Rabu, 08 Juni 2011

Pengacara: Kenapa Kasus Nunun Saja Ribut 
M. Rizal - detikNews


Pengacara: Kenapa Kasus Nunun Saja Ribut

Jakarta - Nunun Nurbaeti tidak terima dirinya ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak adil karena meributkan kasusnya yang dinilai hanya kasus kecil.

"Kalau selama ini dikatakan ada kerugian negara, kerugian negara apa sih yang ditimbulkan itu? Seumpamanya itu benar ceritanya, memangnya itu duit siapa sih yang dibagi-bagikan itu? Kenapa semua menjadi ribut?" protes pengacara Nunun, Partahi Sihombing.

Partahi meminta KPK seharusnya memperlakukan prinsip persamaan di mata hukum terhadap semua warga negara Indonesia termasuk Nunun. Ia jengkel KPK lebih memperhatikan kasus Nunun dibandingkan kasus BLBI.

"Mana persamaan di mata hukum itu? Kenapa kasus Ibu Nunun yang begini saja ribut, tapi para pengemplang BLBI tidak," kritiknya.

Menurut Partahi, Nunun tidak bisa dijadikan tersangka sebelum ada keputusan hukum yang sah dari persidangan sejumlah mantan anggota DPR periode 2004-2009 dalam kasus suap pemilihan DGS BI yang dimenangkan Miranda.

Partahi juga menganggap wajar sikap mantan Wakil Kepala Polri (Wakapolri) Adang Daradjatun, suami Nunun, yang tidak mau menyembunyikan keberadaan dan kondisi sang istri selama ini. Sikap Adang dilindungi UU.

Berikut wawancara detikcom dengan kuasa hukum Nunun Nurbaeti, Partahi Sihombing:

Bagaimana sebenarnya perkembangan kesehatan Ibu Nunun saat ini?

Terus terang kalau kondisi kesehatannya, seperti apa yang sudah diterangkan tim dokternya sampai saat ini masih belum ada kemajuan sebenarnya.

Kalau soal hukumnya bagaimana? Sekarang KPK tengah mengupayakan kepulangan Ibu Nunun

Begini, Ibu Nunun itu pertama kali dimintai keterangan KPK itu 2009. Nah, pada waktu pemanggilan pertama itu untuk dimintai klarifikasi. Pemahaman kita, klarifikasi itu masih dalam tahap atau tingkat penyelidikan.

Untuk itu, setelah dua kali dilakukan pemeriksaan untuk klarifikasi dalam tahap penyelidikan itu. Lalu ada rekomendasi dari dokter bahwa Ibu Nunun sakit dan harus dirawat, karena sudah lama mengidap sakit yang sudah lama, makanya disarankan dirawat di rumah sakit.

Sekarang ini bagaimana tanggapannya setelah dijadikan tersangka?

Saya mau memberikan argumentasi begini. Bagaimana sebenarnya seseorang bisa ditetapkan menjadi tersangka. Seseorang dijadikan tersangka itu setelah diperiksa dan mendapatkan alat bukti yang sah melalui tahap penyidikan.

Pertanyaannya, apakah Ibu Nunun pernah diperiksa dalam tingkat penyidikan? Itu kan belum, karena dua kali dimintai keterangan masih dalam tingkat penyelidikan, karena undangannya pun untuk klarifikasi.

Untuk itu, kita maupun Pak Adang Daradjatun mengatakan kenapa alasan dijadikan tersangka tidak tahu. Apa alasan KPK menetapkan menjadi tersangka? Karena sampai sekarang kita belum tahu alasan kenapa KPK menetapkannya sebagai tersangka itu.

Yang kita tahu, mereka (KPK) mengatakan telah melakukan gelar perkara dan memperoleh keterangan-keterangan yang berkembang di dalam persidangan, yaitu keterangan para tersangka lain bahwa didapatkan bukti yag mengarah ke Ibu Nunun.

Pertanyaannya, apakah keterangan-keterangan yang didapatkan dalam persidangan tersangka lain itu bisa dijadikan alat bukti untuk menjadikan Nunun sebagai tersangka? Saya secara jujur mesti mengatakan itu boleh saja. Tapi saya mengingatkan bahwa itu harus merujuk kepada yurisprudensi MA 1999, yang menyebutkan keterangan di dalam persidangan lain boleh menjadi alasan bagi penetapan seseorang menjadi tersangka. Namun semua itu bila sudah ada keputusan hukum tetap dari sidang itu sendiri terlebih dahulu. Artinya sudah inkrah mulai dari persidangan tingkat pertama sampai tingkat banding dan kasasi di MA. Jawabannya itu semua kan belum ada.

Makanya sekarang ini lucu kalau tiba-tiba Ibu Nunun dijadikan tersangka. Dengan alat bukti apa Ibu Nunun dijadikan sebagai tersangka? Karena di dalam klarifikasi awal bahwa klien kita mengatakan tidak tahu dan tidak terlibat dalam penyerahan atau mengatur Travel Cheque (TC) atau cek pelawat itu. Itu yang mungkin membuat Pak Adang Daradjatun sebagai seorang suami, mungkin tidak terima bila tiba-tiba tanpa alasan jelas, istrinya dijadikan tersangka.

Banyak yang tidak percaya kalau Ibu Nunun benar-benar sakit lupa berat. Bagaimana tanggapan anda?

Soal sakitnya Ibu Nunun itu, dari dulu dan sejak awal pada tahun lalu kita sudah menyampaikan melalui keterangan pers. Kalau KPK mau, karena kita juga mau kooperatif artinya ketika Ibu Nunun sakit, mari kita bikin tim dokter independen. Itu harusnya tahun lalu dibentuk dan kita akan sama-sama berangkat untuk mengecek benar sakit atau tidak. Tapi sampai sekarang ini, KPK tidak pernah merespon ini semua. Justru, ujug-ujug Ibu Nunun sekarang ditetapkan menjadi tersangka.

KPK justru tidak mau melakukan prosedur itu semua, tidak mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tapi ingin langsung ke peradilan. Saya rasa ini yang membuat keluarga Ibu Nunun juga menjadi tidak nyaman. Memang apa yang dilakukan Pak Adang sebagai suami juga dilindungi dalam salah satu pasal dalam KUHP dan UU untuk tidak membuka keberaadaan Ibu Nunun.

Jadi Nunun baru bisa disidik dengan dakwaan baru setelah perkara mantan anggota DPR ini selesai sidang?

Betul. Itu kan mestinya tunggu dulu, sabar dulu sampai ada keputusan dari salah satu sidang yang sedang berjalan ini di Pengadilan Tipikor yang memang dalam perkara itu ada keterangan yang merujuk ke Ibu Nunun.

Setelah itu dibuat penyidikan baru. Sekarang ini kan belum bisa mengambil keputusan itu, karena Panda Nababan cs itu masih dalam proses persidangan awal di Pengadilan Tipikor.

Sikap keluarga termasuk Pak Adang terkait upaya KPK membawa pulang Ibu Nunun dari Thailand bagaimana?

Saya soal ini belum bisa memberikan komentar. Itu semua kan yang menetapkan KPK, yang mau mengambil langkah hukum kan KPK. Jadi kita serahkan semua ke KPK saja. Ya kita, termasuk Pak Adang menyatakan mempersilakan bila proses hukum itu dijalankan oleh KPK, silakan saja. Kalau apa yang dikatakan Pak Adang dinilai tidak kooperatif, ini adalah haknya dia juga untuk tidak memberitahukan juga.

Nunun dikatakan banyak memiliki perusahaan dan banyak ikut serta sejumlah yayasan, bagaimana?

Saya kalau soal itu kurang begitu tahu. Karena kita ini konsen dalam persoalan hukum saja. Soal perusahaan dan banyak ikut gabung sosialita dan yayasan saya tidak bisa komentar.

Soal pencabutan paspor milik Ibu Nunun bagaimana?

Ini memang memprihatinkan dan mengecewakan kita semua. Pencabutan paspor itu sangat mempermalukan seorang warga negara kita, apalagi dalam kondisi sakit dan itu ada keterangan dari dokternya, tapi seolah-olah itu tidak dipercaya. Lalu dicabut paspornya, padahal apa yang dituduhkan ke Ibu Nunun belum terbukti.

Kalau selama ini dikatakan ada kerugian negara, kerugian negara apa sih yang ditimbulkan itu? Seumpamanya itu benar ceritanya, memangnya itu duit siapa sih yang dibagi-bagikan itu? Kenapa semua menjadi ribut? Kita justru tidak meributkan duit negara yang bertriliun-triliun rupiah dan berkontainer-kontainer dibawa lari ke luar negeri oleh para pengemplang BLBI. Ini jauh menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Mana paspor milik Anggoro, paspor milik Sjamsul Nursalim dan pengemplang BLBI lainnya kok nggak dicabut.

Seharusnya KPK dan penegak hukum lainnya memperlakukan equalility (persamaan) di mata hukum terhadap semua warga negaranya. Mana persamaan di mata hukum itu? Kenapa kasus Ibu Nunun yang begini saja ribut, tapi para pengemplang BLBI tidak.

(zal/iy)


Follow twitter @detikcom dan gabung komunitas detikcom di facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar