semua uang perusahaan," ujar Razman. Menurut dia, kliennya
dapat membuktikan bahwa aliran duit rekening Herviano sesuai dengan
transaksi perusahaannya.
Razman pun menantang balik para
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengecek transaksi-transaksi
pribadi milik Herviano, yang kini berusia 29 tahun. Menurut Razman,
sah-sah saja bila anak kliennya menjalankan usaha dan menangani
transaksi perusahaannya. "Yang salah itu kalau ada uang yang mengalir
untuk kepentingan jabatan-jabatan tertentu," ucap dia. "Kalau ada
penyalahgunaan kepentingan, baru ada unsur pidananya."
Kubu
Budi-Herviano terus-menerus menyangkal ada kejanggalan dalam aliran
transaksi yang muncul di rekening mereka. Namun, hingga kini belum
terjawab ke mana dan kepada siapa Herviano membayar cicilan dan sisa
pinjamannya....
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA | LINDA TRIANITA | BC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar