Jakarta - KPK tengah membidik Sekretaris Mahkamah Agung (MA)
Nurhadi karena di rumahnya ditemukan ribuah dolar AS dan mata uang asing
lainnya. Jauh sebelumnya, Nurhadi memerintahkan anak buahnya untuk
tidak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Perintah ini
dituangkan dalam Surat Keputusan Sekretaris MA Nomor 008-A/SEK/SK/I/2012
yang ditandatanganinya pada 6 Januari 2012. Dalam pasal 5 ayat 1
disebutkan larangan PNS MA yaitu dilarang di antaranya:
1. Menyalahgunakan wewenangnya.
2. Melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme.
3. Melakukan tindakan yang merugikan stakeholder MA.
4. Terlibat dalam kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan.
5. Melakukan penyimpangan prosedur.
6. Terlibat kasus narkoba.
Dengan
tindakan yang dilakukan KPK kepada Nurhadi beberapa hari terakhir, maka
pimpinan MA diharapkan cepat bertindak. Apalagi sebagai PNS, Nurhadi
harus mematuhi norma yang dibuatnya sendiri dalam SK Nomor
008-A/SEK/SK/I/2012 itu.
"Belum segera bertindaknya Pimpinan
Mahkamah Agung (MA) tentu patut disayangkan dan akan menimbulkan kesan
di publik bahwa pimpinan MA permisif atau toleran terhadap segala dugaan
perlanggaran perilaku yang dilakukan oleh pegawai MA," kata ahli hukum
Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Kamis (28/4/2016).
Meskipun
status hukum Sekretaris MA belum ditentukan oleh KPK, namun peristiwa
belakangan terakhir sudah bisa menjadi pintu masuk Pimpinan MA untuk
bertindak. Pegawai di lingkungan badan peradilan dituntut memiliki
kualifikasi integritas yang sangat tinggi, bukan hakim semata.
Lantas bagaimana jika Sekretaris MA diduga kuat melanggar SK 008-A/SEK/SK/I/2012 yang dibuatnya sendiri itu?
"Seharusnya
tidak perlu menunggu sampai KPK menetapkan status hukum kepada
Sekretaris MA. Pimpinan MA dalam rangka menjaga kewibawaan dan
kepercayaan publik kepada badan peradilan maka dapat segera membentuk
Majelis Aturan Perilaku (MAP) untuk memeriksa Sekretaris MA," ujar
Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
Majelis Aturan Perilaku (MAP) bagi pegawai MA dan badan peradilan di
bawahnya ini telah diatur dalam SK yang dibuat Nurhadi sendiri itu.
Dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa untuk menegakkan nilai dasar
aturan perilaku pegawai MA yaitu transparansi, akuntabilitas,
kemandirian, integritas, profesionalisme, dan religiusitas dan dalam
rangka untuk memeriksa setiap dugaan terjadinya aturan pelanggaran
perilaku oleh pegawai MA dibentuk Majelis Aturan Perilaku (MAP).
"Namun
mengingat jabatan Sekretaris MA adalah pegawai dengan pangkat dan
jabatan tertinggi di MA, sementara dalam aturan tersebut disebutkan
jabatan dan pangkat anggota Majelis Aturan Perilaku (MAP) tidak lebih
rendah dari jabatan dan pangkat Pejabat/Pegawai yang diperiksa, maka
anggota Majelis Aturan Perilaku (MAP) ini bisa saja terdiri dari Ketua
Mahkamah Agung dan beberapa hakim agung,"
Hal itu mengingat
sesuai dengan Pasal 25 UU tentang Mahkamah Agung disebutkan Sekretis MA
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Dengan demikian tidak hanya mengusulkan pengangkatan, melainkan
terdapat tanggung jawab ketua MA untuk juga mengawasi perilaku
Sekretaris MA.
"Selain itu jika nantinya Majelis Aturan Perilaku
(MAP) ini jadi dibentuk maka pemeriksaannya harus dilakukan secara
terbuka, objektif dan profesional. Namun akhirnya jika ternyata pimpinan
MA memilih tidak membentuk Majelis Aturan Perilaku (MAP) yang artinya
membiarkan peristiwa dugaan pelanggaran perilaku yang dilakukan oleh
Sekretaris MA ini maka dapat disebut Pimpinan MA sedang membiarkan
jatuhnya citra dan kredibilitas MA di mata masyarakat yang tentu akan
membahayakan negara hukum Indonesia secara keseluruhan," papar Bayu.
Sementara
itu, Wakil Ketua MA yang juga Ketua Muda Pengawasan MA hakim agung
Syarifuddin mengaku telah membentuk tim. Tetapi ia tidak tahu sampai
sejauh mana progres kinerja tim itu.
"Itu kan tim ya, saya enggak tahu, tim yang bekerja," kata Syarifuddin
di gedung Ombusdman Republik Indonesia (ORI), Jalan HR Rasuna Said,
Jakarta Selatan, Rabu (27/4) kemarin.
"Tapi apakah sudah ada pemanggilan Nurhadi?" tanya wartawan menegaskan.
"Saya enggak tahu," jawab Syarifuddin.
Di
sisi lain, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyebut kondisi aparat
peradilan Indonesia dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Dari 102
negara dunia yang disurvei, Indonesia menduduki ranking ke-74. Di
negara-negara Asia Pasifik, Indonesia peringkat ke-14 dari 15 negara.
Peringkat
itu tampak pada Rule of Law Index 2015 yang dirilis World Justice
Project, Washington DC. Indeks yang memotret praktik peradilan di tiga
kota besar pada 102 negara ini menyatakan penegakan hukum Indonesia
sangat rendah.
"Salah satu penyumbang poin buruk pada
pemeringkatan ini adalah rendahnya integritas dan etika di lingkungan
peradilan. Indonesia berada di peringkat ke-74 dari 102 negara dunia
atau ke-14 dari 15 negara Asia Pasifik," kata pimpinan ORI Adrianus
Meliala.
Rendahnya posisi Indonesia juga karena sulitnya warga
mendapat akses civil justice melalui peradilan. Pada dimensi ini,
Indonesia berada di peringkat ke-83 dari 102 negara dunia atau ke-13
dari 15 negara Asia-Pasifik.
"Indeks ini menempatkan Indonesia di
peringkat ke-52 dari 102 negara dunia. Indonesia juga termasuk berada
di antara peringkat terbawah di antara 15 negara Asia-Pasifik, yaitu di
peringkat ke-10. Peringkat Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia
dan Filipina," ujar pakar kriminologi itu.
Nama Nurhadi mulai
dikenal publik saat menggelar pernikahan anaknya dengan megah di Hotel
Mulia, Senayan. Sebagai PNS yang juga beristrikan PNS di MA, kekayaannya
terbilang cukup banyak yaitu mencapai Rp 30 miliar lebih. Rumahnya di
bilangan Hang Lekir V, Jakarta Selatan menempati 5 nomor yaitu dari
nomor 2 hingga 6.
Wartawan telah berusaha menemui Nuhadi di
kantornya tetapi Nurhadi tidak menemui atau memberikan keterangan atas
kepemilikian ribuan dolar tersebut. Pihak yang memberikan keterangan di
kasus ini adalah jubir MA hakim agung Suhadi. Wartawan juga telah
mencoba meminta konfirmasi kepada Nurhadi di rumah megahnya berjam-jam
lamanya, tetapi Nurhadi atau kerabatnya tidak ada yang menemui wartawan.