Selasa, 31 Mei 2011

Tekan Sipil, Rangkul Militer
Headline
Hillary Clinton - IST
 
Opini: Derek Manangka
Senin, 30 Mei 2011 | 19:59 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Pakistan termasuk negara Islam yang cukup banyak menikmati manfaat dari hubungannya dengan Amerika Serkat. Uniknya, tidak banyak negara yang bisa seperti Pakistan. Permusuhannya dengan India, tetangga terdekatnya, membuat Pakistan mendapat semacam 'proteksi' dari Amerika Serikat.
Washington melakukan hal itu, berhubung India sebagai negara berpenduduk kedua terbesar di dunia serta menjalankan politik bebas aktif seperti Soekarno, berpotensi ancaman bagi siapapun yang memimpin di Gedung Putih.
Di samping itu pada era Perang Dingin, India terkesan suka main mata dengan Uni Soviet (sekarang Rusia), negara komunis yang menjadi musuh nomor satu Amerika Serikat di Eropa Timur.
Jenderal Zia Ulhaq pernah menjadi salah seorang permimpin otoriter di Pakistan. Tetapi Amerika Serikat, nyaris tidak pernah mempersoalkannya. Sebab di satu sisi, Ulhaq menjalankan misi yang diinginkan Amerika Serikat. AS bahkan terus memberi bantuan kepada Pakistan.
Pada 1990 ketika George Bush membutuhkan dukungan dari dunia Islam atas permusuhannya dengan Saddam Husein, Presiden Irak, Washington membujuk Pakistan. Bush berjanji jika Pakistan ikut dalam pasukan koalisi di Irak, utang luar negeri Pakistan sebanyak US$30 miliar, otomatis lunas. Pakistan pun mengangguk.
Pada12 Oktober 1999, Jenderal Pervez Musharaf, melakukan kudeta tak berdarah atas pemerintahan sipil yang dipimpin Nawaz Sharif. Lazimnya kudeta seperti itu, selalu dikecam oleh Washington tapi kali ini tidak. Musharaf pun menjadi pemimpin militer yang legitimate.
Dua tahun kemudian, tepatnya setelah peristiwa 11 September 2001 meletus, nasib Musharaf berubah drastis. Ia menjadi semacam wonder boy-nya Amerika Serikat di dunia Islam. Di masa pemerintahan George Bush junior, pemimpin negara yang paling sering diterima oleh Bush hanya dua orang. Kalau bukan Musharaf, PM Israel.
Apa yang menyebabkan Musharaf begitu disenangi oleh Washington? Dalam bukunya In the Line of Fire alasannya sederhana. Musharaf mampu membuat Menlu AS Colin Powell senang.
Hanya beberapa jam setelah gedung WTC di New York diruntuhkan oleh dua buah pesawat komersil, Presiden Bush langsung mengumumkan pihak yang menghancurkan menara kembar itu adalah Al Qaeda, pimpinan Osama bin Laden.
Colin Powell pun menelpon Musharaf. "Anda berada di pihak kami atau mereka?", tanya Powell. Yang dimaksud mereka adalah Al Qaeda. Tak banyak berpikir, Musharaf menjawab "Kami di pihak anda".
Washington menghubungi Musharaf karena beberapa alasan. Tempat persembunyian Osama bin Laden, di Afghanistan, tetangga terdekat Pakistan. Al Qaeda mendapat dukungan kuat dari Taliban yang mempunyai pengikut terbesar di Afghanistan. Operasi di Afghanistan perlu basis di Pakistan.
Bagi Amerika Serikat, Pakistan merupakan mitra yang paling tepat untuk melakukan pengejaran teroris Al Qaeda. Sebab Presiden Pakistan merupakan orang intelijen yang mengetahui jaringan Taliban di Afghanistan maupun di Pakistan sendiri
Bagi Musharaf, Taliban sebetulnya merupakan sahabat dekatnya. Sebab di era 80-an, Taliban dibentuk atas restu Amerika Serikat sebagai kelompok perlawanan Islam dalam memerangi komunisme Uni Sovyet yang menduduki Afghanistan.
Menurut Musharaf, setelah percakapan jarak jauh dengan Menlu Powell, keesokan harinya Dubes AS di Islamabad langsung menemuinya. Diplomat itu membawa daftar sejumlah permintaan. Hanya satu permintaan dari Washington yang tidak dipenuhinya. Yaitu menjadikan salah satu bandara di Pakistan sebagai pangkalan militer Amerika Serikat.
Musharaf tidak menyebutkan berapa besar kompensasi dalam bentuk uang yang diberikan Amerika Serikat atas dukungannya terhadap agenda memerangi Al Qaeda. Namun sebagai pebanding, kalau 10 tahun sebelumnya ayah George Bush sudah berani mematok angka US$30 miliar, maka paling tidak kompensasi Washington di 2001 setidaknya berkisar di angka tersebut.
Jenderal Musharaf, pada 18 Agustus 2008, mengundurkan diri dari jabatan Presiden. Ia kini hidup dengan tenang di London, bukan dalam status sebagai pelarian politik. Tetapi sebagai politisi, bekas Presiden sebuah negara angota persemakmuran.
Sejak Musharaf turun dari pucuk pimpinan, Pakistan dipimpin oleh pemerintahan sipil. Mula-mula Benazir Bhuto. Tapi puteri politisi Ali Bhuto itu, tewas oleh sebuah serangan bom bunuh diri. Musharaf sempat dituding sebagai orang di belakang layar dari pembunuhan Benazir Bhuto. Namun tuduhan itu tidak berkembang menjadi tuntutan hukum. Benazir Bhuto kemudian digantikan suaminya, Asif Ali Zardari. Hingga sekarang Pakistan masih dibawah pemerintahan sipil.
Namun di tangan pemerintahan sipil, kekuatan Taliban justru semakin menguat. Mereka yang tadinya dikejar-kejar di Afghanistan, banyak yang melarikan diri ke Pakistan. Pemerintahan Zardari dianggap tidak cukup kuat menghadapi berbagai gejolak politik di Pakistan. Bahkan setelah penyergapan Osama bin Laden, Amerika Serikat menjadi sasaran ancaman.
Kini kebencian terhadap Amerika Serikat, sangat kuat dan meluas di kalangan rakyat Pakistan.
Koresponden senior tekevisi CNN Stan Grant yang meliput keberadaan Clinton di Islamabad misalnya termasuk warga 'bule' yang menjadi sasaran kebencian rakyat Pakistan.
Grant sedang melaporkan langsung apa yang dia lihat di Islamabad ke kantor pusat CNN di Altanta, Georgia. Tiba-tiba dua polisi yang mengendarai sepeda motor menghampiri dan menanyainya indentitas. Satu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kedatangan Hillary Clinton pekan lalu diyakini ikut membahas masalah perubahan prilaku rakyat Pakistan ini. Namun agaknya Clinton tidak memperoleh jawaban yang cukup memuaskan.
Sementara itu, Musharaf yang pernah menjadi anak kesayangan Washington, telah menyatakan kesiapannya untuk kembali menjadi pemimpin di Pakistan. Sehingga timbul spekulasi, kembalinya Musharaf sebagai bagian dari agenda Washington yang ingin merangkul kembali militer. [mdr/Habis]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar