Rabu, 25 Mei 2011

Nunun Dan KPK

 Nunun Bisa Diadili In Absentia

Tidak diketahui di mana Nunun berada. Polisi diminta segera memasukkan dia di DPO.

VIVAnews - Jika tersangka Nunun Nurbaeti sulit dipulangkan ke Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa melakukan proses hukum secara in absentia.

"Kalau tidak bisa kembali ke Indonesia, bisa diadili dengan in absentia.  Itu satu-satunya cara untuk mengadili Nunun jika tidak bisa dihadirkan," kata Wakil Ketua Komisi III DPR, Azis Syamsuddin, kepada VIVAnews.com.

Pengadilan in absentia adalah upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa kehadiran terdakwa. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia, hal ini tidak diatur secara jelas, kecuali di dalam pasal 196 dan 214 yang mengandung pengaturan terbatas mengenai peradilan in absentia.

Namun, peradilan in absentia harus memenuhi beberapa unsur, antara lain; karena terdakwa tinggal atau pergi keluar negeri. Selain itu, adanya usaha pembangkangan dari terdakwa dengan contoh melarikan diri. Dan, terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang jelas walaupun telah dipanggil secara sah (pasal 38 UU RI No 31 Tahun 1999).

Istri mantan Wakapolri Komjen (purn) Adang Daradjatun itu dijadikan tersangka karena diduga terlibat dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia. "Dia diduga memberikan sesuatu kepada anggota DPR periode 1999-2004," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi SP.

Atas tuduhan itu, Nunun dijerat dengan pasal penyuapan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jadikan DPO

Sementara itu, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho menyarankan KPK untuk memasukkan Nunun dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Sebab dengan status buronan, KPK bisa memburu Nunun lewat kerjasama antar negara.

"Yang penting jadikan DPO dulu. Sebab, dengan DPO bisa dicari lewat G to G (government to government) karena Indonesia tidak mempunyai kerjasama ekstradisi dengan Singapura," ujar Emerson.

Emerson menambahkan, dengan dijadikan DPO akan mempersempit ruang gerak Nunun. "Dia tidak akan bisa ke mana-mana," jelasnya.

ICW mengapresiasi langkah KPK yang telah menetapkan tersangka kepada Nunun. Namun, KPK masih mempunyai pekerjaan rumah untuk mengungkap siapa pemberi suap utama dalam pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang dimenangkan Miranda Swaray Goeltom itu.



Kamis, 26 Mei 2011 , 05:15:00


JAKARTA - Status tersangka Nunun Nurbaeti dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Suami Nunun, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Adang Daradjatun mempersilahkan KPK untuk melakukan proses hukum kepada istrinya. Meski begitu, Adang memastikan bahwa dirinya tidak akan terlibat untuk menyerahkan istri tercintanya kepada KPK.

"Saya ikuti koridor hukum saja. Kalau KPK mau menjemput paksa ibu silahkan saja," kata Adang saat ditemui wartawan jelang rapat paripurna DPR RI di gedung parlemen, Jakarta, Rabu (24/5).
 
Menurut Adang, KPK memiliki hak untuk menjemput paksa istrinya. Posisi Nunun saat ini berada di Singapura. Nunun masih menjalani perawatan akibat sakit yang dideritanya. "Saya sudah membuat surat resmi ke KPK bahwa ibu berobat dengan alamat di Singapura," ujarnya.

Pengobatan yang dijalani Nunun, membuat yang bersangkutan tidak bisa menghadiri sidang kasus suap pemilihan DGS BI. Adang menyatakan, meski istrinya sakit, sidang akhirnya tetap berproses dengan menghadirkan sejumlah saksi.

Dia tidak menyangka jika Nunun pada rapat KPK bersama Komisi III Senin (23/5) lalu, KPK mengumumkan penetapan Nunun sebagai tersangka. "Saya ini inginnya koridor hukum, bukan koridor katanya katanya," ujarnya dengan nada kecewa.

Jika ditetapkan sebagai tersangka, Adang menilai ada keganjilan. Empat orang saksi yang dihadirkan dalam persidangan, kata dia, sama sekali tidak menyebutkan keterlibatan Nunun. Tidak ada pernyataan bahwa Nunun menyerahkan secara langsung uang suap dalam pemilihan DGS BI. "Kalau ibu salah tolong buktikan dengan pasal 158 KUHAP dan tolong hormati hukum kalau berbicara di koridor hukum," jelasnya.
 
Meski mempertanyakan penetapan Nunun sebagai tersangka, namun Adang menyatakan tidak akan menghambat upaya KPK melakukan tindakan hukum istrinya. Namun, dengan alasan moral, Adang menegaskan tidak mau mengantarkan Nunun untuk menjalani pemeriksaan di KPK. "Maaf dia itu istri saya dan saya tidak akan membiarkan istri saya masuk dalam permasalahan yang tidak jelas," ujar mantan Wakapolri itu dengan nada tegas.
 
Segala proses hukum, ujar Adang, akan dia hormati. Dirinya juga tidak merasa ditebang pilih dengan keputusan KPK yang menetapkan istrinya sebagai tersangka. "Kalau istri saya salah ya sudah. Tapi tolong cermati proses pengadilan yang sudah berjalan," tandasnya. (bay/kuh/iro)

Senin, 23 Mei 2011 , 15:51:00

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Nunun Nurbaeti sebagai tersangka kasus pemberian travellers cheque pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) 2004. Namun bagi politisi di DPR RI, penetapan Nunun sebagai tersangka korupsi itu bukan hal baru yang mengejutkan.

Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung menyatakan, penetapan tersangka korupsi merupakan kewenangan KPK. Meski demikian diakuinya, sudah banyak kalangan menunggu penetapan Nunun sebagai tersangka.

"Kenapa baru sekarang ditetapkan? Ini bukan hal yang mengejutkan bagi saya," ujar Pramono di gedung DPR RI, Senin (23/5).

Mantan Sekjen DPP PDI Perjuangan itu menambahkan, seharusnya sejak dulu Nunun ditetapkan sebagai tersangka. Alasannya, sudah banyak politisi DPR periode 1999-2004 yang dijerat karena menerima suap, sementara pemberinya masih dibiarkan saja.

"Saat ini sudah banyak tindakan hukum yang dilakukan kepada anggota DPR. Terasa aneh kalau travellers cheque bisa melayang-layang sendiri datang ke meja anggota DPR tanpa ada yang mengantar," tandasnya.

Apakah Pramono yakin KPK bisa membawa pulang Nunun ke Indonesia? Pramono hanya memberi jawaban diplomatis. "Itu tugas KPK," pungkasnya.(ara/jpnn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar