Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak
terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan
kebutuhannya tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan
bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang
menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malpraktek yang
kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah
pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan
langkah-langkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter
maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya.
Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negativ terhadap
pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat
secara keseluruhan. Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter
hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga
pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran
norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat
bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik
dan pelanggaran hukum.
Belum adanya parameter yang tegas antara
pelanggaran kode etik dan pelanggaran didalam perbuatan dokter terhadap
pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul
diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa
diperoleh dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi
kedokteran.
Sekalipun pasien atau keluarganya
mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang diterimanya kurang memadai,
seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena kalau
mereka menyatakan ketidak puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau
dokter akan menolak menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat
kesembuhan sang pasien. Walapun demikian tidak semua pasien memilih
diam apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun
keluarganya terutama bila salah satu anggota keluarganya ada yang
mengalami cacat atau kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh
dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut
pandang terhadap dokter dengan pasiennya.
Kedudukan pasien yang semula hanya
sebagai pihak yang bergantung pada dokter dalam menentukan cara
penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan dokter.
Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan
pendapat pihak pasien dalam memilih cara pengobatan termasuk pendapat
pasien untuk menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya
apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan
mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi terhadap
pengobatan yang dianggap merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi,
tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu mereka anggap sebagai
ancaman. Penerapan hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi
hukum. Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran
Indonesia) sudah cukup untuk mengatur dan mengawasi dokter dalam
bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum tersebut.
Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi kedokteran
akan kehilangan martabatnya manakala diatur oleh hukum. Dokter merasa
resah dan merasa diperlakukan tidak adil sehingga mereka menuntut
perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam suasana
tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah perlindungan
hukum dan bukan mengenai masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran
hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini menunjukan kurangnya
pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga
kerancuan pemahaman atas masalah medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan
teknologi memang mampu meningkatkan mutu dan jangkauan diagnosis
(penentuan jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai batasan yang
tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu
menyelesaikan problema medis seseorang penderita, bahkan kadang-kadang
muncul problem baru dimana untuk melakukan diagnosa dokter sangat
bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu dokter
bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni tersendri
karena memerlukan imajinasi setelah mendengar keluhan-keluhan pasien dan
melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya. Hipocrates mengatakan
bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan antara pengetahuan dan seni
(science and art) yang harus diramu sedemikian sehingga menghasilkan
suatu diagnosa yang mendekati kebenaran.
Memang kita harus berkata jujur bahwa
profesi kedokteran merupakan suatu profesi yang penuh dengan resiko dan
kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat terjadi
kematian sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala
diartikan oleh pihak luar profesi kedokteran sebagai malpraktek medik.
Latar belakang timbulnya Malpraktek
Pelayanan kesehatan pada dasarnya
bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap
penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas
dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan
penyembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi
transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan
kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang
sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa penegakan
diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan
tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan
wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya
maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut
dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan
ataupun pemulihan kesehatannya. Namun adakalanya hasil yang
dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing pihak. Dokter tidak
berhasil menyembuhkan pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau
bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan dokterlah yang diduga
sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang
demikian inilah dokter sering kali dituduh melakukan kelalaian yang pada
umumnya dianggap sebagai malpraktek.
Jenis Malpraktek
- Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik
adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang
berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa
malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari kemajuan teknologi
kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan
untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu
dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih
tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat,
ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain :
- Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang
- Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
- Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek etik ini antara lain :
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau
memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan
janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan
pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan
hadiah tersebut.
Berbagai perusahaan yang menawarkan
antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh
dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa
mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien.
Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya
tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan
malpraktek etik.
- Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :
- Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang
menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam
transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau
terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
- Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya.
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti :
- Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
- Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
- Ada kerugian
- Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
- Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian
kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat
membuktikan adanya empat unsure berikut :
- Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
- Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
- Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
- Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor”
yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter
terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut
akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah
sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian,
dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.
- Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia
atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang
hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap
pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
- Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan
aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran,
tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa
tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat
keterangan dokter yang tidak benar.
- Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
- Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada
pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa
dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
- Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga
kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara
yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau
izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan
menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld
(tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang tidak
tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP,
misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang
melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu
untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai
pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai
berikut :
- Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak harus normal.
- Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
- Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.
Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter
terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada
tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan
pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin.
Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai
penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada
orang lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare
tersebut, dokter operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan
luka pada pasien yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si
pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena
itu, didalam setiap pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati
agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah kelak
di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang
terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa
menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau
kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang
tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi
karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki
melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan
jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan
keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan
merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang
larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap
obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang
dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya
sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.
Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu
komponennya adalah hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum
perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum
“malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para
dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi
mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk
menghindari pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang
mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum
yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana
atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di
Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter
yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di
Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih
luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World Health Organization.
Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan
istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum
kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic
law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan
agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas
prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982
dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan
mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun
sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi
tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law
penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek
merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang
diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal
dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara
khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah
malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu)
yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan
budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa
menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh
melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi
(diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum
tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan
profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang
dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini
berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh
orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab
hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh
karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode
pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini
adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum.
Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia
(SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter
atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses
melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan
Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi
merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga
diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa
penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara
resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah
ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin
Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab
profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang
keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang
mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli
Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang
dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota
dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah
jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman
sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas
karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang
memikirkan kepentingan pasien.